Dana sudah pergi ke bengkel sebelum subuh, meninggalkan Desi sendirian dengan tumpukan piring kotor dan pikiran yang kalut. Ia mencoba mengusir bayangan kehamp
ah. Suara perkakas beradu, teriakan arahan, dan dentuman sesekali. Desi ingat, rumah itu kosong selama berbulan-bulan setelah pemil
hat siapa penghuni baru itu. Desi menyelesaikan jemurannya, lalu berjalan perlahan ke
abu-abu yang pas di tubuhnya, menonjolkan lengan yang berotot. Rambutnya hitam legam, tersisir rapi meski ada beberapa helai yang jatuh di dahi karena peluh. Wajahnya? D
sah. Pria itu tidak segera mengalihkan pandangannya. Ia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang begitu kalem namun mampu membuat Desi mer
an di dekatnya. Pipinya terasa hangat. Ia mende
a berat dan mer
berdiri di dekat pagar, tanga
ini lebih lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang r
hangat, kokoh, dan lembut di saat yang bersamaan. "Desi. Saya Desi. Tinggal di sini," jawabnya,
a menatap lekat, seolah mencari sesuatu dala
rsenyum tipis, berusaha mengendalikan detak jantun
gganggu," Jaka tertawa kecil. Tawanya renyah
t canggung. Tak ada yang pernah memuji rumahnya
aja, Pak Jak
tanya tetap terpaku pada Desi. "Ngomong-ngomong, su
a bengkel motor kecil," Desi me
a tahu harus ke mana," Jaka mengangguk, senyumnya tak lepas dari wajahnya. "Baikla
a, Jaka," D
enghilang di balik pintu. Napasnya tercekat. Ada sesuatu dari pria itu. Bukan hanya wajah tampannya, bukan hanya tubuh tegapnya. Tap
ini? Perasaan aneh itu berdesir dalam dirinya, perasaan yang sudah lama sekali terkubu
gajian Dana masih jauh. Persediaan beras menipis, dan beberapa tagihan listrik serta air sudah menunggu. Perkenalan dengan Jaka tadi, seolah memud
ana. Tapi bagaimana? Pertanyaan itu berputar di kepala Desi, me