" bisik Veron sambil
ik ke arah deretan tamu undangan yang baru saja
modern yang menambah kesan rapi dan elegan. Kain jariknya cukup membentuk lekuk tubuhnya, dan setiap
a melintas di depan barisan pagar, meningg
Veron, sambil menahan tawa. "Coba aja dia n
a soal kebaya atau jariknya, Tante Meta memang punya aura yang susah di
g jelas, aku merasa sungkan. Tante Meta, ibunya Alisa,
atau menatap sekeliling, pandanganku selalu kembali ke Tante Meta. Ada sesuatu dalam cara dia me
agi, Tante Meta memang punya aura yang susah diabaikan, dan aku,
ahan Bang Yosi dan Mbak Elin, anak kedua Pak Ma
ngan tenda warna-warni. Musik organ tunggal sudah siap di pa
ian adat Sunda yang disediakan panitia. Para pagar bagus mengenakan beskap ungu dipadu bendo dan kain jarik bernuansa megame
h. Sesekali aku mencuri pandang ke arah kerumunan. Bukan pada gadis-gadis sebayaku, tap
cara tersenyum, cara kain panjang kebaya menyapu lantai den
u berusaha tetap menjaga senyum formal saat menyambut tamu. Tapi bayangan Tan
ngga pipi kanannya muncul lesung pipit kecil. Aku refleks merapika
bil sedikit menengadah karena aku lebih tinggi.
ku agak gelagapan, buru-buru menunjuk k
arik Tante Meta, mendadak salah tingkah. Senyum sok manis
ekeh kecil, lal
ut, Tan?" tan
ara khusus. Oh iya kebetulan Ta
u balik ber
ubungi. Maksud Tante... biar nanti kalau perl
harus ke aku, kenapa gak ke Ivone, Iv
tap serius menu
erusaha terdengar tenang meski tel
bening, jemarinya lentik dan kuku rapi berwarna nude. Wangi par
tik aja lang
eras-keras. Matanya melotot, jelas masih syok karena kenyataan bera
memberikan pon
saya simpan nomor s
epan tubuh, berusaha menjaga wibawa. Kain jarik yang kupakai memang agak se
ganku yang tersilang lebih lama dari yang kusangka. Lal
ditutupi pake dua
Di sampingku, Veron sampai terbatuk-batuk menahan kaget.
.." suaraku nyar
tak terjadi apa-apa, lalu melangkah anggun meninggalkan aku dan Veron. Aku masih terp
g sekomplek bisikin gituan sama lu?"
uk, mencoba menutupi rasa
ntin bergerak ke masjid kompleks,
ongan, kebagian tugas membawa kotak cenderamata. Aku memilih duduk sebentar di kursi ko
ariknya. Kebaya hijau tosca yang tadi membuatku salah tingkah kini terasa l
kku. Begitu aku berani memandangnya, cepat-cepat ia alihkan tatapannya, pura-pura sibuk memainkan ponselny
nak kecil berlarian terdengar samar. Tante Meta tersenyum tipis. Senyum yang tidak biasa. Bukan sekedar b
erdegup tak karuan. Aku lantas pura-pura main ponsel biar nggak kikuk. Tiba-tiba ada
ternyata besar banget ya. Keli
Kelabakan, buru-buru menengok sekilas ke depan. Tante Meta masih duduk manis, wajahnya datar seolah
nnya, tapi malah jari-jariku bergerak sendiri. Ada doronggak enak gini... takut ada
napas. Degup jantungku makin keras. Dari depan, Tante Meta
-titik tiga di layar membu
k papa kok... asal jangan di
gak ketahuan panik. Dari depan, Tante Meta hanya menyilangkan ka
oba tenang. Tapi entah kenap
dipegangin sama Tan
n berani gini?' Aku m
*