seperti malam-malam sebelumnya, sisi ranjang di sebelahnya masih kosong, dingin, dan tak tersentuh. Aroma maskulin yang samar dari bantal Revan adalah satu-sat
King size ini, berharap, berdoa, bermimpi bahwa suatu hari Revan akan benar-benar ada di sisinya, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara ha
mi kepentingan ekonomi dan status sosial. Keluarga Wijaya dan keluarga Dananjaya, dua konglomerat raksasa yang memutuskan untuk mengikat tali persaudaraan melalui pernikahan Kirana dan
rasa seperti kewajiban, bukan keinginan. Namun, Kirana, dengan segala idealismenya, percaya bahwa cinta bisa tumbuh. Ia percaya bah
ngkat berisi ucapan penyemangat atau sekadar bertanya kabar, yang seringkali hanya dibalas dengan emoji jempol, atau bahkan tidak dibalas sama sekali. Kirana bahkan pernah mencoba merenc
senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang tak pernah ia lihat saat Revan berbicara dengannya. Saat Kirana bertanya siapa
i tubuhnya, dan Kirana tahu Revan baru saja dari bar atau klub malam. Tanpa bertanya banyak, Kirana membantunya melepaskan dasi dan jaket, menuntunn
mam Revan, ma
ya, putri dari bibinya. Kirana dan Sekar tumbuh bersama, berbagi rahasia, tawa, dan ta
Ia tidak ingin percaya. Ia tidak boleh percaya. Keyakinannya akan cinta yang bisa tumbuh it
rsenyum tipis, bahkan sesekali melingkarkan lengannya di pinggang Kirana. Semua itu hanyalah topeng, topeng yang dikenakan untuk menjaga reputasi keluarga.
aktu berjam-jam di sana, atau pergi tidur di kamar tamu yang sudah lama ia jadikan "ruang pribadi". K
" ucap Kirana pelan, me
gkat kepalanya dari layar
ah makan
ud
rbicara dengan dinding. Ia mundur perlahan, meninggalkan Revan sendirian de
ersiapkan sarapan di dapur, menuangkan jus jeruk ke dalam gelas ketika ponsel Revan yang
lupa nanti malam ada acara pen
ang, memukul-mukul dadanya dengan irama tak beraturan. Matanya terpaku pada layar ponsel itu. Ra
buka semua pesan sebelumnya. Rentetan pesan yang tak bisa disangkal lagi. Foto-foto mereka berdua, selfie romantis di berbagai tempat, bahkan ada foto Revan mencium kening Sekar dengan latar bennya berkeping-keping. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, hanya suara detak jantungnya sendiri yang men
bisiknya, air mata mulai m
sering datang ke rumah mereka, bahkan menginap. Sekar, yang selalu memberikan saran-sar
urun dari kamar. Kirana buru-buru menyeka air matanya, berus
suaranya datar, tanpa emosi, namun ada sedikit ketegas
angkat ponsel itu, memperlihatkan layar yang masih menampilkan pesan-pesan Sekar. Revan melihatnya, dan wajahnya ti
ngar. "Ini alasan kenapa kau tidak pernah membuka hati untukku?
usap wajahnya dengan kasar
asa sakit dan pengkhianatan yang mendalam. "Dengarkan bagaimana kalia
kkan penyesalan sedikit pun. Kenyataan itu menghantam Kirana dengan keras, jauh lebih sakit daripada yang ia ba
, nadanya lebih lunak, tapi tetap saja, tidak ada empati
pikir aku bodoh?! Apa kalian pikir aku tidak memiliki perasaan?! Aku istrimu, Revan!
ipada kata-kata. Keheningan itu adalah pengakuan tanp
ang kehancuran," batin Kirana. Ini bukan lagi sekada
an?" tanya Revan, nadany
ang harus kulakukan? Haruskah aku tetap di sini, menjadi boneka dalam perni
bicara ba
palanya. "Tidak ada lagi yang bisa d
n pahit yang kini menghantamnya. Kirana tidak tahu harus pergi ke mana
ri masa lalu mendadak muncul dalam benaknya. Sebuah nama, sebuah wajah, sebuah janji yang pernah ter
Mah
masih bersembunyi di sudut hatinya yang hancur. Bara. Sahabat masa kecilnya, cinta monyetnya, orang
angga di halaman belakang rumahnya. Bara, dengan rambut acak-
rana, Bara yang akan lindungi!" janji Bara dengan lantang,
. Tapi sekarang, janji itu terngiang-ngiang di telinganya. Ia membutuhkan
g sama, yang selalu ada untuknya? Kirana tidak tahu. Tapi di tengah kekosongan dan kepedihan
penting. Ponselnya, dompet, dan kunci mobil. Ia tidak tahu akan pergi ke mana, tapi ia tahu ia tidak bis
van bertanya, suaranya ki
an bengkak. "Ke mana pun. Asalkan tid
khiri dua tahun sandiwara, dua tahun harapan yang sia-sia, dan memulai babak baru dalam hidupnya. Babak yang penuh