Naira bukan gadis yang mengharapkan kemewahan atau popularitas. Ia hanya mendambakan sebuah keluarga-tempat di mana ia bisa mencurahkan cinta, merasa aman, dan dicintai kembali. Ketika ia bertemu Danang, seorang pria yang tampak matang dan bertanggung jawab, dengan tatapan sendu dari putranya, Arka, yang baru berusia tiga tahun, hati Naira langsung tergerak. Ada semacam panggilan batin, sebuah naluri keibuan yang tak terbantahkan, yang mendorongnya untuk melangkah maju. Ia melihat potensi kebahagiaan, secercah harapan untuk membangun fondasi yang kuat di atas puing-puing masa lalu mereka.
Pernikahan mereka, bagi Naira, adalah sebuah komitmen suci yang diemban dengan sepenuh jiwa. Ia tak hanya menikahi Danang, ia juga menikahi seluruh paket kehidupan Danang, termasuk putranya. Sejak hari pertama, Naira telah memutuskan untuk menjadi ibu terbaik bagi Arka. Ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan kesukaan Arka, memilihkan pakaian, mengantar-jemput sekolah, menemani belajar, bahkan mendongeng sampai Arka tertidur pulas. Setiap batuk kecil Arka membuatnya panik, setiap demam Arka membuatnya terjaga semalaman. Ia membelikan Arka mainan, buku cerita, dan segala sesuatu yang bisa membuat senyum mungil itu merekah. Naira selalu ada, selalu siap, selalu mencintai tanpa syarat. Ia bahkan rela mengesampingkan mimpinya sendiri, ambisinya yang dulu begitu membara di bidang desain grafis, demi fokus sepenuhnya pada perannya sebagai istri dan ibu tiri.
Namun, pengorbanan sebesar itu tak pernah berbalas. Seiring waktu, Naira mulai merasakan dinding tak kasat mata yang semakin menebal di antara dirinya dan keluarga barunya. Danang, yang dulu tampak begitu perhatian dan penuh harapan di awal pernikahan, perlahan berubah. Senyumnya kian jarang terukir untuk Naira. Tatapannya, jika pun bertemu, terasa hampa, seolah Naira hanyalah bayangan yang melintas. Percakapan mereka menjadi formal dan transaksional, berputar di sekitar tagihan, jadwal Arka, atau keperluan rumah tangga. Tak ada lagi obrolan hangat tentang hari mereka, impian masa depan, atau sekadar lelucon ringan yang dulu sering membuat Naira tertawa lepas. Helaan napas Danang ketika Naira mencoba memulai topik yang lebih personal terasa seperti tamparan dingin, mengisyaratkan ketidaknyamanan atau bahkan kebosanan.
"Sudah malam, Naira. Aku lelah," adalah kalimat yang sering ia dengar ketika Naira mencoba mendekat, entah untuk memeluk atau sekadar meraih tangannya. Keintiman fisik hampir lenyap sama sekali, dan keintiman emosional telah lama mengering. Naira merasa seperti patung hidup di rumahnya sendiri, di samping suaminya sendiri.
Lebih menyakitkan lagi adalah sikap Arka. Anak yang Naira rawat dengan sepenuh hati, yang ia gendong ketika sakit, yang ia temani tidur ketika takut gelap, tumbuh menjadi remaja yang dingin dan acuh tak acuh. Arka kini berusia dua belas tahun, di ambang masa remaja, namun sikapnya kepada Naira tak pernah berubah, bahkan cenderung memburuk. Ia jarang menatap mata Naira, jawabannya seringkali hanya anggukan atau gelengan kepala. "Ya," "Tidak," "Terserah," adalah kata-kata yang paling sering keluar dari mulutnya saat berbicara dengan Naira. Ia lebih sering mengunci diri di kamar, bermain game, atau berbicara di telepon dengan teman-temannya. Jika terpaksa berinteraksi, Arka akan mengeluarkan daftar permintaan-makanan kesukaannya, uang jajan tambahan, atau izin untuk keluar. Tak ada ucapan terima kasih, tak ada senyum tulus, apalagi pelukan. Naira tahu, Arka tak pernah menganggapnya sebagai ibu. Baginya, Naira hanyalah orang dewasa yang kebetulan ada di rumah, semacam pengurus rumah tangga berbayar tanpa gaji.
Pernah suatu kali, Naira mencoba membahas hal ini dengan Danang. "Danang, aku merasa Arka semakin jauh. Apa ada yang salah denganku? Atau mungkin kita bisa bicara dengannya bersama?" tanyanya lembut, penuh harapan.
Danang hanya mengangkat bahu tanpa menoleh dari layar laptopnya. "Namanya juga anak-anak, Naira. Remaja. Nanti juga berubah sendiri."
"Tapi dia bahkan tidak pernah mau makan malam bersama kita, Danang. Dia tidak pernah bercerita apa pun padaku," Naira mencoba lagi, suaranya sedikit bergetar.
Danang menghela napas panjang, akhirnya menoleh, namun tatapannya tak mengandung simpati. "Sudahlah, Naira. Jangan dilebih-lebihkan. Arka baik-baik saja. Kamu ini terlalu perasa."
Kalimat itu, "Kamu terlalu perasa," adalah mantra yang sering digunakan Danang untuk membungkam setiap keluhan, setiap rasa sakit yang Naira coba utarakan. Seolah-olah perasaannya tidak valid, seolah-olah ia berlebihan. Perlahan, Naira belajar untuk menelan setiap rasa sakitnya sendiri, menyimpannya di dalam peti rahasia di sudut hatinya yang terdalam.
Setiap malam, Naira akan duduk di tepi ranjang, menatap bayangannya di cermin. Mata yang dulu memancarkan cahaya kini terlihat lelah, kantung mata menghitam, dan senyum yang dulu sering menghiasi bibirnya kini terasa asing. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, "Apa yang salah denganku? Apa aku tidak cukup baik? Kenapa cinta yang kuberikan tak pernah kembali?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, menggerogoti harga dirinya sedikit demi sedikit.
Terkadang, ia mencoba mencari alasan. Mungkin Danang sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin Arka sedang dalam fase remajanya. Mungkin ia hanya harus lebih bersabar, lebih berusaha. Namun, waktu terus berjalan, bulan berganti tahun, dan tidak ada perubahan. Hanya ada pengabaian yang semakin pekat, seolah Naira adalah furnitur usang di rumah itu, yang keberadaannya hanya disadari saat dibutuhkan, lalu dilupakan kembali.
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Naira bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Danang dan Arka: roti bakar, telur orak-arik, dan jus jeruk segar. Ia meletakkannya di meja makan yang rapi, dengan piring dan gelas yang tersusun apik. Kemudian, ia membangunkan Arka.
"Arka, bangun, sayang. Sarapan sudah siap," Naira memanggil lembut dari ambang pintu kamar Arka yang terbuka sedikit.
Arka hanya menggeliat di balik selimut. "Nanti," gumamnya.
Naira masuk perlahan, duduk di tepi ranjang. "Ayolah, nanti terlambat sekolah. Ada telur orak-arik kesukaanmu."
"Nggak selera," jawab Arka tanpa membuka mata.
Hati Naira mencelos, namun ia berusaha tersenyum. "Setidaknya minum jusnya, ya? Atau mau Mama bawakan ke kamar?"
"Nggak usah. Aku nanti ambil sendiri," Arka akhirnya membuka mata, menatap Naira sekilas dengan tatapan kosong, lalu kembali memejamkan mata.
Naira menghela napas. Ia tahu artinya "nanti ambil sendiri" berarti Arka tidak akan menyentuh sarapan yang ia siapkan. Sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Ia keluar dari kamar Arka dengan langkah gontai, melewati Danang yang sudah rapi dengan setelan kantornya, membaca koran di meja makan.
"Arka belum bangun?" tanya Danang, tanpa menoleh dari koran.
"Sudah, tapi dia bilang tidak selera makan," jawab Naira, berusaha menahan kekecewaan dalam suaranya.
"Anak itu memang begitu. Jangan terlalu dipikirkan," Danang menyeruput kopinya.
Naira hanya diam. Ia mengambil piring Danang yang sudah kosong, mencucinya, lalu membersihkan meja. Tak ada ucapan terima kasih dari Danang, tak ada tatapan apresiasi. Seolah-olah semua itu adalah kewajibannya yang tak perlu dibalas dengan apa pun.
Malam yang Mengerikan
Kehidupan Naira terus bergulir dalam rutinitas yang monoton, diwarnai oleh kebisuan dan ketidakpedulian. Ia menghabiskan hari-harinya mengurus rumah, menunggu Danang pulang, dan sesekali mencoba mendekati Arka yang semakin tertutup. Senyumnya pudar, tawanya jarang terdengar, dan matanya semakin sering menatap kosong ke kejauhan.
Puncaknya tiba pada suatu malam, malam yang akan menghantuinya selamanya. Hari itu adalah hari kerja yang panjang bagi Danang, dan Arka sedang menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Naira sendirian di apartemen yang luas itu. Ia merasa sedikit lega bisa menikmati keheningan, meskipun keheningan itu seringkali justru memperkuat rasa kesendiriannya.
Sekitar pukul sebelas malam, saat Naira sedang membaca buku di ruang tamu, ia mendengar suara ketukan keras di pintu depan. Jantungnya berdebar. Siapa yang datang selarut ini? Danang biasanya pulang dengan kunci sendiri, dan ia tidak sedang menunggu siapa pun.
"Halo? Siapa di sana?" panggil Naira ragu, mendekati pintu.
Tidak ada jawaban, hanya ketukan yang semakin keras, disertai suara geraman rendah. Firasat buruk menyelimutinya. Ia meraih ponselnya, berniat menghubungi Danang, namun saat tangannya menyentuh gagang pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka paksa dengan suara berdebam keras.
Seorang pria besar dan berbau alkohol berdiri di ambang pintu, matanya merah menyala. Wajahnya asing, namun Naira mengenali seragam kurir yang dikenakannya, meskipun sudah compang-camping. Pria itu adalah kurir yang tadi siang mengantarkan paket untuk Danang, yang sempat Naira tegur karena terlalu lama memarkir motornya di depan pintu.
"Jadi ini rumahmu, ya, Nona sombong?" Pria itu menyeringai, menunjukkan gigi kuningnya. "Tadi siang sok berani melarang-larang saya, sekarang rasakan!"
Naira terkesiap, mundur selangkah demi selangkah. Ketakutan merayap di seluruh tubuhnya. "Anda mau apa? Keluar dari rumah saya! Saya akan panggil polisi!" teriaknya, suaranya bergetar hebat.
Pria itu tertawa mengejek, lalu melangkah maju, mendorong Naira hingga ia terhuyung dan terjatuh di lantai marmer ruang tamu. Ponselnya terlepas dari genggaman, terlempar jauh. "Panggil polisi? Sebelum itu, mari kita bersenang-senang dulu, Nona."
Naira merangkak mundur, berusaha menjauh dari pria itu, namun tangannya ditarik paksa. Pria itu mencengkeram pergelangan tangannya, menyeretnya dengan kasar. Rasa sakit menjalar di lengan Naira, namun rasa takut jauh lebih besar. Ia berteriak, berontak, dan mencoba menendang.
"Tolong! Tolong!" teriak Naira sekuat tenaga. Ia tahu apartemen mereka cukup terisolasi, tetangga jarang ada yang dekat, namun ia tetap berteriak, berharap ada keajaiban.
Pria itu menyeretnya ke arah kamar tidur. Naira melawan sekuat tenaga, kuku-kukunya mencakar lengan pria itu, ia menggigit tangannya, namun tak ada gunanya. Kekuatan pria itu jauh melebihi dirinya. Bajunya robek, rambutnya acak-acakan. Air mata membasahi pipinya, bercampur dengan ketakutan yang mencekam.
Dalam keputusasaan yang luar biasa, terlintas di benak Naira bahwa ia harus menghubungi Danang. Danang adalah suaminya, pelindungnya. Ia adalah ayah dari Arka. Ia pasti akan datang menolongnya. Dengan sisa tenaga, Naira berteriak ke arah pintu yang terbuka, "Danang! Arka! Tolong! Siapa pun!"
Ia bahkan berhasil merangkak menuju telepon rumah yang ada di lorong. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor Danang. Nada sambung berbunyi, berulang kali, namun tidak ada jawaban. Naira terus mencoba, mencoba nomor Danang, lalu mencoba nomor Arka. Di tengah serangan yang mengerikan itu, ia melihat ponselnya sendiri, yang terlempar tak jauh, layarnya menyala, menunjukkan panggilan masuk dari Danang. Ia mencoba meraihnya, namun pria itu menendang ponselnya, menjauhkannya.
"Tidak ada yang akan menolongmu, Nona!" Pria itu tertawa kejam. "Suamimu itu tidak peduli, dan anak itu pasti sedang sibuk bermain."
Naira tidak bisa lagi berpikir jernih. Ia hanya bisa menangis, memohon, dan berjuang. Ia melihat secercah harapan ketika ia mendengar suara mobil familiar di bawah, kemudian lift berdenting naik. Pasti Danang! Pasti Danang pulang!
"Danang! Aku di sini! Tolong!" Naira berteriak sekuat tenaga, suaranya serak dan putus asa.
Pintu apartemen yang tadinya terbuka lebar, kini sedikit tertutup, seolah seseorang telah melihat pemandangan itu, namun kemudian memilih untuk mengabaikannya. Pria itu menyeringai, wajahnya semakin mendekat. "Lihat, kan? Tidak ada yang peduli."
Naira memberontak untuk terakhir kalinya, namun pria itu berhasil membungkam teriakannya. Dunia Naira terasa gelap. Ia merasakan sakit yang luar biasa, rasa jijik, dan kehancuran yang tak terhingga. Ia menyerah, membiarkan tubuhnya lunglai, air mata mengalir tak henti-hentinya. Ia membayangkan wajah Arka, wajah Danang, dan ironisnya, yang muncul adalah wajah-wajah yang penuh pengabaian. Mereka membiarkannya. Mereka benar-benar membiarkannya mati dalam keputusasaan.
Entah berapa lama waktu berlalu. Ketika Naira membuka matanya, rasa sakit menyeruak di seluruh tubuhnya. Pria itu sudah tidak ada. Ia terbaring di lantai kamar tidur yang gelap, dengan baju robek dan tubuh yang terasa remuk. Udara dingin malam menusuk kulitnya yang memar.
Perlahan, dengan sisa tenaga, ia mencoba bangkit. Setiap gerakan terasa menyakitkan. Ia menyeret tubuhnya ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan melihat pantulan dirinya di cermin. Wajahnya bengkak, matanya merah sembap, rambutnya kusut masai, dan ada bercak darah di sudut bibirnya. Ia melihat memar di leher dan lengannya, serta bekas cakaran di kulitnya. Lebih dari sekadar luka fisik, ia melihat kehancuran di matanya sendiri, sebuah kehampaan yang menganga.
Ia membersihkan diri dengan gemetar, air dingin terasa seperti es yang membakar kulitnya. Setiap sentuhan terasa menyakitkan, baik fisik maupun batin. Setelah itu, ia melangkah keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian bersih yang kebesaran, dan berjalan menuju ruang tamu.
Danang sudah ada di sana. Duduk di sofa, seolah tidak terjadi apa-apa. Di sampingnya, Arka sedang asyik bermain game di ponselnya.
Naira menatap mereka. Danang tidak menoleh. Arka tidak mendongak. Tidak ada pertanyaan, tidak ada kekhawatiran, tidak ada tatapan iba. Mereka duduk di sana, dalam keheningan yang memekakkan, seolah Naira tidak pernah diserang, tidak pernah nyaris mati.
"Danang," suara Naira serak, nyaris tak terdengar.
Danang akhirnya mendongak, tatapannya dingin. "Ada apa? Kenapa kamu berantakan begitu?" tanyanya, suaranya datar, tanpa emosi.
Naira tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia baru saja mengalami mimpi buruk terburuk dalam hidupnya, dan inilah reaksi suaminya. "Aku... aku diserang," katanya, air mata kembali mengalir. "Ada pria masuk ke rumah. Aku... aku hampir dibunuh..."
Danang hanya mengangkat satu alis. "Diserang? Siapa? Kapan? Aku tidak mendengar apa-apa." Ia melirik sekilas ke arah pintu yang sedikit terbuka.
"Dia... dia yang mengantarkan paket tadi siang. Dia memaksa masuk..." Naira mencoba menjelaskan, putus asa mencari simpati di mata Danang. "Aku sudah berteriak, Danang. Aku sudah memanggilmu! Aku bahkan mencoba meneleponmu dan Arka!"
Danang menghela napas panjang, seolah Naira sedang memberinya beban yang tak perlu. "Sudahlah, Naira. Mungkin kamu bermimpi buruk. Jangan mengada-ada. Tidak ada yang datang ke sini."
Naira tersentak. Bermimpi buruk? Mengada-ada? Bagaimana Danang bisa berkata begitu? "Aku tidak bermimpi! Aku... aku terluka! Lihat ini!" Ia menunjukkan lengannya yang memar.
Danang hanya melirik, lalu mengalihkan pandangannya ke Arka. "Arka, sudah waktunya tidur. Besok sekolah."
Arka hanya mengangguk, tanpa sekalipun menatap Naira. Ia berdiri, berjalan melewati Naira tanpa sepatah kata pun, dan masuk ke kamarnya.
Naira merasa seperti dihantam ribuan palu. Ia menatap Danang, matanya penuh air mata dan kekecewaan yang tak terkira. "Kau tidak percaya padaku? Kau tidak peduli?"
Danang akhirnya berdiri, ekspresinya jengkel. "Naira, ini sudah malam. Aku lelah. Jangan membuat drama. Jika memang ada orang yang masuk, kenapa kamu tidak berteriak lebih keras? Dan kenapa aku tidak melihat siapa pun ketika aku masuk?"
Naira terdiam. Kata-kata Danang menusuk hatinya lebih dalam dari luka fisik apa pun. Ia tidak hanya diabaikan, ia juga dituduh berbohong, dituduh membuat drama. Pikirannya kembali ke saat ia mencoba menelepon Danang, saat ia berteriak minta tolong. Ia ingat bagaimana pintu apartemen sedikit tertutup ketika Danang masuk. Ia melihatnya, ia mendengar teriakannya, namun ia memilih untuk memunggungi.
"Kau melihatku, kan, Danang? Kau mendengar teriakanku, kan? Kau mengabaikanku!" Suara Naira meninggi, bercampur kemarahan dan kesedihan yang meledak.
Danang menatapnya tajam. "Jangan menuduh yang tidak-tidak, Naira. Aku baru saja sampai. Aku tidak melihat apa pun."
"Kau bajingan!" Kata-kata itu keluar dari mulut Naira tanpa ia sadari. "Kau membiarkanku mati! Kalian berdua! Kalian membiarkan aku! Aku memohon pertolongan, dan kalian mengabaikanku! Kalian membiarkan aku mati dengan keputusasaan!"
Suara Naira pecah menjadi isakan. Ia roboh ke lantai, memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar tak terkendali. Danang hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi jijik, seolah Naira adalah sesuatu yang menjijikkan. Ia tidak mendekat, tidak menghibur, tidak menunjukkan sedikit pun rasa kemanusiaan.
"Aku muak dengan semua ini, Naira," kata Danang dingin, suaranya menusuk hingga ke tulang. "Seharusnya aku tidak pernah menikahimu. Kau hanya menambah masalah dalam hidupku."
Kalimat itu, "Seharusnya aku tidak pernah menikahimu," bagaikan belati yang menghunjam tepat di jantung Naira. Semua pengorbanan, semua cinta, semua harapan yang ia tanamkan selama sembilan tahun terakhir, hancur berkeping-keping dalam sekejap. Ia mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Danang dengan tatapan yang kini bukan lagi berisi kesedihan, melainkan kehampaan yang menakutkan.
Malam itu, sesuatu dalam diri Naira mati. Cinta itu, harapan itu, ketulusan itu, semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah kekosongan dan sebuah tekad yang membara.
Dini hari, ketika Danang dan Arka sudah terlelap dalam tidur mereka yang damai-seolah tak ada insiden mengerikan yang terjadi beberapa jam sebelumnya-Naira bangkit. Ia bergerak pelan, hati-hati, seperti hantu. Ia mengemasi barang-barangnya. Bukan barang-barang berharga, bukan perhiasan atau uang. Ia hanya mengambil pakaian seadanya, beberapa buku yang berarti baginya, dan album foto lama yang berisi kenangan masa kecilnya, sebelum ia mengenal keluarga ini.
Setiap gerakan terasa seperti pisau yang mengiris, mengingatkan akan rasa sakit fisik dan emosional yang baru saja dialaminya. Air mata Naira sudah mengering, digantikan oleh kekosongan yang dingin. Ia tak lagi menangis. Tangisannya telah habis di malam yang kejam itu.
Ia melirik ke kamar Arka. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan siluet tubuh kecil yang meringkuk di balik selimut. Tidak ada rasa marah yang membara pada Arka, hanya kesedihan yang dalam. Naira menyadari bahwa Arka mungkin hanyalah korban dari situasi ini, dibesarkan dalam lingkungan yang dingin, tanpa contoh kasih sayang yang tulus. Namun, pengabaian Arka di malam itu, keputusannya untuk tidak membantunya, tetaplah tak termaafkan. Bagaimana bisa seorang anak yang ia rawat dengan kasih sayang begitu tega melihatnya menderita?
Lalu, matanya beralih ke kamar Danang. Pintu kamar itu tertutup rapat, seolah-olah Danang telah mengunci diri dari semua penderitaan yang ada di luar. Pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, sandarannya, justru adalah orang yang paling melukainya. Ia telah menyaksikan kehancuran Naira, mendengar jeritannya, namun memilih untuk berpaling, untuk menolak mengakui kenyataan.
Naira menggenggam tasnya erat-erat. Ia tidak akan lagi membiarkan dirinya diperlakukan seperti ini. Harga dirinya telah hancur berkeping-keping, namun jiwanya tidak. Malam itu adalah titik balik. Ia telah diberikan kesempatan kedua, kesempatan untuk melarikan diri dari neraka yang perlahan membakarnya hidup-hidup.
Ia menulis sebuah surat, singkat dan padat, tanpa emosi yang berlebihan.
Untuk Danang dan Arka,
Malam ini adalah batasnya. Aku telah mencurahkan segalanya, namun yang kudapat hanyalah pengabaian dan kehancuran. Aku tidak akan lagi menjadi bayangan di rumah ini, ataupun boneka yang bisa kalian abaikan sesuka hati. Aku pergi.
Naira
Ia meletakkan surat itu di meja ruang tamu, di bawah vas bunga yang selalu ia isi dengan bunga segar, meskipun tak pernah ada yang memperhatikannya. Lalu, tanpa menoleh lagi, Naira membuka pintu apartemen.
Udara dini hari yang dingin menyapa kulitnya, namun kali ini, dingin itu tidak terasa menusuk. Justru terasa menyegarkan, membersihkan, seolah-olah setiap embusan angin membawa pergi beban yang selama ini menghimpitnya. Ia melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati. Tak ada suara, tak ada tangisan. Hanya ada keheningan yang kini terasa membebaskan.
Lift membawa Naira turun ke lobi. Ia melihat pantulan dirinya di dinding lift yang mengkilap. Sosok itu tampak ringkih, namun ada tatapan baru di matanya-tatapan tekad yang membara. Ia telah mati di malam itu, namun ia juga terlahir kembali. Terlahir sebagai Naira yang baru, Naira yang akan menemukan kembali harga dirinya, kekuatannya, dan kebahagiaannya sendiri, jauh dari bayang-bayang keluarga yang telah mengabaikannya.
Di luar gedung apartemen, fajar mulai menyingsing, mewarnai langit dengan garis-garis merah muda dan keemasan. Naira menarik napas dalam-dalam, menghirup udara kebebasan. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, atau apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak akan pernah kembali. Ia telah memilih untuk hidup.