a berdenyut hebat, dan seluruh tubuhnya terasa remuk redam. Ada kekosongan yang menganga di sampingnya, di ranjang king size yang terlalu besar untuknya. Udara di
rusak di benaknya: musik menggelegar, tawa pria-pria aneh, minuman pahit yang menyesatkan, dan kemudian... Arjuna. Pria dengan mata
. Ranjang itu rapi, seolah tidak pernah ada yang memakainya. Hanya selimut yang sedikit berantakan dan bantal yang penyok yang men
arang-barangnya berserakan. Kartu identitas, uang tunai, dan ponselnya masih ada di sana, syukurl
elihatnya ditarik pergi oleh Arjuna tanpa berusaha menghentikan. Mengapa Maya melakukan i
. Ia membasuh wajahnya berulang kali, berharap air dingin itu bisa menghapus semua kenangan buruk malam itu. Namun, memori tentang sentuhan asing, bisikan sam
. Ia berjalan cepat, menghindari kontak mata dengan staf hotel, merasa malu dan ingin segera menghilang. Begitu tiba di luar, ia mencari taksi dan men
Kasih Bunda" sudah usang dan berdebu. Beberapa tetangga yang ia temui di sana mengatakan bahwa panti itu sudah ditutup setahun yang lal
ia anggap keluarga, kini lenyap. Ia benar-benar sendirian di dunia ini. Kembali ke
. Di dalam benaknya, ia terus mencoba mencari penjelasan untuk apa yang Maya lakukan padanya. Apakah
aru mengatakan Maya sudah pindah seminggu yang lalu tanpa meninggalkan jejak. Seminggu kemudian, Maya menghilang. Jejak Maya len
serabutan di desa, menipis dengan cepat untuk biaya transportasi, makan,
annya yang minim dan tidak adanya kenalan, ia terus-menerus ditolak. Hingga suatu sore, dalam keputusasaan, ia menemukan sebuah lowongan di pasar tradisional. Seorang pemilik toko sembako keci
wang serta rempah-rempah menempel di pakaiannya. Ia tidur di kamar kosnya yang pengap, terkadang ditemani suara tikus di dinding. Hidupnya jauh dari bayangan indah tentang Jakarta yang ia impikan. Setiap malam, ia merindukan Bu Retno, merindukan kehan
itasnya sebagai penjaga toko selama hampir tiga bulan. Ia mulai sedikit terbiasa dengan kerasnya hidup di
sesuatu y
ramuan herbal dari toko jamu di pasar, berharap bisa meredakan. Namun mual itu tak kunjung hilang. Bahkan, semakin p
ujar Bu Siti, pemilik toko, suatu pagi. "Isti
menggeleng. "Tidak apa-apa,
erasa sedikit membesar, meskipun ia mencoba menepisnya dengan berpikir itu hanya karena ia makan terla
a. Ia selalu teratur. Selalu. Jantungnya mulai berdetak kencang. Pikiran-pikiran yang menakutkan mulai me
ya. Ia tidak mungkin
alat tes kehamilan murahan. Penjaga apotek menatapnya dengan pandangan curiIa duduk di lantai kamar mandi yang dingin, hatinya berdebar tak karuan. Dengan tangan gemetar, ia me
seperti berjam-jam. Jantungnya berdebar-debar di dad
aris kedua muncul. Merah ter
ap nanar dua garis merah di alat tes kehamilan itu. Dunia seolah berhenti berputar. Udara t
h lama ia tahan, kini jatuh deras, membasahi pipinya. Tangisnya pecah, pilu, dan menggema di
seorang pria yang bahkan tidak ia kenal nam
ota besar ini. Bagaimana ia bisa membesarkan seorang bayi? Bagaimana ia bisa mengh
i benaknya, nama yang bahkan ia tak yakin bagaimana mengej
u bahkan tida
g telah meninggalkannya begitu saja, tanpa sepatah kata pun. Ia bahkan tidak tahu nama lengkapnya, atau bagaimana men
up oleh awan kelam sebuah skandal tak terduga. Ia kini bukan hanya harus berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sebuah kehidupan baru yang tak berdosa, ya