"Bu... ibu pasti bisa sembuh," ucap Alira pelan, menahan air matanya. Tangannya menggenggam jemari ibunya yang dingin. Namun ia tahu, kata-kata itu hanyalah penghiburan semu. Biaya pengobatan yang semakin menumpuk membuat Alira merasa tak berdaya. Setiap kali ia menoleh ke wajah ibunya, Alira seperti melihat masa depan yang semakin suram, seolah ada jurang yang siap menelan seluruh harapan mereka.
Pintu kamar terbuka pelan. Sosok pria paruh baya muncul, wajahnya dingin dan tak tersenyum. Pamannya, Gatot, membawa kantong hitam yang tebal. "Alira," suaranya terdengar tegas, tanpa emosi, "kamu harus membuat keputusan. Pengobatan ibu tidak akan diteruskan jika kamu menolak."
Alira menatap pamannya, matanya membara. "Keputusan apa, Pak?" tanyanya, suaranya bergetar.
Gatot meletakkan kantong itu di meja samping, lalu duduk di kursi. "Dimas Aditya Wiratama. Kamu harus menikah dengannya. Keluarga itu bersedia membiayai seluruh pengobatan ibumu, tapi syaratnya hanya satu. Kamu harus menjadi bagian dari mereka, sekarang juga."
Alira menelan ludah. Jantungnya terasa sesak. "Tapi... aku... aku sudah punya Raka. Kami... kami saling mencintai," suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan yang tercekat di tenggorokannya.
Pamannya menatapnya dingin. "Cinta itu tidak ada artinya saat nyawa ibumu terancam. Jika kamu menolak, jangan harap ada bantuan dari keluargamu sendiri. Kamu tahu sendiri biaya pengobatan itu bukan murah, dan ibu tak bisa menunggu."
Alira menunduk, air mata menetes di pipinya. Ia tahu pamannya tak akan mengalah. Ia tahu ia tak punya pilihan lain. Tapi hatinya menolak, seakan seluruh dunia sedang menghancurkan mimpinya yang sederhana: bisa hidup bersama Raka dan melihat ibunya sembuh tanpa harus menyerahkan dirinya pada orang yang bahkan belum ia kenal.
Pikiran itu masih bergelayut ketika teleponnya berdering. Suaranya yang lembut terdengar, namun di balik nada itu ada ketegangan yang sulit disembunyikan.
"Alira... ini Raka," suara pria di ujung telepon terdengar tegas namun lembut, "Aku dengar semuanya... apa yang terjadi?"
Alira menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. "Aku... aku tak tahu harus bagaimana, Ka. Pamanku... dia memaksa aku menikah dengan Dimas Wiratama. Kalau tidak, pengobatan ibu berhenti."
Raka terdiam sejenak. "Kamu... kamu serius?" Suaranya terdengar berat. "Alira... jangan lakukan itu. Kita bisa cari jalan lain. Aku akan menanggung semuanya. Jangan menyerah."
Alira tersenyum pahit. "Raka... aku ingin begitu, tapi... biaya itu terlalu besar. Aku tak ingin ibuku menderita hanya karena keegoisan kita."
Ada keheningan panjang di ujung telepon. Alira menutup matanya, menahan sakit di hatinya. "Maafkan aku..." bisiknya.
Hari berikutnya, Alira menemukan dirinya berada di mobil mewah, berjalan menuju rumah keluarga Wiratama yang megah di kawasan elit Jakarta. Gedung tinggi dan gerbang besarnya tampak mengintimidasi, seolah menegaskan siapa yang berkuasa di sana.
Saat pintu terbuka, sosok tinggi dan tegas menyambutnya. Dimas Aditya Wiratama, pewaris tunggal keluarga besar, berdiri dengan wajah dingin yang sulit ditebak. Rambut hitamnya rapi, mata cokelatnya tajam, memancarkan otoritas sejak pandangan pertama.
"Kamu Alira Santika?" Suaranya lembut, tapi nada formalnya membuat Alira merasa kecil di hadapannya.
"Ya, Pak," jawabnya pelan, menunduk hormat. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran takut dan gelisah.
Dimas menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk. "Pamanku sudah memberitahuku. Jadi ini keputusanmu. Kamu akan tinggal di sini mulai sekarang. Semua akan diatur sesuai kehendak keluarga."
Alira mengangguk, meski hatinya bergolak. Setiap langkahnya di rumah itu terasa berat. Ia disambut oleh istri pertama Dimas, Cynthia, seorang wanita anggun tapi dengan tatapan tajam yang membuat Alira merasa terancam sejak pertama kali mereka bertemu.
"Selamat datang, Alira," Cynthia menyapa dengan senyum tipis, namun ada nada dingin yang tak bisa disembunyikan. "Semoga kamu betah tinggal di sini... setidaknya sampai peranmu selesai."
Alira menelan ludah, merasakan hawa permusuhan yang begitu pekat. Ia tahu, tantangan yang ia hadapi bukan hanya menahan rasa rindu pada Raka dan menjaga ibunya, tapi juga harus menghadapi Cynthia, yang tampaknya tidak berniat menyambutnya dengan hangat.
Hari-hari berikutnya di rumah itu terasa menyesakkan. Cynthia selalu menemukan cara untuk membuatnya merasa tidak diinginkan. Mulai dari komentar sinis tentang cara Alira berpakaian, hingga menyinggung kemampuan dan latar belakang keluarganya.
Suatu sore, Alira duduk di balkon rumah, menatap langit Jakarta yang mulai gelap. Hujan tipis mulai turun, dan setiap tetesnya seperti mengingatkan Alira akan keadaan ibunya di rumah sakit. Ia merindukan Raka. Ia merindukan kehidupan yang sederhana, di mana cinta dan keluarga menjadi alasan untuk tersenyum, bukan untuk merasa terjebak dalam ikatan yang dipaksakan.
"Alira," suara Dimas terdengar dari belakang, membuat Alira terkejut. Ia menoleh, melihat pria itu berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana, menatapnya tanpa ekspresi.
"Ada apa, Pak?" tanyanya, mencoba terdengar tegas meski hatinya bergetar.
Dimas berjalan mendekat, duduk di kursi di sampingnya. "Aku tahu ini sulit untukmu. Aku juga... tidak meminta ini. Tapi keluargaku menuntutku, dan aku harus menuruti mereka. Namun..." ia menunduk, menatap jauh ke luar balkon, "aku tidak akan menyakitimu tanpa alasan. Kamu... kamu akan baik-baik saja, asalkan kita saling menghormati."
Alira menelan ludah. Kata-katanya terdengar ringan, tapi ada kehangatan kecil yang ia rasakan untuk pertama kalinya sejak tiba di rumah itu. Meski Dimas tampak dingin di luar, ada sisi manusia yang mungkin bisa ia percaya.
Namun, Cynthia selalu menjadi bayangan gelap yang mengintai setiap langkahnya. Beberapa hari kemudian, saat Alira menyiapkan minuman teh di dapur, Cynthia masuk tiba-tiba. "Alira, jangan sampai kau membuat kesalahan. Aku sudah melihatmu menatap Dimas terlalu lama. Jangan berharap ia akan peduli padamu. Rumah ini... rumahku juga, dan aku akan memastikan kamu tahu itu."
Alira menahan emosi, menegakkan tubuhnya. "Aku hanya... ingin tinggal di sini tanpa menimbulkan masalah, Bu Cynthia. Aku tidak ingin mengganggu siapa pun."
Cynthia menatapnya, senyum tipis muncul tapi matanya tetap tajam. "Kau pikir itu akan cukup? Dunia ini... dunia keluargaku... tidak pernah cukup bagi orang yang lemah, Alira."
Hari-hari itu berjalan lambat, dengan tekanan yang menumpuk. Alira sering terjaga hingga larut malam, menatap langit-langit kamar mewahnya yang terasa asing, dan memikirkan Raka yang jauh di sana. Ia tahu, cinta yang ia miliki bukan hal yang bisa ia biarkan mati, namun situasi memaksanya untuk bertahan.
Suatu malam, Alira menulis surat untuk Raka. Dengan air mata yang menetes, ia menuangkan semua isi hatinya: penyesalan, ketakutan, tapi juga tekad. Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa meski dunia menentangnya, ia tidak akan menyerah sepenuhnya. Ia akan menjaga ibunya, bertahan di rumah itu, dan mencari kesempatan untuk kembali pada Raka suatu hari nanti.
Di sisi lain, Dimas Aditya mulai memperhatikan sikap Alira yang berbeda. Ada keberanian yang tersembunyi di balik kelemahan dan kesedihan yang ia tunjukkan. Tanpa disadari, hatinya sedikit tergelitik oleh ketegaran itu, meski ia sendiri tidak mau mengakuinya. Ia tahu, pernikahan ini awalnya hanyalah kewajiban, tapi manusia tidak pernah bisa sepenuhnya mengendalikan hati mereka sendiri.
Dan begitulah, malam demi malam berlalu. Alira, gadis 19 tahun yang dipaksa menikah demi pengobatan ibunya, mulai menyadari bahwa hidupnya kini terikat oleh rantai-rantai keluarga yang besar dan penuh intrik. Setiap langkahnya akan diuji - oleh suami yang dingin, istri pertama yang penuh permusuhan, dan rasa cintanya sendiri yang tak bisa ia lepaskan.
Di luar jendela, hujan terus turun, seolah menandakan bahwa badai dalam hidup Alira baru saja dimulai.