"Pak... Reza," katanya, suaranya pelan. "Anda tidak tahu apa-apa t
ratama tunjukkan. "Mungkin saya tidak tahu detailnya, Dewi. Tapi saya meliha
ewi. Ia menatap Reza dengan
sarkan saya. Dia hancur, sama seperti kamu sekarang." Reza mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya lekat pada Dewi. "Saya melihat kamu dan saya meliha
ah berpikir bahwa seorang pria sekaya dan sekuat Reza akan memiliki cerita seperti itu. Rasanya, ia
a ingin kamu memberikan saya kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa cinta tida
sendirian lagi. Hatinya yang dingin perlahan mulai mencair. "A
bagai teman. Apa pun itu. Mulailah dengan pekerjaan ini, Dewi. Bangun kembali dirimu, bukan untuk membu
untuk menyenangkan Pratama. Ia berusaha menjadi yang terbaik agar Pratama bangga padanya.
menarik napas dalam-
sebelumnya. Di sini, tidak ada tatapan sinis, tidak ada gosip yang membicarakan masa lalunya. Semua orang ramah, profesional, dan menghargai karyanya. Rez
za datang menghampirinya. "Dewi, apakah kamu keberatan jik
ederhana di dekat kantor. Di sana, suasana terasa lebih santai. Reza tidak membahas p
n hal itu. "Dulu... saya suka melukis. Melukis pema
tanya Re
arena Pratama selalu menganggap hobinya kekanak-kanakan. Pratama lebih suk
. Kapan-kapan, ayo kita melukis bersam
ebar. "Anda j
Tapi saya selalu suka seni. Makanya saya terkesan
sedikit demi sedikit tentang hobinya, tentang keluarganya. Ia bahkan tidak meny
makan siangnya, Re
a, Dewi. Lain kali, kita
uga menghabiskan waktu di akhir pekan. Reza mengajak Dewi ke galeri seni, ke pameran-pameran, dan akhirny
pun yang kamu
tidak menyentuh kuas. "Aku t
hatimu," bisik Reza. "Keluar
nggoreskan kuas. Warna-warna gelap, hitam, abu-abu, dan biru tua, mulai memenuhi kanv
nggelam dalam perasaannya. Ia tidak bertanya, ia
ebuah lukisan yang penuh dengan kepedihan, namun juga penuh
, bukan pelukan yang terburu-buru seperti Pratama. "Tidak
han, air mata yang selama ini ia sembunyikan. Ia menangis sejadi-
Reza mengusap rambut Dew
a lebih baik," ja
sendiri," kata Reza. "Kamu sudah mulai meneri
ggu taksi di depan kantor, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Jendela mobil
ada mengejek. "Aku dengar kau bekerja di sini
n. Ia sudah tidak tak
Jangan pernah berpikir bisa menggoda Pratama lagi. Dia sudah bahagia denganku.
issa dengan tatapan yang tajam. "Aku tidak pernah mengganggu Pratama, Clarissa. K
ngan jawaban Dewi. "
tidak punya apa-apa lagi untuk ditakuti
um mengambil segalanya, Dewi. Ma
idak peduli. Ia berjalan pergi, meninggalkan Cla
an aneh dari rekan-rekan kerjanya. Ada yang berbisik-bisik saat ia
depannya, ada foto dirinya dengan Reza, sedang makan siang. Judulnya,
ya?" gumamnya. "Aku bukan
rang dengan Pratama Abisatya, dan kini ia mencoba untuk menjerat Reza, yang juga dikenal sebagai saingan bisnis Pr
gkit, semua usahanya untuk melupakan masa lalu, hancur dalam sekejap.
nya. "Dewi, apakah kamu sudah membac
mengangguk, is
majalah itu dan merobeknya. "Mereka tidak tahu
sudah tahu," ucap Dewi. "Mereka akan
peduli apa kata mereka. Saya tahu siapa kamu. Saya tahu kamu adalah wanita
kan merusak reputasimu," u
ak hanya karena satu artikel murahan. Lagipul
rdiam. Jantungnya berdebar ke
ya melihatmu. Kamu mungkin tidak percaya, tapi ini benar. Saya ingin membuktikan, b
ankah ia percaya lagi? Akankah ia membuka hatinya un
ng terjadi. Ia teringat akan Pratama, janji-janji palsunya, dan luka yang ia b
, dan kembali ke masa lalu. Atau bang
ya. Kali ini, ia tidak melukis jentera usang. Ia melukis matahari, yang perlahan terb
, dan masih ada luka di hatinya. Tetapi, ia tidak sendirian lagi. Ada Reza, pria yang berja
rna-warna yang cerah, dengan harapan yang baru, dan dengan cinta yang tulus. Ia tidak akan membiarkan masa lalunya men