arkan diri adalah memori samar y
h, dia menyimpulkan demikian. Sebab bau khasnya melekat dan menjadi-jadi seiring kesadarannya berangsur menjauh. Di ten
s. Barangkali dia monster pengisap darah, sebab perilakunya begitu liar dan membabi buta. Jade mengingat betapa panik dirinya sehingga dia memberontak dan menendang, tetapi tenaganya justru
nar lenyap, tatapan pemuda itu terpa
seringai di waj
e terbangun dan berusaha menggerakkan sendi-sendinya yang kaku luar biasa. Mengerang sembari mend
nyeri, meraba kulit yang sebelumn
engan cermat. Sisa darah masih menempel di jemarinya, dan fakta ini membuatnya gemetar sekaligus takut. Bila dia benar-benar digigit, apa yan
e mana makhluk itu pergi. Jade menyapu pandang seluruh kamar. Tidak ada tanda-tanda perusakan. Barang-barangnya masih tergeletak rapi di tempat semula,
a. Potret gadis berwajah pucat itu masi
sternya sudah kembali
ran yang menjadi-jadi, Jade memutus
rumahnya masih rapi seperti sedia kala. Langkahnya menuruni tangga, melongok ke bawah dari bali
gang pisau tepat ketika suara pe
udah b
paras tanpa ekspresi. Penampilannya kelewat normal. Tidak ada lagi tubuh ringkih pucat dan berlendir, ataupun helaian rambut lebat yang menutupi wajahnya seperti spandu
andingkan ukuran tubuhnya; sekilas memiliki potongan tubuh yang sama dengan Cassie. Jade bisa dengan mudah m
sama gelap seperti rambutnya. "Sejak dulu aku sudah b
a dirinya bernapas pelan. "Kau
, tetapi secara subtil, tatapa
amu?" Jade
rde
i apa?
nnya untuk menyentuh Jade. Namun, pemuda itu menepisnya dengan kasa
ngin. "Tidak ada manusia yang
rkilat tajam dengan sorot jemu, lalu menatap wajah pemuda itu lagi. "Kau yang membebaskanku dari lukisan. Seharusnya ak
a lebih tegas dan keras. Pemuda itu menodongkan pisau lebih dekat ke pipi Cordelia. "Aku tidak puny
kalau kau menurunk
ade, menelengkan leher. Jemarinya yang bebas menunjukkan luka di lehernya
a dalam lukisan tanpa makanan selama bertahun-
a-tiba tercium bau darah, asalnya dari luar lukisan. Aku tak bisa mengendalikan naluri alami dan insting purba yang melekat di otakku. Kaumku sudah seperti ini sejak dulu tanpa kami minta. Singkat cerita, ragaku bereaksi secara otomatis untuk setiap tetes darah yang t
nya. Pemuda itu mundur sejenak hingga tubuhnya membentur konter dapur di belakang. Dia berpegangan
terkejut, tapi kukira kau sudah
a mata kelam Cordelia yang gelap dan kosong. "Darah, katamu? Kau bereaksi dengan
ebelum insiden itu. Jarinya tergores serpihan kayu. Dia sedang menyeka
sial
gan tangan. Rautnya beruba
menegapkan diri dan menghampiri Cordelia. "Ba
u?" Cordelia m
k serpihan kayu, lalu ... kau tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku sama sekali bukan orang yang kau harapkan. Bahkan sama sekali ti
k lagi," Cordelia ta
erti ban yang m
imu, aku tidak bisa masuk
gar rambutnya dengan frustrasi sambil berkacak pinggang, tak tahan dengan semu
yerupai putri kerajaan angkuh yang mondar-mandir dengan gaun tidur kuno. "Sudah kubilang tadi, aku tidak bisa menahan gejolak lapar yang menjadi-jadi. Sudah lama sekali sampai aku b
a? Lalu bagaimana ... apa hubungannya itu dengan
elia mengulurkan tangan ke lehernya. Jade praktis merasakan sengatan perih tatkala ujung jari Cordelia menyetuh lukanya. Gadis itu menjelaskan perlahan, "Saat abare menemuka
de mengerja
darah," kata Corde
imaksud bud
ain, setelah kau menerima gigitanku, kita sudah terikat secara adat abare. Ada sesuatu di dalam tubuhmu yang te
u hasrat. Pupilnya menggelap, dan warna hitam yang pekat
bat melalui ulu hatinya, dan naik ke sangkar rusuk. Kemudian, seolah-olah ada kantuk yang menyerbunya dengan tiba-tiba, kekuatan asing itu
ngan fokusnya yang terdistra
ade, mengusapkan ibu jarinya di sepanjang rahang dan bibir si pemu
Kepalanya sakit dan berputar-putar, seolah-olah dia dijangkit demam aneh secara mendadak. Pemuda itu menggeliat-geliut, mendesaukan napas yang tingg
an merundukkan wajah di leher Jade, yang kini terbaring tak berdaya sekaligus dicengkeram rasa takut. "Dan aku merasa sanga
uk lehernya, disusul sedetik kemudian, sengatan set