tar liar, memecah kegelapan dan menciptakan siluet-siluet samar di lantai dansa. Udara dipenuhi aroma alkohol, parfum mahal, dan sedikit keputusasaan yang tak terucapk
n kekayaan. Ini adalah medan perang Arabella, tempat ia berjuang demi kelangsungan hidupnya, demi secercah harapan untuk melunasi utang miliaran orang tuanya yang telah tiada, dan d
satu sofa empuk, dikelilingi botol-botol minuman mahal. Om-om itu tampak kesepian, matanya menerawang kosong di bal
a cara memainkan peran ini, bagaimana membuat pria-pria ini merasa istimewa dan diinginkan. Tu
abella. Senyumnya melebar, menampilkan deretan gigi yang sediki
nyah namun hampa. "Om bisa saja. Saya sedang m
enginvasi indra penciuman sang om. Pria itu menggeser duduknya, memberi ruang, dan Arabella tak menyia-nyiakannya. Ia duduk di pangkuan om-om terse
ngan gerakan ragu. Sentuhan itu membuat Arabella merinding, namun ia menahannya. Senyumnya tetap
kin memerah, napasnya memburu. Ia merasakan tangan sang om mulai bergerak lebih berani, membelai pinggangnya, lalu perlahan n
m itu serak, dipenuhi hasrat yang tak tertahank
, Om. Dengan senang hati." Ia tahu, malam ini ia akan me
su malam panjang yang ia habiskan untuk melarikan diri dari masalah. Sebagai CEO termuda dan terkaya, Arkan seharusnya menikmati hidupnya. Namun, tekanan bisnis, intrik perusahaan, dan masalah kel
un samar, Arkan bisa merasakan aura misterius dari wanita itu. Gaun hitam yang membalut tubuhnya, rambut hitam panjang yang terurai, dan senyum yang tampak dipaksakan-semuanya menar
ebuah keinginan untuk memiliki wanita itu, untuk menariknya keluar dari situasi yang terlihat menyedihkan di matanya. Tanpa pikir pa
Arkan dengan suara sed
inggi dan riasan tebal, segera menghampiri Arkan dengan senyum
dengan dagunya. "Wanita yang itu
nita itu, Arabella, salah satu permata barunya. "Maaf sekali, Tuan Arkan," katanya dengan
Berapa pun harga yang ditawarkan Om Handoko, saya akan berikan dua kali lipatnya. Katakan padanya!" Suaranya terdengar dat
Handoko memang klien loyal, tapi Arkan adalah klien kelas kakap yang mampu membeli sel
dam Shinta dengan senyum memohon. "Ada
lukannya pada Arabella sedikit melongg
Om Handoko mendengarkan dengan mata membelalak, antara terkejut dan tergoda. Pada akhirnya, uan
datang dan Om Handoko melepaskannya. Ia turun dari pangkuan itu dengan bingung. "Ada apa, Madam
, terkejut dengan gerakan mendadak itu. Saat ia melihat sosok Arkan, matanya membelalak. Pria itu tampak familiar, ia sering melih
ngat, senyumnya kembali merekah lebar. "Tuan Arkan akan mem-booking
n, ia merasakan gelombang kejutan dan kemarahan. Harga dirinya... dihargai begitu murahnya, bahkan ditawar
yang mabuk dan tak sabar langsung meraih pergelangan tangan Arabella. Ceng
ah dan serak, nadanya tak terbantahkan. Ia bahkan t
knya memberikan sedikit basa-basi. Ini adalah paksaan murni. Kekesalan membuncah di dadanya, namun ia tak bisa melawan. Tenaga Arkan terlalu kuat, dan
n ia sedikit limbung karena pengaruh alkohol. Arabella berusaha menyeimbangkan diri, mengikuti langkah Arkan yang lebar. Mereka melewa
gan pencahayaan remang-remang, ranjang besar dengan seprai sutra, dan perabotan elegan. Namun, suasana
a di dalam dunianya sendiri. Ia berbalik, menatap Arabella dengan mata yang masih merah d
Kata-katanya menusuk Arabella seperti pisau. Perintah itu terdengar begitu merenda
nsekuensinya. Dengan kepala tertunduk, ia mulai mendekati Arkan. Ia tahu apa yang ha
latih, Arabella mulai membuka kancing kemeja Arkan satu per satu. Jari-jarinya yang ramping gemetar sedikit, namun ia berusaha menyembunyikannya. Saat kemeja itu
, suaranya parau, menga
Setelah itu, ia melepaskan gaunnya sendiri, membiarkannya jatuh ke lantai seperti kepompong yang
Bibir Arkan menemukan bibir Arabella, melumatnya dengan kasar. Ciuman itu intens, menuntut, penuh dengan keputusasaan dan hasrat ya
e leher Arabella, menyesap kulit lembutnya. "Ah..." gumamnya, suaranya berat dan serak, penu
ini adalah bagian dari pekerjaannya. Ia harus terlihat menikmati, mesk
ngan lembut, namun penuh keinginan. Kemudian ia menindih Arabella, menatap dala
asakan napas Arkan yang hangat di wajahnya, sentuhan
namun ia menahannya. Ia harus kuat. Kemudian, rasa sakit itu berubah menjadi sen
enuhi pelepasan hasrat yang tertahan. Gerakannya semakin cepa
am hatinya ia hanya ingin semua ini cepat berakhir. Ia menggigit bibirnya, menahan suara-suara lain yang mung
. ahh..." Ia mengerang, mencengkeram erat pinggang Arabella, seolah ingin meny
nya. Bersamaan dengan itu, Arkan mengeluarkan desahan panjang yang dalam, sebuah raungan kepuasan
ia sekali lagi menukar harga dirinya dengan secercah harapan. Ia tahu, fajar akan tiba, dan ia harus bangkit, kembali menjadi Arabella Alexandro sang mahasiswi, meninggalkan jejak malam yang memalukan ini di b