Alasan perceraian mereka cukup klise: perbedaan prinsip yang semakin lama semakin melebar bagai jurang tak berdasar. Adam ingin hidup bebas, tanpa ikatan, sementara Melati mendambakan keluarga, sebuah rumah yang hangat, dan anak-anak yang akan mengisi hari-harinya.
Dering ponsel memecah keheningan. Nama Ibu muncul di layar. Melati menghela napas panjang sebelum mengangkatnya. "Halo, Bu," sapanya datar.
"Melati, bagaimana kabarmu, Nak?" Suara ibunya terdengar cemas, seperti biasa.
"Baik, Bu," jawab Melati, berbohong. Baginya, semua terasa jauh dari kata baik.
"Melati, Ibu ingin bicara serius," kata Ibu, nada suaranya berubah berat. "Ada seseorang yang ingin Ibu kenalkan padamu."
Melati mengerutkan kening. "Siapa, Bu? Ibu tahu kan aku baru saja bercerai."
"Dengarkan dulu, Nak. Ini penting. Dia... dia seorang duda, tapi dia pria yang baik. Ibunya sahabat karib Ibu, dan anaknya..." Ibu jeda sejenak. "Anaknya sakit, Melati. Dia butuh sosok ibu."
Mendengar kata "anak", hati Melati sedikit tergelitik. Keinginannya untuk memiliki anak adalah salah satu alasan terbesarnya untuk menikah, dan kini, impian itu seolah pupus bersamaan dengan hancurnya pernikahannya dengan Adam. Namun, ide untuk langsung menikah lagi, apalagi dengan duda beranak satu, terasa absurd.
"Bu, Ibu bicara apa? Aku tidak bisa..." Melati mencoba menolak, tetapi ibunya memotong.
"Dengarkan Ibu dulu, Melati. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang anak itu. Dia sangat membutuhkanmu."
Pembicaraan itu berlanjut selama hampir satu jam, diwarnai bujukan dan sedikit paksaan dari ibunya. Pada akhirnya, Melati setuju untuk bertemu. Ia merasa lelah, terlalu lelah untuk melawan. Mungkin, ini adalah takdirnya. Atau mungkin, ini adalah cara semesta untuk memberinya kesempatan kedua.
Pertemuan pertama di sebuah restoran mewah terasa canggung. Melati datang dengan hati yang berat, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, berusaha menekan segala emosi yang bergejolak di dadanya. Ibunya sudah tiba lebih dulu, duduk bersama seorang wanita paruh baya berwajah teduh dan seorang pria yang duduk tegak, memandang ke arah pintu masuk dengan ekspresi datar.
"Melati, sayang, sini!" Ibu Melati melambaikan tangan dengan antusias. "Ini Tante Dewi, dan ini putranya, Andi."
Melati melangkah mendekat, memberikan senyum tipis. Tante Dewi membalas senyumannya dengan hangat. "Cantik sekali kamu, Nak Melati. Pantas saja Andi tertarik."
Melati merasa pipinya sedikit merona mendengar pujian itu. Ia melirik ke arah Andi. Pria itu memiliki perawakan tinggi dan tegap, dengan rahang tegas dan mata cokelat gelap yang memancarkan aura serius, bahkan sedikit arogan. Rambutnya hitam legam, tersisir rapi. Pakaiannya formal, setelan jas mahal yang pas di tubuhnya. Ia tampak seperti seorang pebisnis sukses, dengan aura dominasi yang kuat. Namun, yang paling menarik perhatian Melati adalah sorot matanya yang dingin, nyaris tanpa ekspresi.
"Andi," sapa Melati pelan.
Andi hanya mengangguk singkat, tanpa senyum, tanpa kata. Sikapnya yang dingin membuat Melati merasa tidak nyaman. Ini bukan awal yang baik.
Sepanjang makan malam, percakapan didominasi oleh Ibu Melati dan Tante Dewi. Mereka membicarakan hal-hal umum, seolah Melati dan Andi hanyalah properti yang akan dijodohkan. Melati sesekali mencuri pandang ke arah Andi, berharap menemukan sedikit kehangatan di matanya, tetapi yang ia temukan hanyalah dinding es. Ia bahkan tidak tahu apa pekerjaan Andi, atau bagaimana pernikahannya yang dulu berakhir. Semua terasa buram dan terburu-buru.
"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Tante Dewi, memecah keheningan.
Melati tersentak. "Menikah? Tapi..."
"Tante Dewi benar," sahut Ibu Melati. "Tidak perlu menunda-nunda lagi. Semakin cepat, semakin baik. Terutama untuk Rara."
Rara. Nama itu terngiang di telinga Melati. Ia tahu, Rara adalah putri Andi. Gadis kecil yang membutuhkan ibu. Rasa simpati dan kewajiban mulai bercampur aduk di hati Melati. Ia ingin menolak, tetapi sorot mata ibunya yang memohon dan wajah Tante Dewi yang penuh harapan, membuatnya bungkam.
Akhirnya, dengan setengah hati, Melati mengangguk. Sebuah keputusan yang diambil bukan atas dasar cinta, melainkan kewajiban dan rasa iba. Andi juga hanya mengangguk, tanpa menunjukkan emosi apapun. Melati tidak tahu apakah itu tanda setuju atau hanya kebiasaan saja. Yang jelas, keputusan itu sudah diambil. Mereka akan menikah.
Pernikahan itu berlangsung sederhana, nyaris tanpa perayaan. Hanya keluarga inti yang hadir. Melati mengenakan kebaya putih sederhana, tanpa riasan berlebihan, mencerminkan hatinya yang tidak bersukacita. Andi dengan setelan jas hitamnya, tampak gagah namun tetap dengan ekspresi datarnya. Tidak ada ciuman setelah janji suci, tidak ada tatapan mata yang penuh cinta. Hanya janji di hadapan Tuhan, diucapkan dengan suara yang terdengar asing di telinga Melati.
Setelah akad, Melati resmi menjadi Nyonya Andi. Nama itu terasa aneh di lidahnya. Ia meninggalkan apartemennya dan pindah ke rumah Andi, sebuah rumah besar di kawasan elit kota. Rumah itu megah, modern, dan minimalis. Dingin, seperti pemiliknya.
"Kamar tidurmu di sebelah kamarku," kata Andi saat mereka sampai di rumah. Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa intonasi. "Rara tidur di lantai atas."
Melati mengangguk. Ia sudah memperkirakan ini. Pernikahan mereka hanyalah pernikahan di atas kertas, sebuah formalitas untuk memenuhi keinginan ibunda Andi dan, yang terpenting, untuk Rara. Ia masuk ke kamarnya. Kamar itu luas, bersih, dan terang, tetapi terasa hampa. Hanya ada tempat tidur, lemari, dan meja rias. Tidak ada sentuhan personal, tidak ada kehangatan.
Malam pertama sebagai suami istri terasa canggung. Melati makan malam sendirian di meja makan yang besar, sementara Andi makan di ruang kerjanya. Rara, anak Andi, belum terlihat. Ia diberitahu bahwa Rara sedang menginap di rumah neneknya, Tante Dewi, dan akan pulang besok. Melati merasa lega sekaligus gelisah. Bagaimana ia harus menghadapi anak itu? Apakah Rara akan menerimanya?
Keesokan harinya, Melati bangun pagi. Ia memutuskan untuk memasak sarapan, berharap bisa memberikan sedikit kehangatan di rumah yang dingin ini. Ia menyiapkan roti bakar, telur orak-arik, dan jus jeruk. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Itu Andi. Ia mengenakan kaus polo dan celana santai, tampak lebih rileks dari biasanya, tetapi tetap dengan ekspresi datarnya.
"Sudah bangun?" tanya Melati, sedikit gugup.
Andi hanya mengangguk, lalu duduk di meja makan. Ia mengambil selembar roti bakar, mencicipinya, lalu mengunyahnya tanpa ekspresi. Melati menunggu reaksi, berharap setidaknya ada pujian kecil, tetapi tidak ada. Ia hanya terus makan dalam diam.
Setelah sarapan, Tante Dewi datang mengantar Rara. Melati mengintip dari balik tirai. Seorang gadis kecil berambut cokelat sebahu, dengan mata bulat besar yang mirip dengan Andi, berlari riang ke pelukan ayahnya. Rara tampak ceria dan lincah, berbanding terbalik dengan ayahnya yang pendiam.
"Rara, ini Tante Melati," kata Tante Dewi lembut, menunjuk Melati yang berdiri di ambang pintu dapur.
Rara menatap Melati dengan tatapan ingin tahu. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan. Hanya tatapan mata yang dalam, seolah menilai. Melati merasakan jantungnya berdebar. Ia berjongkok, mencoba menyamai tinggi Rara.
"Halo, Rara," sapa Melati, memberikan senyum paling tulus yang ia miliki.
Rara tidak menjawab. Ia bersembunyi di balik kaki ayahnya, sedikit mengintip dari sana. Andi menatap Rara, lalu ke Melati.
"Rara, sapa Ibu Melati," kata Andi, suaranya tenang, tetapi ada nada perintah di sana.
Rara tetap diam, membenamkan wajahnya di celana Andi. Melati merasa sedikit kecewa, tetapi ia memahami. Ini pasti sulit bagi Rara.
"Tidak apa-apa," kata Melati lembut. "Rara mungkin masih lelah."
Tante Dewi tersenyum simpati. "Rara memang sedikit pemalu dengan orang baru, Melati. Tapi dia anak yang baik."
Sepanjang hari itu, Melati berusaha mendekati Rara. Ia mencoba mengajaknya bermain, membaca buku, atau sekadar bercerita. Namun, Rara selalu menghindar. Gadis kecil itu lebih suka berada di dekat ayahnya, atau bermain sendiri di kamarnya. Melati merasa frustrasi, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menyerah. Ia harus mendapatkan hati Rara.
Minggu-minggu pertama pernikahan terasa seperti hidup di antara dua dunia. Di satu sisi, Melati adalah istri Andi, Nyonya rumah besar ini. Ia mengelola rumah, memastikan semuanya berjalan lancar, dan berusaha keras mendekati Rara. Di sisi lain, ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Andi tetap menjadi sosok yang sulit dijangkau. Mereka jarang berbicara, kecuali untuk hal-hal penting seputar rumah atau Rara. Percakapan mereka singkat, padat, dan sering kali hanya satu arah.
Melati sering melihat Andi bekerja di ruang kerjanya hingga larut malam. Ia adalah seorang pengusaha properti yang sukses, itulah yang ia ketahui dari Tante Dewi. Ia kaya, itu jelas terlihat dari gaya hidupnya, tetapi kekayaannya tidak membawa kebahatan atau kehangatan ke dalam rumah ini. Rumah itu terasa seperti sebuah museum, indah tetapi tanpa jiwa.
Andi adalah pria dengan rutinitas yang sangat teratur. Bangun pagi, berolahraga di gym pribadi, sarapan, bekerja, makan siang di kantornya, kembali bekerja, makan malam, dan kembali ke ruang kerja. Tidak ada spontanitas, tidak ada kejutan. Hidupnya monoton, seperti yang ia dengar dari cerita awal. Melati, yang dulunya adalah wanita spontan dan penuh tawa, merasa jiwanya perlahan mengering di tengah rutinitas Andi yang kaku.
Suatu malam, Melati duduk di ruang keluarga, membaca buku, ketika Andi tiba-tiba muncul. Ia baru saja pulang dari kantor. Melati terkejut. Biasanya, ia langsung masuk ke ruang kerjanya.
"Ada apa?" tanya Melati.
Andi terdiam sejenak. "Rara demam."
Melati segera meletakkan bukunya. "Demam? Sudah diperiksa?"
"Sudah. Tadi sore. Tapi demamnya naik lagi." Nada suara Andi terdengar sedikit khawatir, sesuatu yang jarang Melati dengar darinya.
Melati segera berlari ke kamar Rara. Gadis kecil itu terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat, dahinya berkeringat. Melati menyentuh dahi Rara, dan memang terasa panas. Ia segera mengambil kompres dan mengelap tubuh Rara dengan lembut.
"Kita harus membawanya ke dokter lagi, Andi," kata Melati.
Andi mengangguk. "Aku sudah menghubungi dokter langganan kami. Dia akan datang sebentar lagi."
Melati merawat Rara dengan penuh perhatian. Ia membacakan cerita, menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur, dan terus-menerus mengecek suhu tubuhnya. Andi berdiri di ambang pintu, memperhatikan Melati. Ada sorot aneh di matanya, seperti rasa ingin tahu yang samar.
Ketika dokter tiba, Melati menjelaskan gejala-gejala Rara dengan detail dan tenang. Dokter memeriksa Rara, memberikan resep obat, dan meyakinkan bahwa demamnya akan turun. Setelah dokter pulang, Melati masih berada di samping Rara, mengusap kepala gadis kecil itu.
"Terima kasih," kata Andi tiba-tiba, suaranya pelan.
Melati menoleh. "Untuk apa?"
"Untuk Rara. Kau... kau tampak tahu apa yang harus dilakukan."
Melati tersenyum tipis. "Aku menyukai anak-anak, Andi. Dan Rara... dia butuh perhatian."
Malam itu, Rara tidur lebih tenang di bawah perawatan Melati. Andi sesekali masuk ke kamar, memastikan Rara baik-baik saja, dan selalu mendapati Melati setia di samping tempat tidur Rara. Ada sesuatu yang berubah di atmosfer rumah itu. Sebuah kehangatan kecil, samar-samar, mulai terasa.
Keesokan paginya, demam Rara sudah turun. Gadis kecil itu bangun dengan wajah lebih ceria. Melati menyiapkan sarapan bubur untuknya. Saat Rara makan, ia tiba-tiba melontarkan pertanyaan.
"Ibu Melati, kenapa Ibu menikah dengan Ayah?" tanyanya polos.
Melati terdiam. Pertanyaan itu menusuknya. Apa yang harus ia katakan? Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia dipaksa, bahwa ia tidak mencintai ayahnya.
"Karena Ayahmu butuh seseorang untuk menemaninya," jawab Melati, mencoba mencari jawaban yang paling jujur namun tetap sederhana. "Dan Ayahmu juga butuh seseorang untuk merawatmu."
Rara menatap Melati dengan mata bulatnya yang besar. "Jadi, Ibu Melati akan tinggal di sini selamanya?"
Melati tersenyum. "Iya, Rara. Ibu akan tinggal di sini."
Sejak kejadian demam itu, hubungan Melati dengan Rara sedikit demi sedikit membaik. Rara mulai lebih terbuka pada Melati. Ia sering datang ke dapur saat Melati memasak, sesekali bertanya tentang apa yang sedang Melati lakukan. Melati mulai membacakan dongeng sebelum tidur untuk Rara, mengajaknya bermain di taman, dan mengajari Rara melukis. Ada secercah kebahagiaan yang mulai tumbuh di hati Melati, kebahagiaan yang berasal dari tawa dan senyum Rara.
Namun, hubungan Melati dengan Andi tetap stagnan. Andi masih seorang pria yang pendiam, kaku, dan jarang menunjukkan emosi. Melati merasa ia hidup bersama patung, patung yang sangat tampan tetapi tanpa kehidupan. Ia merindukan percakapan yang mendalam, candaan ringan, dan sentuhan yang penuh kasih sayang. Semua itu tidak ada dalam pernikahan mereka.
Suatu sore, Melati sedang merangkai bunga di ruang keluarga, ketika Andi pulang dari kantor. Ia berhenti sejenak, memperhatikan Melati yang sedang fokus dengan pekerjaannya.
"Kau suka bunga?" tanya Andi, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya.
Melati mengangkat kepalanya, terkejut. Ini adalah salah satu percakapan terpanjang yang mereka miliki di luar topik Rara atau rumah. "Sangat suka," jawab Melati. "Bunga membuat rumah ini terasa lebih hidup."
Andi mengangguk. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi Melati menangkap sedikit gurat pemahaman di matanya. Ia kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan Melati dengan secercah harapan.
Beberapa hari kemudian, Melati menemukan sebuah pot anggrek putih di meja nakas kamarnya. Anggrek itu mekar indah, kelopaknya seputih salju. Ia tidak tahu siapa yang meletakkannya di sana. Ia bertanya pada asisten rumah tangga, tetapi mereka tidak tahu. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukannya. Andi.
Hati Melati menghangat. Mungkin, di balik lapisan es yang tebal itu, ada sedikit kehangatan yang tersembunyi. Mungkin, Andi tidak sepenuhnya tak berperasaan. Ia tersenyum tipis, membelai kelopak anggrek itu dengan lembut.
Meskipun ada momen-momen kecil seperti itu, Melati masih merasa kesepian. Ia sering terbangun di malam hari, merenungkan pernikahannya. Apakah ia akan menghabiskan sisa hidupnya dalam keheningan yang nyaman ini? Ia mencintai Rara, itu pasti. Rara adalah cahaya dalam hidupnya yang baru. Tetapi, bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana dengan kebahagiaannya sebagai seorang wanita?
Suatu malam, Rara sakit lagi. Kali ini, demamnya lebih tinggi dan ia muntah-muntah. Melati panik. Ia segera menelepon Andi, yang sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota.
"Andi, Rara demam tinggi lagi. Dia muntah-muntah," kata Melati, suaranya bergetar.
"Apa?!" Suara Andi terdengar cemas. "Aku akan segera pulang. Telepon dokter sekarang juga."
Melati segera menelepon dokter, tetapi dokter sedang ada di luar kota. Melati mulai panik. Ia memeluk Rara yang terus menggigil. Dalam keputusasaan, ia mencoba menghubungi teman-temannya yang berprofesi sebagai dokter, tetapi tidak ada yang bisa datang secepatnya.
Saat itu, Andi menelepon lagi. "Bagaimana? Dokter sudah datang?"
"Belum, Andi. Tidak ada dokter yang bisa datang sekarang," jawab Melati, air matanya mulai menetes. "Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Ada keheningan di ujung sana. "Tenang, Melati. Aku akan segera sampai. Coba kompres dia terus. Beri dia air hangat sedikit demi sedikit."
Melati mengikuti instruksi Andi. Ia terus mengompres Rara, mengganti handuk yang basah dengan yang baru. Ia juga mencoba memberikan air hangat, tetapi Rara sangat lemah. Melati merasa tidak berdaya. Ia merindukan Adam, merindukan seseorang yang bisa ia andalkan dalam situasi seperti ini. Tapi Adam sudah tidak ada. Kini, hanya ada dia dan Andi, suami yang baru dikenalnya.
Setelah menunggu hampir dua jam yang terasa seperti selamanya, suara mobil Andi terdati di halaman. Pria itu langsung masuk ke rumah, berlari menuju kamar Rara. Wajahnya tegang, matanya memancarkan kekhawatiran yang jelas.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya, suaranya serak.
"Masih demam tinggi," jawab Melati, menunjuk termometer.
Andi segera mengambil Rara ke dalam gendongannya. "Kita ke rumah sakit sekarang."
Melati mengangguk. Ia meraih tas kecil yang sudah ia siapkan, berisi beberapa pakaian dan perlengkapan Rara. Mereka bergegas ke mobil. Di perjalanan, Melati memegang tangan Rara, sementara Andi menyetir dengan kecepatan tinggi namun tetap hati-hati.
Sesampainya di rumah sakit, Rara langsung ditangani oleh dokter UGD. Melati dan Andi menunggu di luar, tegang. Melati terus-menerus berdoa dalam hati. Andi sesekali melirik Melati, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Setelah beberapa waktu, dokter keluar. "Nyonya dan Tuan, Rara sudah stabil. Dia mengalami dehidrasi karena muntah-muntah dan demam. Kita akan rawat inap untuk beberapa hari agar kondisinya pulih sepenuhnya."
Napas Melati lega. Ia menoleh ke arah Andi, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kelegaan yang begitu jelas di wajah pria itu. Sebuah emosi yang jujur, tanpa filter, tanpa topeng arogansi.
Di kamar rawat inap, Melati tetap setia di samping Rara. Ia menyuapi Rara bubur, membacakan dongeng, dan menemaninya saat dokter memeriksa. Andi juga sering datang, membawa buah-buahan dan mainan untuk Rara. Ia akan duduk di samping tempat tidur, memperhatikan Melati yang berinteraksi dengan putrinya.
Suatu sore, saat Rara tertidur, Andi duduk di sofa di sudut ruangan. Melati mendekatinya.
"Terima kasih, Andi," kata Melati tulus.
Andi menoleh. "Untuk apa?"
"Untuk semuanya. Untuk Rara. Kau... kau tampak sangat mencintainya."
Ada jeda sejenak. "Dia duniaku," jawab Andi pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Sejak ibunya meninggal, dia satu-satunya yang kumiliki."
Melati terdiam. Ia tidak tahu bahwa ibu Rara sudah meninggal. Ia tidak pernah menanyakan hal itu pada ibunya, dan Andi tidak pernah menceritakannya. Rasa simpati menyeruak di hati Melati. Ia menyadari bahwa di balik tembok arogansi dan keseriusan Andi, ada seorang pria yang juga pernah merasakan kehilangan dan kesedihan yang mendalam.
"Aku turut berduka," kata Melati.
Andi hanya mengangguk. Suasana kembali hening, tetapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh dengan pemahaman dan empati.
Setelah Rara pulih dan mereka kembali ke rumah, ada perubahan yang terasa. Andi tidak lagi sekaku dulu. Ia sesekali tersenyum tipis, bahkan sesekali memulai percakapan kecil. Ia juga lebih sering berada di rumah, tidak lagi menghabiskan seluruh waktunya di ruang kerja. Melati mulai melihat sisi lain dari Andi, sisi yang lebih manusiawi, lebih rapuh.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam, Andi tiba-tiba bertanya, "Bagaimana harimu?"
Melati hampir menjatuhkan garpunya. Pertanyaan itu sederhana, tetapi belum pernah keluar dari mulut Andi sebelumnya. "Baik," jawab Melati, sedikit terkejut. "Aku mengajak Rara ke taman. Dia sangat menyukainya."
Andi mengangguk. "Itu bagus."
Meski percakapan itu singkat, Melati merasakan getaran kecil di hatinya. Mungkin, pernikahan ini, yang dimulai tanpa cinta dan paksaan, akan menemukan jalannya sendiri. Mungkin, di antara mereka berdua, di antara janda dan duda yang sama-sama terluka, akan tumbuh benih-benih perasaan yang tidak terduga.
Melati memandangi Andi yang sedang makan. Pria arogan itu, yang dulunya ia pandang dengan skeptis, kini mulai terlihat berbeda di matanya. Ia masih dingin, ya, tetapi ada retakan-retakan kecil di tembok es itu, retakan yang memungkinkan Melati untuk mengintip ke dalam hatinya yang sebenarnya.
Perlahan, hidup Andi yang monoton memang mulai jungkir balik, bukan hanya karena kedatangan Melati sebagai istri, tetapi juga karena kehadiran Melati sebagai seseorang yang mampu menembus pertahanan dirinya. Melati, yang dulu hanya ingin melarikan diri dari takdir ini, kini mulai bertanya-tanya, apakah mungkin ada kebahagiaan yang menanti di akhir perjalanan yang tak terduga ini. Babak baru dalam hidupnya telah dimulai, babak yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan potensi, potensi untuk menemukan arti keluarga dan cinta, di tempat yang tidak pernah ia duga.