kan rutinitas ringan: berjalan pagi, sesekali diselingi lari kecil mengitari area perumahan. Udara tera
a Pak Martin keluar. Ia melambaikan tangan samb
yang membingkai wajahnya yang, tak bisa dipungkiri, menarik. Di usianya yang masih relatif muda, Bu Wulan tampak seperti sosok segar
ejenak sebelum membalas sen
ut juga hari ini?
an entah kenapa, seny
i beneran, bukan cuma lari dari keny
k Gandi juga tersenyum, namun sorot matanya tam
sih terjaga, tegap dengan langkah yang mantap. Jika berdiri di samping Pak Gandi-yang meskipun lebih muda
senam kecil di belakang rumah. Ia tak
Pak Martin tahu, ada hal lain di balik itu-mungkin
tengah, Pak Gandi di kanan, Bu Wulan di kiri. Warga lain menyusul di belakang,
i sela-sela itu, Pak Martin sempat menangkap kerlingan mata Bu Wulan. Bukan genit. Tapi... ada se
lan sedikit lebih dekat ke ar
u Tita pasti bangga punya suami yang raj
siap, tapi hanya mengan
r nggak gampang encok
strinya untuk memperlambat langkah, mata Bu Wulan masih sempat ber
idak tahu. Yang jelas, joging pagi i
apangan sepak bola. Beberapa anak kecil bermain ria
it. "Saya ke warung dulu, mau cari m
lapangan menuju warung kecil di pojok kompleks. Meninggalkan Pa
enario yang bukan ia tulis. Seolah Pak Gandi tengah menyutradarai sesuatu yang samar, dan ia kebetu
in, saya jadi sering denger Bapak disebut sama suami. Katanya Ba
lam. Sementara Pak Martin terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, t
sendiri darinya. Sudah lama dia begitu," lanjut Bu Wu
da dalam hatinya. Hampir. Tapi sebelum sempat berucap, Bu Wula
nya ya? Katanya Bu Martin su
e
api Bu Wulan menatapnya biasa saja, seolah pertanyaannya adala
.. dia sudah bercerit
. Bagaimana mungkin dua orang dewasa yang bukan muhrim bisa berbicara soal... itu, di taman umum, de
ingkat, nyaris tanpa suara,
usir rasa kikuk, ia berkata, "Mungkin kita semua cuma sedang berusaha jad
kaku. Tak tahu haru
potong roti panggang dalam kantong plastik bening. Ia membagikannya sambil tersenyum seol
Pak Martin, semua obrolan itu hanya berputar-putar di udara, tak benar-benar masuk ke telinga. Karena hatinya sudah tidak berada
Udara memanas. Mereka
kelelahan fisik. Tapi karena ada sesuatu yang belum selesai di pagi it
busana muslim sederhana yang rapi. Aromanya samar dan bersih, menyapu ruang tamu dengan keharum
owok atau cewek?" tanya Pak
dia seneng sekali, memang sangat mengharap dapat
pek, kayaknya ingin di rumah aja. Ka
n suaminya sebelum melangkah keluar. Tak lama k
air hangat, bayangan itu tak juga pergi. Wajah Bu Wulan-tatapannya, senyumnya
r mandi. Bahkan ketika matanya terp
buka majalah lama yang sudah kumal, lalu menggulir-gulir ponsel. Bukan untuk membalas siapa
Wulan makin jelas di kepala, seperti lukisan yang belum selesai, tapi sudah terlalu menggoda untuk ti
fikasi masuk-dari
ini dari Mas Gandi. Saya minta maaf kalau uca
efleks menggenggam ponsel lebih
butuh seseorang buat deng
balasan berkedip-kedip seperti menantangnya. Ia tahu, membalas pes
asa jujur. Tulus. Dan di balik semua itu, terasa menyentuh, sepe
enarik napas dalam, berharap pikirannya menjernih. Tapi yang muncul justru momen pagi tadi, saat ia dan Buiknya ya? Katanya Bu Mar
tu kecil yang terbuka. Dari arah yang bisa salah. Tukar nasi
san Bu Wulan masih di sana.
tik. Pelan. Ra
-sama... terlalu lama diam dengan beban yang tak kita b
u. Berat. Tapi entah mengapa te
. Centang dua.
bukan hanya bayangan Bu Wulan yang memenuhi ruang pikirannya, tapi suara hat
tuk diabaikan, terlalu halus
arkah dirimu m
*
cerita ini, bisa juga membaca
bukan hanya tentang gairah muda, na
*