kan... keluar dari perusahaan ini. Sekarang juga." Pilihan yang Arga berikan sungguh kejam. Dipecat atau menjadi sekretarisnya, menjadi boneka yang akan ia perma
tercekat. "Saya akan jadi sekretaris Bapak! Tapi j
eputusan yang tepat. Sekarang, ada satu hal lagi." Arga melangkah mundur, mengambil jarak dari Naura, lalu me
ang muka, tak ingin menatap waj
ptop, dan kembali mengetik seolah tidak terjadi apa-apa. "Kamu bis
Arga untuk menyiksanya. Naura ingin protes, tapi ia tahu itu tidak ada gunanya. Ia sudah terperangkap. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
belas dengan langkah gontai. Sekar lang
melihat wajah Naura yang masih terlihat tegang. "Kam
anya. Ia menceritakan semua yang terjadi, mulai dari ancaman Arga hingga p
tim keuangan, kan?" Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Dan dilatih sama Luna? P
am!" keluh Naura, menyandarkan kepalanya di
pi... kalau kamu dipindahkan, berarti kita tidak sat
tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku t
a Naura berdering. Ia
dari seberang. "Ini Luna. Bapak Arga ingin kamu segera
telepon. "Tuh kan, baru juga dibilang. Sudah dipanggil lagi," gerut
is. "Semangat, Naur
f, tidak jauh dari ruangan Arga. Begitu sampai, ia mengetuk pintu dan masuk setelah dip
a menatap Naura. Ia sibuk m
kursi di hada
gak, menatap Naura dari ujung rambut hingga ujung kaki. T
ing. "Saya tahu, Anda
uarga Wijaya. Dan saya yang paling mengerti apa yang Pak Arga inginkan. Kenap
tahu Luna sedang men
odanya, kan?" tuduh Luna, mata
Luna! Saya tidak pernah menggoda siapapun! Saya di
nya ke meja. "Dengar ya, gadis kampung. Kamu pikir kamu bisa mendapatkan hati Pak Arga? Jang
aya tidak tertarik dengan atasan yang s
erani sekali kamu bicara begitu tentang
"Saya tidak peduli. Saya hanya
"Dengar ya, selama kamu jadi sekretaris Pak Arga, kamu harus patuh pada s
engaja menjelaskan hal-hal yang rumit dan tidak relevan, seolah ingin membuat Naura merasa bodoh. Naura berusaha
enuju kamar, mengambil jas Arga yang ia letakkan di kursi. Jas itu memang mahal, Naura b
aimana cara mencuci jas semahal ini. Ia takut merusaknya. Naura akhirnya memutuskan untuk mem
Arga di koridor, di aula, hingga perdebatan sengit di ruangan Arga. Ia juga memikirkan Luna yang jelas-jelas membencinya. Naura merasa sa
uka pagi-pagi sekali. Naura menjelaskan kronologi noda pada jas itu, dan petugas laundry berjanji akan mengerjakannya secepat mungkin. Naura harus menunggu
ampai tepat waktu, meskipun dengan napas terengah-engah. J
dah menunggunya di depan pintu ruangan Arga
Luna. "Cepat masuk! P
an Arga. Arga sedang duduk di kursinya, membaca
akkan jas Arga yang sudah bersih di ata
ngangguk. "Bagus. Mulai sekar
"Baik, Pak. Apa yang
rhadapan langsung dengan mejanya. Meja itu dulunya mil
dan beberapa instruksi. Ia menata
ata dengan nada arogan. "Jangan harap kamu bisa bersanta
ertemuan, hingga menyiapkan presentasi. Belum lagi urusan personal Arga yang Luna selipkan di antara tumpukan dokum
rotes Naura. "Saya tidak bisa
Ia melirik Arga yang hanya diam saja, seolah menikmati penderitaan Naura. "Saya akan pergi
dengan setumpuk pekerjaan. Naura merasa sangat kesal. Ia ta
masih terpaku, berdeha
arah. "Ini terlalu banyak pekerjaan, Pak! Saya
kretaris," Arga menjawab tenang. "Kalau kamu
di bawah meja. Ia harus bertahan. Ia harus mem
suaranya mengandung tekad.
ia sama sekali tidak punya pengalaman. Ia harus menelepon banyak pihak, mengatur jadwal Arga yang sangat padat, dan mempelajari semua dokumen p
ika Naura bertanya tentang sesuatu yang menurutnya dasar. "S
h. Jadwal ini tidak bi
ia tahu itu akan memperburuk keadaan. Ia harus menunjukkan ba
a di meja, sambil terus memeriksa email dan jadwal Arga. Ia bahkan tidak
lah. Pekerjaan ini jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan. Lap
dari laptopnya.
Pak. Masih ada beberapa ya
Arga santai. "Saya akan pulang dulu. Jangan l
angan tanpa menunggu jawaban Naura. Naura menatap punggung A
ura kesal. "Ini ben
suara ketikan keyboard dan sesekali suara Naura yang mendesah frustasi. Ia merasa sangat kesep
aris saya, maka silakan... keluar dari perusahaan ini. Sekarang juga." Pil
li fokus pada layar laptopnya. Ia harus men
ikan semua pekerjaannya. Ia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku
i. Ia melirik meja Arga, yang juga sudah rapi. Ia
if sudah sepi. Hanya beberapa lampu yang menyala red
g dengan pikiran kalut. Hari pertamanya sebagai sekretaris Arga Narendra Wijaya adalah mimpi buruk. Ia tidak tahu apakah ia akan sanggup menghadapi hari esok, dan