Penyiar berita menyampaikan informasi itu dengan suara lantang dan tenang, lengkap dengan gestur seorang profesional. Namun perhatian seorang pria di ruangan remang itu tidak tertuju pada isi beritanya-melainkan pada kotak kecil di pojok layar, tempat seorang wanita cantik dengan raut tenang menerjemahkan seluruh informasi dalam bahasa isyarat.
Tatapan mata biru tajam itu hanya terpaku pada wanita tersebut. Pandangannya sedingin lautan es, namun sorotnya menyiratkan badai dalam diam.
Klik.
Televisi dimatikan. Sang kepala divisi kriminal, Sato Daneyo, mengembuskan napas panjang sebelum memutar kursinya, menatap para anggotanya.
"Siapa yang menyebarkan informasi kacau ini? Pembunuhan berantai? Media hanya memperkeruh situasi. Pembunuh itu pasti sedang mengawasi kita dan merasa bangga karena karyanya menjadi sorotan publik."
Nada suaranya sarat dengan kekesalan. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma kopi yang mulai dingin dan ketegangan yang menggantung berat di udara.
Lalu, tatapannya jatuh pada seorang pria berbadan kekar yang duduk diam dengan wajah termenung.
"Yaaa, apa yang kau pikirkan? Jangan buat masalah dulu. Kepala polisi memerintahkan kita untuk menunggu perintah," ucap Sato dengan nada tegas.
Grey Massimo, sang "Hiu Daratan"-julukan yang ia sandang karena reputasinya yang keras, cepat, dan tak kenal takut-membuang napasnya kasar. Ia membuka minuman kaleng lalu menenggaknya dengan santai, meski jelas ada bara api dalam dadanya.
"Kita harus menunggu korban selanjutnya untuk bertindak?" tanyanya dingin. "Jangan dengarkan pria tua itu. Aku akan tanggung semua konsekuensinya."
Sato memutar bola matanya sambil mendecak. "Kenapa aku harus memimpin mereka?" gumamnya lirih. "Mereka sungguh membuatku mati cepat."
Tanpa menunggu instruksi, Grey berdiri. Ketiga rekannya-Naco, Mores, dan Kezi-langsung ikut berdiri dari kursi masing-masing seolah sudah tahu apa yang akan terjadi.
"Yaaa, kalian mau ke mana?" Sato hampir berteriak. Tak satupun yang menjawab.
Grey berjalan keluar dengan langkah lebar. Di luar kantor, udara malam begitu dingin, namun rokok yang ia ambil dari tangan Mores segera menghangatkan bibirnya.
"Kita ke TKP," ucap Grey sembari menyulut rokok.
"Bagaimana dengan media?" tanya Naco.
"Aku yang akan menanganinya," jawab Grey singkat.
Tak lama, keempatnya sudah berada di gang sempit di komplek Tronto. Garis polisi masih membentang, dan kapur putih di aspal menandai posisi korban saat ditemukan. Bau darah masih menyengat di udara.
Mereka meneliti sekitar, memperhatikan setiap detil.
"Grey, lihat ini!" seru Naco, menunjuk ke sebuah jejak sepatu yang samar. "Kurasa tim BFN belum menyentuh ini."
Grey menyeringai tipis. "Potret. Panggil BFN sekarang juga."
Baru saja mereka melanjutkan penyelidikan, sebuah mobil bertuliskan HBC MEDIA berhenti tak jauh dari sana.
"Res! Naco! Cepat ke sini, idola kita datang," seru Kezi girang.
Grey mengernyit. Idola?
Perempuan cantik turun dari mobil. Rambutnya dikuncir dengan beberapa helaian menjuntai manis di pipi. Tubuhnya ramping dan sempurna dalam balutan jas formal.
"Launa Corosaine," bisik Mores kagum.
Grey melirik tajam. Dia?Hatinya mengerut.
Launa. Wanita yang diam-diam menyandang status sebagai istrinya-rahasia yang mereka kubur dalam-dalam.
Tiga rekannya hendak menyambut Launa, namun dengan cepat Grey menarik kerah mereka mundur.
Launa menunduk kala Grey berlalu begitu saja. Jemarinya saling memilin, bibirnya digigit pelan.
Apa dia sebenci itu padaku? batinnya nelangsa.
Sesaat kemudian, di sebuah kedai kecil, tawa mereka mengudara sambil menikmati minuman. Namun kebahagiaan itu segera memudar ketika ponsel Grey berdering.
Nomor tak dikenal.
"Grey Massimo," ucap suara berat di seberang.
Grey mendadak diam. Gigi-giginya menggertak.
"Perempuan penerjemah itu... tubuhnya seksi. Apa kau pernah menyentuhnya?" tanya si penelepon dengan nada main-main.
Grey berdiri, meninggalkan meja, keluar kedai.
"Aku tidak tahu siapa kau, tapi kau sedang bermain dengan api."
"Tentu kau tahu siapa aku. Dan hanya aku yang tahu siapa istrimu sebenarnya."
Diam. Jantung Grey berdetak cepat.
"Launa Corosaine, penerjemah bahasa isyarat... dia adalah istrimu, bukan?"
Suara itu terdengar puas.
Grey terkesiap. Siapa orang ini?
"Saat ini, aku melihatnya dari dekat. Sangat dekat... dia cantik sekali."
Seketika Grey berbalik. "Kezi, lacak nomor ini. Naco, Mores, ke mobil. Sekarang!"
Meski telepon sudah terputus, kepala Grey dipenuhi amarah dan kegelisahan. Pikirannya hanya pada satu orang.
Launa.
Dan ia bersumpah-siapapun yang mencoba menyentuh wanita itu, akan berurusan langsung dengan hiu daratan kota Turin.