elimuti aroma lembap khas malam hujan, Desi mencoba memejamkan mata. Tubuh Dana bergerak di atasnya, konstan, ritmis, namun tak
na, menenggelamkan diri dalam setiap sentuhan. Namun, dinding tak terlihat itu selalu ada. Keintiman yang seharusnya membakar, bagi D
a mendesah pelan, suara puas yang tak Desi pahami. Ia mem
rak, lebih terdengar seperti pertany
erbisik. Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Ia merasakan kelembaban di antara pahanya, bukti ba
jauh dari kehangatan tubuh Dana yang kini terasa asing, bahkan memberinya rasa dingin. Ia meraih ponsel di
ng dingin menusuk kulit, namun Desi tak peduli. Ia menatap deretan rumah di kompleks sederhana mereka, diselimuti kabut tipis dan rintik huja
nya indah, bahkan setelah tiga tahun menikah. Desi tahu ia menarik. Ia sering kali menangkap tatapan kagum dari pria lain saat berbelanja di pasar atau saat membant
si. Ia menoleh, melihat Dana sudah du
asih enggan kembali ke sana, ke k
an rutinitas yang monoton. Dana adalah pria baik, pekerja keras di bengkelnya yang kecil. Ia tak pernah kasar, selalu berusaha menafkahi walau sering pas-pasan. Tapi kebaikan saja
goreng dengan telur ceplok. Aroma bawang dan cabai mulai memenuhi ruangan. Dana keluar dari kamar man
eluh Dana, matanya terpaku pada lay
oga nanti siang ramai," ucapnya, datar. Ia duduk di seberang Dana, menyendokka
da Dana. Suaminya fokus pada ponselnya, sesekali menggaruk kepala. Tak ada tatapan hangat, tak ada pertanyaan tent
ung bersemangat. "Oh, siap, siap! Beres itu!" Ia tert
k RT, Des. Lumayan buat tambah-tambah," katanya, sen
berdenyut. Ia tahu, setelah ini, Dana akan disibukkan dengan bengkelnya, dan ia akan kembali sendirian
ali bertanya-tanya, apakah ini memang yang ia inginkan seumur hidupnya? Sebuah keintiman tanpa nyala, sebu