Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Drive Back To December
Drive Back To December

Drive Back To December

5.0
22 Bab
6 Penayangan
Baca Sekarang

Namaku Gayatri Rumi Rahardjo. Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan mantan suamiku yang telah menceraikanku tiga tahun silam. William Alansyah namanya, atau aku biasa memanggilnya Mas Wilan. Pertemuan yang akhirnya membawaku pada situasi yang sulit. Permintaan Mas Wilan untuk menjadikanku istrinya lagi dengan segala keindahannya membuatku tertarik. Terlebih juga karena Mama Arini, mantan ibu mertuaku yang begitu menyayangiku. Keadaanku yang tak lagi memiliki ibu membuatku tak tega jika harus menghancurkan hatinya untuk ke sekian kalinya. Pada akhirnya, pernikahan kami terjadi untuk kedua kali. Akan tetapi perjalanan ini justru semakin sulit karena banyaknya pertanyaan tentang kehadiran buah hati di pernikahan kami. Awalnya aku cukup tenang manghadapinya, namun semakin hari justru suamiku yang terlihat menyembunyikan sesuatu. Semakin aku mencari lebih dalam, semakin aku terkejut dengan semua kenyataannya. Lalu, bagaimana selanjutnya? Haruskah peristiwa perceraian itu kembali terjadi? Menikah lalu berpisah dengan orang yang sama sebanyak dua kali sungguh bukan sebuah pilihan.

Konten

Bab 1 Gayatri Rumi Rahardjo

(PoV Rumi)

"Dengan ini saya nyatakan gugatan saudara William Alansyah terhadap saudari Gayatri Rumi Rahardjo dikabulkan, mulai hari ini saudara William Alansyah dan saudari Gayatri Rumi Rahardjo resmi bercerai dan bukan lagi suami istri. Sidang ditutup," ucap Pak Hakim.

Palu sudah diketuk tiga kali. Aku menghela nafas panjang.

"Baiklah, semua sudah berakhir. Semoga setelah perceraian ini, semua masalah akan selesai. Aku harus bahagia, hidupku akan berlanjut dengan kebahagiaan," ucapku dalam hati. Memandang wajah mantan suamiku sekali lagi lalu memandang mantan ibu mertua dan mantan adik iparku sebelum beranjak pergi dari ruang persidangan.

***

Tiga tahun berlalu. Sejak peristiwa itu aku memutuskan untuk kembali ke Jogja. Mengemban label janda cantik sudah menjadi rutinitasku. Aku sudah mulai terbiasa, aku tak peduli orang mau bicara apa tentang aku, yang jelas aku tidak minta biaya hidup dari mereka. Aku bekerja sebagai agen di salah satu asuransi jiwa. Levelku sudah lumayan tinggi, jadi yah sudah bisa sombong sedikit.

Sebenarnya perceraian itu tak membuatku trauma untuk berumah tangga lagi tapi aku jadi lebih selektif saja. Ada beberapa pria yang mendekatiku, mayoritas mereka pengusaha dan selalu tertawa jika aku menceritakan perceraianku karena aku dituduh workaholic, tapi aku merasa belum ada yang cocok dengan hatiku.

Siang itu seperti biasa aku mencari nasabah disalah satu mall di Jogja. Aku memilih berada di salah satu Cafe dalam mall itu bersama dengan salah satu sahabatku, sesama agen.

"Rum, gimana target trip udah nutup?" tanya Nina padaku.

"Ya udah dong, sama uang saku juga udah aku tutup."

"Sombong amat lu! Ya kamu enak, Rum. Pria-pria kaya itu mau beli asuransi atau sekedar investasi di kamu. Lah aku, susah bener."

"Makanya jadi janda dong," selorohku.

"Ihh! Amit-amit deh, anakku udah 3. Kamu enak, cerai nggak ada anak," Nina beberapa kali mengetuk meja dan menjitak kepalanya. Aku hanya tersenyum getir melihatnya. Sungguh menjadi janda bukanlah sebuah pilihan hidup.

"Aku pesen kopi lagi deh, puyeng dari tadi nggak ada target. Kamu mau apa lagi, Nin?"

"Alah, target apalagi sih? Nggak usah deh, pusing kebanyakan kopi."

"Target lain. Mungkin aja ada yang mau jadi suami, hahaha. Ya udah aku pesen kopi dulu."

Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju tempat pemesanan. Segelas soy coffee late sudah ditangan. Aku memang sengaja menunggu dan melihat baristanya meracik minumanku. Saat aku membalikkan tubuhku, aku melihat ada seorang lelaki yang tidak asing namun sudah lama tak pernah jumpa.

"Sudah kuduga itu pasti kamu, Rumi," sapa pria itu padaku.

"Henry? Henry Prasetya?" tanyaku memastikan.

"Hai, Rumi. Nggak nyangka ya ketemu kamu disini."

"Apa kabar? Ya ampun, udah lama baget. Lagi ngapain di Jogja?"

"Aku baik. Kebetulan lagi ada kerjaan di sini."

"Ohh, oke."

"Boleh gabung nggak? Kamu duduk dimana?"

"Di sana tuh, aku tunggu ya." Aku menunjuk sebuah meja.

"Oke, Rum. Aku pesan dulu trus ke sana ya." Aku menggangguk kemudian kembali ke mejaku. Tak lama Nina memutuskan pergi karena ada keperluan mendadak, sebelum Henry datang.

Henry Prasetya, dia teman kuliahku di UNY dulu. Orangnya baik, kharismatik, lucu dan juga tampan. Teman-temanku dulu bahkan menyebut Henry sebagai keturunan ningrat karena rupanya yang jawa banget.

Wajahnya yang teduh dan bersahaja selaras dengan tuturnya yang lembut pasti membuat para wanita meleleh jika dekat dengannya. Henry menjadi idola kampus pada zaman itu. Aku cukup beruntung bisa mengenalnya dan berteman baik dengannya hingga lulus. Namun setelah itu Henry kembali ke kota asalnya yaitu Malang. Kami putus komunikasi, tak pernah lagi bertemu. Dan hari ini kami berkesempatan untuk berjumpa lagi. Akhirnya dari perjumpaan singkat hari ini kami saling bertukar nomor WhatsApp.

Obrolanku dan Henry berpindah ke WhatsApp. Menyenangkan sekali bertukar kabar dengan Henry, membicarakan masa sekarang dan masa lalu. Kini dia bekerja sebagai Manager di salah satu perusahaan ekspor-impor di Surabaya. Selama Henry mengurus pekerjaannya di Jogja, kami jadi sering bertemu untuk sekedar minum kopi ataupun makan. Dan dari pertemuan-pertemuan itu, pertemuan di hari terakhir Henry di Jogja menjadi hal yang tak terlupakan dalam hidupku.

"Rumi, besok pagi aku sudah harus kembali ke Surabaya," ucap Henry lembut. Terlihat guratan kesedihan di wajah tampannya.

"Iya, aku tahu. Kan udah ngomong kemarin."

"Aku bersyukur bisa dipertemukan lagi dengan kamu," lanjut Henry disertai senyumnya yang selalu manis.

"Hmm, masak? Aku lebih ke seneng sih ketemu kamu lagi."

"Rumi, sesungguhnya ada hal yang aku sembunyikan darimu sejak dulu."

"Jangan bilang kamu suka sama aku?" goda ku.

"Memang kenapa? Ada yang salah?"

"Emang bener? Hahaha."

"Bener, Rum."

"Ha? Apa sih, Hen? Nggak lucu 'lah."

"Ya emang nggak lucu. Aku 'kan nggak ngelawak. Aku serius."

Aku terdiam. Menatap Henry, mencoba mencari kebohongan melalui manik matanya, namun aku tak menemukannya. Aku cukup terkejut mendengar pernyataannya. Sungguh aku tak pernah menyangka dengan semua ini.

"Tapi aku janda, Henry," ucapku kemudian.

"So, what? Aku sudah pertimbangkan. Kamu bilang kamu nggak trauma 'kan dengan rumah tangga. Aku ingin menikahi kamu Rumi. Aku sudah menahan perasaan ini sejak kita kuliah. Aku rasa Tuhan merestuinya karena sudah mempertemukan aku dengan kamu lagi. Aku janji akan menjagamu. Sampai akhir nafasku."

"Aku memang nggak trauma untuk membuka hati lagi, berumah tangga lagi. Tapi aku nggak bisa grasak grusuk. Beri aku waktu ya."

"Of course, kapanpun kamu siap. Jadi kita pacaran nih sekarang?"

"Ha? Gimana?"

"Kita pacaran, Sayang."

"Cie, Sayang."

"Cie udah lama nggak ada yang manggil Sayang ya?"

"Ngajak berantem ya, hari pertama jadian loh ini."

"Hahaha."

Aku belum mengerti apakah keputusanku untuk menerima cinta Henry adalah keputusan yang tepat. Tapi aku tak ingin menjadi wanita munafik. Aku ingin memberi kesempatan pada Henry untuk membuktikan ucapannya. Siapa tahu Tuhan memang mengirimkan jodohku berupa Henry yang tampan dan baik itu. Ahh! Seandainya benar, aku pasti menjadi wanita yang sangat beruntung.

***

Kehadiran Nina membuyarkan lamunanku. Hanya membaca chat dari Henry saja bisa membuatku senyum-senyum sendiri dan membayangkan kebersamaanku dengan Henry. Seperti mengulang masa remaja yang sedang di mabuk asmara.

"Kasmaran ya?" tebak Nina yang sialnya sangat tepat.

"Emm." Aku hanya mengangkat bahu, tak memberi jawaban pasti pada Nina.

"Siapa orangnya? Client kamu ya?" Aku menggeleng. Lagi-lagi tak memberi jawaban pada Nina yang super kepo ini, membuat Nina mengerucutkan bibirnya karena kesal.

"Jatuh cinta bikin bisu ya?" sindirnya padaku.

"Masih pagi udah marah-marah aja nih, Bu Nina."

"Ya kamu ditanya jawabnya cuma angkat bahu 'lah, nggeleng 'lah. Sebel jadinya."

Aku membuka ponselku, mencari swafotoku bersama Henry, lalu menunjukkannya pada Nina. Mata Nina langsung melotot melihat foto itu.

"Ya Allah, Gusti. Kok ngguanteng tenan to, Rum. Wong ngendi iki?" (Ya Allah, Gusti. Kok ganteng bener, Rum? Orang mana ini?)

Aku tertawa melihat Nina. "Malang, tapi kerja di Surabaya."

"Edan! LDR dong? Tapi nggak papa, Rum. Tak dukung kalo sama yang ganteng kayak gini. Dari pada Pak Galih yang udah duda itu. Mending ini kemana-mana, Rum."

Aku hanya tersenyum mendengar kejujuran Nina. Pak Galih adalah client yang telah beberapa kali secara terang-terangan menyatakan jika menyukai ku. Tapi sayangnya aku tak memiliki ketertarikan yang sama dengannya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY