Lampu-lampu lorong kantor menyala redup. Hening. Nyaris tidak ada siapa pun di lantai produksi malam-malam begini-kecuali mungkin bagian editing. Rania melangkah cepat, menyusuri lorong, lalu berhenti di depan ruang wardrobe yang sedikit terbuka. Ia sempat berpikir melihat bayangan seseorang di dalam, dan rasa ingin tahu mendorong langkahnya mendekat.
Saat pintu terbuka sedikit... Rania terhenti.
Dari celah sempit antara kusen dan daun pintu, matanya menangkap sesuatu yang menghantam keras ke dalam dadanya-Devan Anggara. Pria yang telah melingkarkan cincin pertunangan di jari manisnya, kini tengah berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita lain. Alyssa. Aktris baru yang akhir-akhir ini sedang naik daun-dan belakangan sering bermain dalam film-film garapan naskahnya.
Punggung Devan membelakangi pintu, tapi jelas terlihat tangan laki-laki itu sedang membelai punggung telanjang Alyssa yang hanya mengenakan gaun sutra tipis, melorot dari bahunya. Sementara tangan satu lagi menahan dagu sang wanita, mengangkat wajahnya ke arah bibirnya. Dan lalu... ciuman itu. Lembut, panas, dan terlalu dalam untuk sekadar godaan singkat.
Rania membeku.
Darah dalam dadanya berdesir.
"Dev, sampai kapan kita akan bersembunyi seperti ini terus?" tanya Alyssa dengan nada manja.
Devan tertawa pelan, membelai rambut panjang Alyssa yang kusut.
"Sabar, Sayang," bisiknya. "Beberapa bulan lagi pernikahanku dengan Rania akan digelar, dan setelah itu... aku akan diangkat jadi CEO LUX Studio. Baru setelah itu aku akan menceraikannya. Lalu kita bisa bebas bersama."
Alyssa memeluknya erat, terlukis senyum licik di wajahnya. "Jangan sampai kamu jatuh hati sama calon istrimu sendiri, ya."
Devan terkekeh. "Tenang saja. Rania cuma batu loncatan agar aku mendapatkan kursi CEO. Aku bahkan nggak pernah mencintainya."
Ucapan itu... menusuk lebih tajam dari sembilu.
Lutut Rania seketika lemas. Pandangannya buram oleh air mata yang tertahan. Dunia seolah terlipat, menghimpitnya tanpa ampun.
Ia memundurkan diri perlahan, masih memeluk berkas naskah yang tadi ingin ia revisi. Satu langkah lagi dan ia bisa saja jatuh, tapi ia tahan semuanya, tangisnya, marahnya, bahkan jerit di dadanya.
Ia tak ingin mereka tahu ia ada di sana. Tanpa suara, ia berbalik. Napasnya memburu, matanya panas. Ia melangkah cepat menembus lorong sunyi, dan begitu keluar dari gedung, hujan turun deras, mengguyur tubuhnya.
Namun bukan dingin hujan yang menusuk, melainkan dinginnya pengkhianatan.
Rania masuk ke dalam mobil kantor yang setia menantinya. "Jalan, Pak," katanya pada supir.
"Ke mana, Mbak?"
"Jalan saja dulu, Pak."
Mobil pun melaju tidak tahu hendak ke mana yang Rania tahu hanyalah satu: ia harus pergi. Jauh dari gedung itu. Jauh dari kenangan dan kebohongan.
======
Setengah jam di perjalanan, Rania tiba di depan sebuah bar yang terletak di pusat kota-tempat orang-orang datang untuk melarikan diri dari hidup mereka. Cahaya remang, musik jazz yang mengalun pelan, dan aroma alkohol bercampur parfum mewah menjadi pelarian sempurna dari kenyataan.
Rania duduk di pojok bar, mengenakan mantel panjang yang masih sedikit basah. Rambutnya terurai berantakan, tapi wajahnya tetap cantik meski tanpa riasan. Ia memesan whiskey, sesuatu yang jarang ia sentuh, tapi malam ini... ia benar-benar butuh minuman itu.
Satu teguk, dua teguk... dan dunia mulai terasa ringan. Hatinya tidak, tapi tubuhnya mulai mati rasa.
"Pertama kali minum?" tanya sebuah suara berat dari sampingnya.
Rania menoleh. Seorang pria duduk di sebelahnya. Tinggi, rapi, gagah. Wajahnya seperti keluar dari sampul majalah pria dewasa-rahang tegas, mata tajam, dan senyum yang bisa meruntuhkan pertahanan siapa pun.
Ia mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku, kancing bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan sedikit lekuk dadanya yang bidang. Lengan kekarnya bersandar santai di meja bar.
"Gak juga." Rania menyunggingkan senyum kecut sambil memutar gelasnya pelan.
"Sepertinya kamu minum karena sedang patah hati," ucap pria itu santai.
Rania tertawa kecil. "Tunanganku tidur dengan wanita lain malam ini. Di kantor, di tempat kami bekerja."
Pria itu tak menjawab langsung. Ia menatap Rania, dalam, seolah sedang mencoba membaca luka-luka di balik wajah cantik yang kini mulai memerah karena alkohol.
"Kamu terlalu berkelas untuk pria brengsek seperti itu."
"Sayangnya... pria brengsek itu hampir jadi suamiku." Rania mengangkat gelasnya, meneguk sisa minumannya. "Tapi aku bersyukur, setidaknya aku tahu sekarang daripada nanti, setelah kami menikah."
Pria itu mengangguk setuju.
Rania menoleh padanya, menatap sedikit lebih lama. "Aku Rania."
"Nathan." katanya, mengulurkan tangan hangat. "Senang bertemu denganmu... di malam terburukmu."
"Senang juga bertemu denganmu di waktu yang paling salah... atau tepat?" ucap Rania, sedikit bingung, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit diartikan.
Pria itu menatapnya dalam, lalu tertawa pelan. "Kadang, waktu yang salah justru membawa kita ke tempat yang tepat."
Percakapan mereka mengalir, ringan dan jujur. Mereka membahas hal-hal yang tak penting-tentang makanan yang tak disukai, tempat liburan impian, bahkan kisah masa kecil yang terlupakan. Semakin malam, semakin sedikit jarak di antara mereka. Tangan mereka mulai tak sengaja bersentuhan, dan tak ada yang menarik diri.
Rania tahu... ia seharusnya pulang. Ia tahu batasnya, tapi malam ini, hatinya tidak hanya remuk-ia tercerai berai. Dan ia tidak ingin pulang dengan luka yang belum terbalas.
Ia menatap pria di hadapannya, lebih lama dari sebelumnya. Ada bara dalam tatapan itu, bukan hanya dari alkohol, tapi dari rasa ingin membuktikan bahwa dirinya masih berharga.
Jika Devan bisa berkhianat begitu mudah... kenapa ia harus tetap setia pada rasa yang jelas-jelas tak dihargai?
Malam itu, bukan hanya tentang pelarian.
Malam itu adalah keputusan.
Untuk mengambil kembali harga dirinya yang diinjak-injak.
Untuk menyakiti seseorang yang telah menyakitinya... meski caranya terlalu berani.
"Mau menghabiskan malam denganku?" tanya Rania pelan, matanya menusuk, tapi bukan meminta-melainkan menantang.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Kamu yakin?"
Rania menarik napas, menatap gelas kosong di hadapannya sebelum kembali menatap Nathan.
"Tidak. Tapi aku lebih memilih menyesal karena melakukan ini... daripada terus menyesali pria brengsek itu."
Nathan mengangguk pelan. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan. Hanya tatapan mereka yang sepakat diam-diam. Mereka pun meninggalkan bar, menyusuri malam yang basah oleh hujan, menuju apartemen.
Di kamar yang hanya diterangi lampu tidur berwarna tembaga, cahaya remang memantul lembut di dinding, menciptakan suasana tenang. Mereka saling memandang, berdiri diam di tengah ruangan seolah waktu berhenti sebentar.
Rania yang lebih dulu bergerak, tangannya perlahan menyentuh kemeja pria itu, membuka satu per satu kancingnya tanpa sepatah kata pun. Detik-detik terasa melambat. Nathan menatapnya, tidak dengan nafsu yang meledak-ledak, melainkan dengan tatapan sabar.
Saat kemeja itu terbuka, Rania bersandar di dada yang hangat dan kokoh itu. Detak jantung Nathan berdentum tenang, memberi rasa aman yang anehnya membuat napas Rania terasa lebih ringan.