cetan ibu kota menjadi penghalang terbesarnya untuk sampai tepat waktu di kantor. Naura, dengan napas terengah-engah, memacu motor matic-nya menembus padatnya lalu lintas. Kemeja putih yang ia kenaka
tatapan sinis dari manajernya, Bu Sin
i di minimarket dekat kantor. Cairan dingin itu adalah satu-satunya harapan untuk menyegarkan pikirannya yang sudah kacau balau sejak pagi. Langkahnya tergesa-gesa menyusuri koridor lant
nya sendiri. "Naura, kamu harus cepat! Ka
am digital. Ia mempercepat langkahnya, bahkan nyaris berlari di tikungan koridor menuju deretan lift. Tanpa ia sadari, dari arah
R
hi jas pria itu. Aroma kopi yang manis bercampur susu langsung menyebar di udara. Naura terhuyung ke belakang,
r Naura, emosinya sudah memuncak. Rasa panik karena takut terlambat,
ya yang semula datar kini diliputi amarah. Rambutnya hitam legam tersisir rapi, hidungnya
perti dikejar setan! Lihat ini!" tunjuk pria itu pada noda kopi
onsel, kan? Sama saja cerobohnya!" Ia melirik jam di ponselnya lagi.
badan dan mempercepat langkahnya menuju lift yang kebetulan bar
u saja?!" teriak pria itu, suaranya menggema
tertutup, meninggalkan pria itu sendirian denga
k di meja mereka, sesekali melirik ke arah pintu ruang CEO. Naura, yang berhasil lolos dari cengkeraman waktu,
kerjanya yang duduk di meja sebelah. Sekar adalah satu-satunya teman
ura sambil menghela napas lega. Ia melirik Sekar yang terlihat sangat an
rbinar-binar. "Naura, kamu tahu tidak? Hari ini kita
a, tidak terlalu tertarik. Perubah
ar, dia tampan sekali, Naura! Masih single pula! Katanya, dia yang akan menggantikan Pa
ibuk membuka email. "Memang kenapa kalau tam
pan!" Sekar menyenggol lengan Naura. "Dengar-dengar juga, dia ini lulusan luar
. "Perhatian kepada seluruh karyawan, mohon untuk berkumpul di aula ut
dengan sebuah podium di tengahnya. Tak lama kemudian, Pak Wijaya, CEO perusahaan yang sudah beruban namun masih terlihat gagah, nai
salah lihat. Pria di samping Pak Wijaya adalah pria yang baru saja ia tabrak di koridor tadi pagi.
rnya pucat pasi. Sekar men
mukamu jadi pucat b
pi buruk. Ia akan dipecat, ia yakin sekali. Ia sudah menghina dan membasahi jas anak CEO! Habi
ni, saya akan memperkenalkan putra saya, Arga Narendra Wijaya, yang akan mengambil alih kepemimpinan perusahaan ini. Saya per
u terdengar samar di telinga Naura. Ia masih memejamkan
rcium lagi. Naura menahan napas. Ia membuka matanya perlahan, dan pandangannya l
yata kamu kerja di sini?" suaranya rendah, namun jelas terdengar oleh Naura
terdiam. Bisik-bisik mulai terdengar. "Tanggung jawa
sal dan marah. "Itu juga salah Bapak!" balas Naura, tanpa sadar ia menggun
atanya menyiratkan kemarahan yang membara. Ia me
rg
sudah turun dari panggung dan mendekati mereka. "
a. "Papah lihat sendiri, kan? Gara-gara wanita ini, jas
as. "Ya ampun, Arga. Kamu ini. Kan bisa minta Bibi Rina
Arga berseru,
n ribut di depan karyawan lain. Tidak enak
duga, ia membuka jasnya, melepaskan dari tubuhnya, dan melemparkannya tepa
tidak bersih!" perintah Arga, nadanya penuh dominasi. Ia kemu
kini berdiri tegak di samping Pak Wijaya. Berbagai emosi bercampur aduk di dadanya: kesal, marah, malu, dan sedikit... takut. Ini bar