, Mahardika Satria Wibowo duduk di hadapan meja mahoni besar. Jemarinya memijat pelipisnya yang berdenyut, matanya menerawang jauh, seolah mencari jawaban di kegelapan malam. Usianya belum ge
n yang darahnya mengalir dari para pendiri kerajaan masa lampau, keluarga Wibowo memegang kendali atas banyak sendi kehidupan; mulai dari industri pertambanga
adi penerus klan Wibowo di masa depan, wafat tak lama setelah melahirkan cucu perempuannya, Anindya Kirana Wibowo. Sebuah tragedi yang merenggut tawa dari kediaman megah itu, dan menyisakan duka yang m
pewaris lagi! Garis keturunan Wibowo tidak boleh terputus! Anindya hanyalah seorang perempuan, ia tidak bisa mengemban nama besar ini sendirian!" Kalimat itu bagaikan mantra mengerikan yang terus menghantui setiap langkah Mahardika. Ia tahu betul
sil mereka miliki. Dokter-dokter terbaik sudah didatangkan, berbagai upaya medis telah ditempuh, namun hasilnya selalu sama: Rengganis tidak bisa lagi memberinya keturunan. Kenyataan pahit
agaimana ia bisa mengatakan bahwa hatinya masih dipenuhi duka atas kepergian Paramita, dan belum siap menerima kehadiran wanita lain dalam hidupnya, apalagi jika itu demi sebuah
hangat dan camilan ringan. Senyumnya samar, menyimpan duka yang sama dengan Mahardika. Rambutnya ya
Rengganis lembut, meletakk
. "Belum, Sayang. Ada ban
ja, menatap suaminya dengan tatapan
bersikeras aku harus men
nya yang lentik. Hati Mahardika teriris melihat kesedi
i bukan salahmu. Ini takdir." Ia mencoba tersenyum, senyum yang begitu rapuh hingga membuat Mahardika ingin mem
mengalihkan pembicaraan, mencari sedi
awab Rengganis, nada suaranya berubah lembut saat menyebut nama cucunya. "Mungkin
ingin seorang anak laki-laki yang bisa memimpin perusahaan, yang bisa membawa nama Wibowo dengan kuat di dunia yang
ana. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Mas. Aku tidak ingin melihatmu terus t
ua tangan istrinya erat. "Aku juga tidak sanggup, Gannis. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tida
n istrinya menangis di bahunya. Ia tahu, di balik kemegahan yang mereka miliki, ada ke
motor dan hiruk pikuk obrolan tetangga tak mampu menembus tembok kesedihannya. Mata sembabnya menatap kosong ke arah figura foto lusuh di meja kecil samping tempa
udah lama mengidap penyakit jantung yang kronis. Setiap bulan, biaya pengobatan dan obat-obatan melambung tinggi, menguras habis
tu-satunya kerabat yang mereka miliki. Namun, Prawira bukanlah sosok paman yang penyayang. Ia adalah pria serakah yang hanya memikirkan keuntungan pribadi.
hati Kirana. "Kirana, ada seorang pria kaya raya yang tertarik padamu. Dia dari keluarga terpandang. Dia
. "Aku tidak mau, Paman! Aku sudah puny
at ibumu! Dia butuh perawatan terbaik. Jika kau menolak pernikahan ini, aku tidak aka
idup tanpa ibunya. Penyakit Saraswati sudah sangat parah, dan tanpa pengobatan rutin, kondisinya pasti akan memburuk d
ya bisa menangis lemah. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu tid
keluarganya, menjadi beban? Air matanya tak henti mengalir. Ia merasa seperti
nyum hangat yang selalu mampu menenangkan hati Kirana. Bima adalah seorang mekanik di bengkel kecil, penghasilann
amu sembab?" tanya Bima cemas
uk Bima erat, membenamkan wajahnya di dada bidan
kan, menatap Kirana tak percaya. "
"Dengan seorang pria yang tidak aku kenal. Pamanku menga
Saraswati bagi Kirana. "Siapa pria itu, Kirana? Aku akan bicara dengannya!
endengarkan. Dan pria itu... ia dari keluarga sangat kaya dan berkuasa. Ak
nal keluarga Wibowo? Kekuatan dan pengaruh mereka begitu besar hin
erjaan sampingan lagi! Kita pasti bisa membiayai pengobatan ibumu!" Bima mencoba meyakin
Ini satu-satunya cara. Aku tidak bisa membiarkan
menahannya. Cinta mereka, yang begitu kuat dan tulus, kini harus tumbang di hadapan kekejaman takdir dan kekuasaan uang. Bima memeluk K
Bima di telinga kekasihnya. Janji itu terde
penting dari kalangan pejabat, pengusaha, dan bangsawan hadir. Kirana mengenakan gaun pengantin putih yang indah, namun ia merasa seperti mengenakan kain kafan. Wajahnya dipoles sedemikian rupa, n
ganis, istri pertamanya, duduk di barisan terdepan, menyaksikan pernikahan ini dengan hati
i, hanya formalitas belaka. Kirana merasa seperti benda, dipamerkan dan diserahkan demi sebuah perjanjian. K
dengan perabotan antik dan lukisan-lukisan mahal di dinding. Namun, kemewahan itu terasa seperti sangkar emas yang menjebakn
n piyama sutra. Wajahnya terlihat lelah. Ia tidak mendekat, hanya berdir
Mahardika, suaranya datar. "Aku tahu in
. "Aku mengerti, Tuan Mahardika," jawab Kirana, suaranya serak. Ia tahu Mahardika memi
dika. "Dan aku minta maaf atas semua ini. A
-apa," bisiknya. Ia tahu, Mahardika juga tidak menginginkan
ungi dirinya, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Ini adalah awal dari kehidupan barunya, kehidupan yang penuh dengan ke
sarapan pagi yang dingin dan formal bersama Mahardika dan Raden Mas Surya, Kirana diminta untuk
iasan kristal. Ketika Kirana masuk, Rengganis menatapnya dengan tatapan tajam yang tak ramah. W
h Rengganis, tanpa
, tangannya gemetar. Ia mencoba tersenyum,
an?" tanya Rengga
a," jawab K
hanya untuk satu tujuan: melahirkan pewaris laki-laki untuk keluarga ini. Setelah itu, posisimu
perti ini, namun mendengar langsung dari Rengganis tetap saja menyak
encoba mendekati Mahardika di luar urusan pewaris. Jangan pernah mencoba berti
air matanya agar tidak tumpah. Ia merasa begitu rendah, begitu tidak berdaya
rti?" desa
Nyonya," bi
adalah beban yang berat. "Baiklah. Sek
dan perang. Begitu tiba di kamarnya, ia langsung ambruk di tepi ranjang, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah
enyum menenangkan Bima. Di sini, di tengah kemewahan yang dingin ini, ia merasa sendirian dan tak b
erlihat memahami keadaannya, namun ia terlalu lemah untuk membela Kirana di hadapan Rengganis. Kirana tahu, ia harus berjuang sendiri. Demi ibunya, ia harus kuat
ukan sesuatu. Rengganis terus-menerus memberikan perintah dan tugas-tugas yang kadang tak masuk akal, seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah itu. Kirana membersihkan, mengatur, dan terkadang meneman
ka mereka bertemu, hanya ada keheningan canggung yang meliputi. Mahardika memang tidak pernah bersikap kasar, namun ia juga tidak pernah membela Kir
di taman belakang, ia mendengar suara Rengganis
natapnya dengan tatapan menghakimi. Di tangan Rengganis ada s
ngganis. "Kau memecahkan vas kesay
kan saya, Nyonya! Sa
adi! Kau sengaja, kan? Kau ingin merusak barang-
"Sungguh bukan saya, Nyonya! Saya
a pelayan. Mahardika yang baru pulang dari kan
ika, menatap vas yang pecah
yanganku!" seru Rengganis, menunjuk Kirana
tap mata suaminya, mencari sedikit dukungan.
a, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tidak berani. Ia tidak membela Kirana. Ia tidak mem
"Dia harus menggant
lebih lanjut. Ia melirik Kirana sekilas, pandangannya penuh
erharap Mahardika setidaknya bertanya, menyelidiki, atau bahkan membantunya menjelaskan. Tapi tidak
pasrah. Ia tahu, tidak ada gunanya melawan. D
s, seolah menang. "Bagus
diperlakukan lebih rendah dari seorang pelayan. Mahardika hanya berdiri di sana, melihatnya, sebelum akhirnya membalikka
g semua perlakuan buruk ini? Rasa rindu pada Bima semakin kuat mencengkeramnya. Ia tahu Bima
a alami. Ia hanya menulis bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia makan teratur, dan bahwa ia merinduk
erlakuan buruk dari istri pertama suaminya tanpa ada pembelaan dari sang Suami? Jawabannya masih terlalu samar, terlalu berat untuk ia pikul sendi