uk yang menusuk tulang. Dana baru pulang menjelang magrib, tubuhnya beraroma oli
i di kursi meja makan. "Mesin motor Pak Man itu susa
ing mendoan hangat di hadapan suaminya. "Man
h meraih sepotong mendoan. Ia melahapnya dengan cepat. "Ena
tersendiri. Namun, hanya sebatas itu. Setelah makan, Dana kembali sibuk dengan ponselnya, sesekali membalas pesan atau menonton video. Obrolan
embaca majalah lama yang ia temukan. Dana sudah berbaring di karpet, menonton tayangan bola di televisi, se
ar. "Sudah ngantuk sekali, Des," katan
sama: rutinitas yang membosankan akan kembali. Ia mendambakan ajakan yang lebih lembut, sebuah sentuha
Ia menatap pantulan dirinya. Mata almondnya tampak lelah, bibirnya terkatup rapat. Ia menyentuh tulang selangkanya, lalu mengusap lekuk pinggangnya. Bentu
rdengar lagi, kali ini lebih se
rembulan yang masuk dari celah tirai. Lalu, ia naik ke ranjang, berbaring
rdesir, ada secercah harapan kecil. Mungkin kali ini berbeda. Mung
" bisik Dana, suar
wab Desi, m
ak Desi. Sentuhan itu terasa hangat, namun entah mengapa, tak ada gairah yang
, suaranya mulai mengantuk. "Tapi... ak
kan penatnya? Harapan kecil yang sempat menyala di hati Desi langsung padam. Ini bukan
inta, tak ada tatapan yang mencari matanya, tak ada usaha untuk membangun koneksi l
ini. Tapi ia tak bisa. Ia hanya bisa diam, membiarkan sentuhan itu berlanjut, berharap malam
mar. Tawa renyah, kehangatan yang kontras dengan kesunyian dalam kamar Desi. Desi tak tahu siapa tetangga baru itu. Mereka baru pindah
tu hari nanti, kehangatan dan tawa