Di dalam mimpi itu, ia berdiri di tengah padang salju dengan dua bulan menggantung di langit. Di hadapannya, seorang gadis berambut perak berdiri dengan gaun putih dan mata biru pekat. Suaranya seperti gema dari masa lalu: "Kau pernah berjanji untuk kembali."
Dan setiap kali ia terbangun, jantungnya berdetak begitu cepat, seolah dunia mimpi itu lebih nyata daripada dunia tempat ia hidup sekarang.
Hari itu, kampus mulai sepi. Raihan menutup bukunya, memasukkan ke dalam tas dan berjalan menyusuri jalan setapak menuju asrama. Namun saat melewati jembatan kecil di atas sungai, langkahnya terhenti. Air di bawah jembatan tiba-tiba berkilau, seperti cermin perak yang berdenyut hidup.
"Ini aneh..." Gumamnya, mencondongkan tubuh.
Lalu, sesuatu menariknya. Bukan tangan, bukan angin - tapi seolah ruang itu sendiri menggenggam tubuhnya. Dunia berputar cepat, langit menjadi kabut dan sebelum ia sempat berteriak, semua lenyap.
Ketika matanya terbuka lagi, ia berbaring di rerumputan lembut. Udara di sini dingin, segar dan langitnya... punya dua bulan.
"Tidak mungkin..."
Ia menepuk pipinya, mencubit lengannya. Nyeri. Ini bukan mimpi. Ia berdiri, menatap sekeliling: Hutan lebat, sungai jernih dan di kejauhan terlihat menara batu menjulang tinggi.
Di sisi lain padang, sosok berpakaian putih berjalan perlahan. Rambutnya berwarna perak, berkilau di bawah cahaya dua bulan. Mata birunya menatap langsung ke arahnya.
Raihan membeku.
Dia-persis seperti dalam mimpinya.
Gadis itu berjalan mendekat, suaranya tenang tapi dalam: "Akhirnya... kau kembali, Penjaga Bayangan."
"Apa maksudmu? Aku... siapa kau?" Raihan mundur setengah langkah.
"Nama lamamu adalah Kael. Kau mati di dunia kami lima ratus tahun lalu, tapi jiwamu terlahir kembali di dunia lain. Sekarang, gerbang antar dunia terbuka lagi."
Raihan menelan ludah.
Kael? Mati? Lima ratus tahun lalu? Semua kata itu berputar dalam kepalanya seperti badai.
"Tidak, aku cuma mahasiswa biasa. Aku-"
"Tidak ada yang biasa, jika jiwamu masih membawa cahaya dari dunia lama." Elara mendekat, lalu menyentuh dada Raihan dengan ujung jarinya. Seketika, cahaya biru samar keluar dari tubuhnya, membentuk simbol melingkar - seperti segel kuno.
Raihan terjatuh ke lutut, pandangannya kabur. Ingatan kilat menabrak kepalanya: Peperangan, api, dan dirinya yang berdiri di atas menara batu, menahan pintu dimensi agar tak runtuh. Suara Elara di masa lalu bergetar: "Jika kau pergi, aku akan menunggu, meski seribu tahun..."
Kilatan itu menghilang. Raihan terengah-engah.
"Kenapa aku di sini?" Tanyanya dengan suara gemetar.
Elara memandangnya lama, lalu menjawab lirih: "Karena dunia kami hancur tanpa penjaganya. Dan seseorang di dunia lamamu telah membuka pintu terlarang itu lagi."
Dunia lama. Dunia baru. Dua dunia yang saling menelan.
Raihan menatap langit. Dua bulan itu seperti mata raksasa yang mengawasi, dingin dan tak berperasaan. Ia ingin menyangkal semuanya, tapi jiwanya bergetar, seolah mengenali panggilan itu.
"Jika aku benar-benar... Kael." Ucapnya pelan: "Apa yang harus kulakukan?"
Elara tersenyum samar, tapi matanya menyimpan kesedihan yang dalam: "Kau harus memilih dunia mana yang ingin kau selamatkan. Tapi ingat, menyelamatkan satu berarti menghancurkan yang lain."
Hening.
Hanya suara serangga malam dan desir angin yang mengisi udara.
Raihan menatap tangannya - jari-jarinya gemetar. Ia ingin pulang, tapi kata pulang kini tak lagi berarti apa-apa. Dunia mana yang rumahnya?
"Kalau begitu... tunjukkan padaku dunia yang harus kuselamatkan." Katanya akhirnya.
Elara menunduk, lalu mengulurkan tangan: "Ikut aku, Penjaga Bayangan."
Ketika jari mereka bersentuhan, cahaya biru menyelimuti keduanya. Dalam sekejap, hutan lenyap, tergantikan kota asing di bawah langit yang pecah. Menara bata hitam berdiri di tengah reruntuhan dan bayangan raksasa merangkak dari celah bumi.
---
"Dunia ini... runtuh." Bisik Raihan.
"Ya." Jawab Elara: "Dan waktu kita hampir habis."
Bayangan itu bergerak seperti kabut pekat. Dari dalamnya, terdengar jeritan manusia - atau sesuatu yang menyerupai manusia.
"Kenapa aku?" Raihan menatapnya: "Kenapa harus aku?"
Elara memandang lurus ke arahnya:"Karena hanya kau yang bisa menutup pintu antara dua dunia. Karena hanya jiwamu yang pernah melewati keduanya."
"Dan kalau aku gagal?"
Elara menatap dua bulan di langit yang kini perlahan pecah dan berkata lirih: "Maka kedua dunia akan mati... bersamamu."
---
Langit bergemuruh. Tanah bergetar. Dari balik bayangan muncul sosok lain - berwajah sama seperti Raihan, tapi matanya hitam seluruhnya. Ia tersenyum.
"Aku sudah bosan menunggu, Kael." Katanya dengan suara yang nyaring tapi datar: "Sekarang biar aku yang mengakhiri semuanya."
Elara menarik pedang bercahaya: "Bayanganmu sendiri telah lepas. Ini harga dari perjanjian yang dulu kau buat."
Raihan memandangi kembarannya itu, hatinya berdegup tak karuan. Ia tidak mengerti semuanya, tapi sesuatu di dalam dirinya mulai bangkit - ingatan, kekuatan, ketakutan.
Angin berhenti. Suara dunia lenyap. Hanya detak jantungnya yang tersisa.
---
> "Kau tak akan bisa menghindari takdirmu, Penjaga Bayangan."
Suara itu menggema dalam pikirannya sebelum semuanya pecah menjadi cahaya putih.
Cahaya putih itu perlahan mereda. Raihan terhuyung dan hampir jatuh, tapi Elara menahannya. Mereka kini berdiri di atas menara batu yang hancur separuh, di tengah badai sihir yang berputar liar. Angin membawa serpihan memori, bisikan masa lalu dan serpih bayangan.
Di hadapan mereka berdiri sosok kembar Raihan-Bayangan Kael.
Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, tapi wajahnya tenang: "Kau terlalu lama bersembunyi di dunia manusia." Katanya dingin: "Sementara aku menanggung semua dosa yang kau tinggalkan."
Raihan menatapnya dalam diam. Dalam dirinya, dua suara bergema: satu suara memintanya melawan, satu lagi membisikkan untuk menyerah. Ia merasa seperti terpecah dua, tubuhnya menjadi jembatan antara dua eksistensi.
"Bayangan... aku bukan musuhmu."
"Tapi aku diciptakan untuk menjadi itu." Jawab Bayangan Kael: "Tanpamu, aku lenyap. Denganmu, aku tak pernah bebas. Maka biarkan salah satu dari kita mati."
Elara maju, pedangnya bersinar lembut: "Kau tidak harus melakukannya, Kael. Kau bisa menyatu kembali dengannya!"
Namun bayangan itu hanya tertawa: "Kau masih berharap pada hal-hal kecil seperti harapan dan cinta? Dunia sudah terlalu rusak untuk diperbaiki."
Tanpa peringatan, Bayangan Kael mengangkat tangannya dan dari tanah menara muncul rantai gelap berkilau ungu, menghantam ke arah Raihan dan Elara. Mereka melompat menghindar dan dentuman keras memecah batu di bawah kaki mereka.
"Raihan!" Teriak Elara, melemparkan batu kristal kecil: "Fokuskan niatmu padanya!"
Raihan menggenggam kristal itu. Seketika, simbol biru di dadanya berpendar, membentuk lingkaran sihir di sekeliling mereka. Ia merasa kekuatan aneh mengalir-bukan kekuatan yang ia pelajari, tapi sesuatu yang selalu ada di dalam dirinya.
Bayangan Kael menatapnya, matanya berkilat tajam: "Kau mulai ingat, ya? Rasakan. Itulah mengapa kau harus hilang. Karena selama kau hidup, aku tak akan pernah bebas!"
Mereka bertabrakan. Cahaya biru dan hitam menyatu, membentuk pusaran raksasa di langit. Menara bergetar, batu-batu runtuh ke jurang.
Elara mencoba menahan badai sihir dengan perisai cahaya, tapi energinya mulai menipis: "Raihan! Kalau kau terus melawan kekuatan bayanganmu, kalian berdua akan musnah!"
Raihan terengah, menatap wajah kembarannya dari jarak dekat. Di balik semua kebencian, ia melihat sesuatu-ketakutan.
"Bayangan... kau hanya ingin bebas, kan?" Suaranya parau: "Kalau begitu, lepaskan aku. Dan aku lepaskan kau."
Bayangan Kael terdiam sejenak: "Kau tidak mengerti... kita bukan dua hal yang terpisah. Aku adalah luka dari jiwamu sendiri."
"Kalau begitu, biar luka ini sembuh bersama."
Raihan menurunkan tangannya. Aura biru di tubuhnya bergetar, lalu perlahan mengalir ke arah bayangannya, menyatu seperti kabut yang bertemu angin. Cahaya biru dan hitam berpadu menjadi ungu lembut, lalu... hening.
---
Ketika badai berhenti, hanya ada Raihan yang berdiri di atas reruntuhan. Tubuhnya berlutut, nafasnya tersengal. Di depannya, Elara mendekat dengan wajah lega tapi mata berkaca-kaca: "Kau melakukannya..."
Raihan tersenyum samar: "Entahlah... apakah aku menyelamatkan dunia, atau justru menghapusnya."
Ia menatap langit. Dua bulan perlahan menyatu menjadi satu dan retakan di langit menutup seperti luka yang sembuh. Tapi di sela cahaya itu, ia melihat bayangan wajahnya sendiri menatap balik dari sisi lain.
Sebuah bisikan terdengar di pikirannya: "Kau tak akan pernah benar-benar di satu dunia saja."
Tiba-tiba tanah di bawah menara runtuh. Elara berlari, menarik tangannya, tapi jembatan batu patah. Raihan terjatuh ke jurang bercahaya.
"Raihan!!" Suara Elara menggema, lalu dunia menjadi gelap.
Reihan terbangun di tempat yang asing. Bukan di menara, bukan di hutan, tapi di sebuah kamar rumah sakit. Lampu neon putih menyilaukan matanya. Suara mesin detak jantung berdentang pelan di sampingnya.
"Apa... ini?"
Seorang perawat masuk dengan wajah lega: "Kau sudah sadar. Kau ditemukan pingsan di jembatan kampus semalam. Hampir saja hanyut ke sungai."
Raihan membeku. Kampus?
Ia menatap ke luar jendela. Langit sore, satu matahari dan gedung-gedung kota. Dunia lamanya. Tapi di kaca jendela, bayangan wajahnya berubah sesaat-matanya biru, rambutnya sedikit berkilau perak.
Ia memejamkan mata. Di dalam kepalanya, terdengar suara lembut Elara: "Terima kasih, Penjaga Bayangan. Dunia kami bisa tenang... untuk sekarang."
---
Beberapa hari kemudian, Raihan berjalan ke jembatan tempat ia pertama kali menghilang. Air sungai mengalir tenang. Ia menatap permukaannya lama, lalu tersenyum samar.
"Kalau benar dunia itu nyata, semoga kau baik-baik saja di sana."
Ia berbalik hendak pergi, tapi sebelum langkahnya menjauh, angin berhembus pelan. Air sungai memantulkan dua bulan di langit-hanya sesaat, sebelum lenyap lagi.
---
Malamnya, ia menulis sesuatu di buku catatannya:
> 'Mungkin transmigrasi bukan tentang berpindah dunia, tapi tentang menemukan bagian diri yang hilang di tempat lain.'
Ia menutup buku itu, lalu menatap jendela. Di pantulan kaca, sekilas ia melihat siluet Elara tersenyum, sebelum perlahan menghilang bersama cahaya bulan.
---
Bab 1 Tamat