di punggung dan hati penuh debar, Risa melangkah keluar dari Stasiun Pasar Senen. Udara ibu kota terasa lebih panas dan lebih padat dari yang ia bayangkan, namun semangatnya ta
sebuah alamat di sudut Jakarta Selatan. Itulah satu-satunya petu
, ia tumbuh menjadi gadis desa yang lugu, namun memiliki tekad sekuat baja. Cita-citanya sederhana: menemukan keluarganya, lalu bekerja ke
is
Maya, sahabatnya sejak kecil, tetangga di desa, yang setahun lalu sudah lebih dulu merantau ke Jakarta. Maya terlihat jauh lebih modis dengan celana jins ketat, blus m
a pecah dalam pelukan hangat Maya. Aroma parfum Maya yang kuat menyeruak, menusuk hi
na perjalananmu? Capek banget, ya?" tanya
anget bisa ketemu kamu. Kamu apa kabar? Kelihatan sukses banget,
us pintar-pintar cari celah." Matanya berbinar, sorotnya sedikit sulit diartikan oleh Risa
langkah beriringan keluar dari stasiun, menembus lautan manusia dan hiruk pikuk klakson kendaraan. Jakarta terasa begitu asing dan mendebarkan. Gedung-gedung pe
alaman pertama bagi Risa-mereka tiba di sebuah area yang tampak lebih ramai da
ulkan cahaya lampu kota, dihiasi tulisan-tulisan neon yang menyala terang. Suara musik dentuman keras samar-
m itu, kita makan dulu, ya? Ada bos yang mau kenalan. Sekalian bantu kamu cari kerja." Nada suara Maya terdengar meyakinkan, penuh persahabatan, sehingga Risa t
elah, Risa
masuk, suara musik semakin menggelegar, lampu-lampu sorot berwarna-warni berputar liar, menyapu setiap sudut ruangan. Bau alkohol dan
n Maya. "May, ini bukan tempat makan, kan? Ini t
a restorannya kok. Ini tempat keren, Ris. Bos aku sering makan di sini." Maya setengah menyeret Risa me
rkesiap. Asap rokok mengepul tebal, memenuhi ruangan. Beberapa pria berjas mahal tertawa terbahak-bahak, sebagian lagi sibuk de
"Bos, kenalin ini Risa, teman lamaku dari
," katanya, menatap Risa dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang membuat Risa merinding. Pria itu menyeringai, menampilkan
m alkohol seumur hidupnya. "Maaf, Pa
an. Anggap saja ini minuman selamat datang di Jakart
t agar ia menurut. "Ayo, Ris. Nggak ap
ggorokan, namun ada sensasi hangat yang menyebar di tubuhnya. Satu teguk, lalu teguk kedua, dan ketiga. Entah mengapa, ia
dan ingin segera mendapatkan pekerjaan agar bisa memulai hidup barunya. Maya sesekali menemaninya minum, namun Risa
erjas mahal terdengar seperti dengungan aneh. Matanya mulai berkunang-kunang, dan ia merasa mual. Pria gem
gumam Risa, mencoba berdiri na
sa, kamu ini lucu sekali. Ayo, biar Ba
a melihat sesuatu yang dingin, sesuatu yang asing. Ada kilatan rasa bersalah? Atau justru kepuasan? Risa tidak bisa
amnya pas di tubuh atletisnya. Wajahnya tampan, namun rahangnya tampak mengeras,
rti ini. Dia tahu Arjuna benci dengan kegaduhan, benci dengan aroma alkohol yang menyengat, benci dengan wanita-wanita yang mengej
nya. Di sampingnya, beberapa wanita muda tertawa genit, dan salah satunya men
ang gadis. Rambutnya tergerai acak, wajahnya pucat pasi, dan matanya memancarkan ketakutan yang jelas. Gadis itu terhuyung, nyaris jatuh ke pelukan pria gemuk berhid
Ia mengabaikan panggilan Revan, mengabaikan wa
alam dan dingin, membuat
emuk itu menatap Arjuna
ngan kasar, hampir membuatnya terhuyung. "Kau ik
ariknya keluar dari ruangan berasap itu, menjauh dari tawa miring dan tatapan cabul. Samar-samar ia mendengar suara Maya
bisa berada di sini, atau apa perannya dalam rencana busuk Revan. Yang ia tahu, ia harus menjauhkan gadis itu dari keramaia
i resepsionis, yang langsung disiapkan dengan sigap oleh staf yang mengenali dirinya. Ia menar
uat di hidungnya. Ia merasa begitu lemah, begitu tak berdaya. Ia membuka mata sedikit, melihat Arjuna berdiri di de
itu?" tanya Arjuna dengan nada curiga,
ak temanku..." jawab Risa lirih, tubuhnya gemetar kedinginan dan ketakutan. Ia menc
ia sudah terlalu sering melihat kepura-puraan di dunia malam. "Kau wanita panggilan, ya?" tuduhnya, nadanya dipenuhi p
? Risa ingin berteriak, ingin membantah, ingin menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak seperti itu. Ia gadis baik-baik, ia hanya in
itu..." isaknya, suara
nya. Otaknya dibanjiri amarah, dan sedikit alkohol yang sempat ia minum membuatnya kehilangan kendali. Ia
hpahaman yang menyakitkan, dan berakhir dengan konsekuensi yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Jakarta yang awalnya adalah gerbang harapan bagi Risa, kini menjelma menjadi neraka yang menel