Kekejamannya semakin menjadi-jadi. Saat Kayla memfitnahku telah menamparnya, dia mendorongku kembali ke tempat tidur dengan kasar dan memakiku gila.
Saat Kayla berpura-pura mau bunuh diri di atap gedung, dia bergegas menyelamatkannya, membiarkanku terjatuh dari tepi atap tanpa menoleh sedikit pun.
Saat aku terbaring lumpuh di ranjang rumah sakit, dia menyuruh orang memukuli ibuku di penjara sebagai hukuman, dan ibuku meninggal karena luka-lukanya. Di hari pemakaman ibuku, dia malah mengajak Kayla menonton konser.
Aku adalah tunangannya. Ayahku telah mengorbankan kariernya untuk menyelamatkan ayahnya. Keluarga kami telah mengikat kami bersama. Namun, dia menghancurkan tubuhku, ibuku, dan suaraku, semua demi seorang wanita yang baru saja dikenalnya.
Akhirnya, dia membiarkan Kayla, wanita yang dicintainya, melakukan operasi pada tenggorokanku. Dan Kayla sengaja menghancurkan pita suaraku, melenyapkan kemampuanku untuk bernyanyi selamanya. Saat aku terbangun, tanpa suara dan hancur lebur, dan melihat senyum kemenangan yang licik di wajahnya, aku akhirnya mengerti segalanya.
Aku mematahkan kartu SIM-ku, berjalan keluar dari rumah sakit, dan meninggalkan semuanya. Dia telah merenggut suaraku, tapi dia tidak akan bisa merenggut sisa hidupku.
Bab 1
Pernikahan ke-tiga puluh empatku seharusnya berlangsung besok.
Ini juga yang ke-tiga puluh empat kalinya pernikahan itu ditunda.
Pertama kali, aku jatuh dari tangga dan kakiku patah. Kedua kali, lampu gantung jatuh dan membuatku gegar otak. Ketiga kali, keracunan makanan. Dan daftarnya terus berlanjut.
Setiap kali, itu adalah sebuah "kecelakaan". Setiap kali, aku berakhir di rumah sakit, dan pernikahan kami dibatalkan.
Aku terbaring di ranjang putih yang steril, tubuhku penuh dengan luka lama dan baru. Aku begitu lemah hingga beberapa kali nyawaku nyaris melayang, hidupku di ujung tanduk. Para dokter dan perawat berbisik tentang betapa sialnya aku.
Aku mencoba untuk duduk, rasa sakit yang tajam menusuk tulang rusukku. Aku hanya ingin mengambil air minum, sebuah tindakan kecil yang normal dalam hidupku yang sudah jauh dari kata normal. Usaha itu saja sudah membuatku terengah-engah.
Tunanganku, Brama Wijaya, adalah dokter bedah paling cemerlang di Jakarta. Dia selalu merawatku dengan sangat baik.
Itulah yang dulu kupercayai.
Saat aku perlahan berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang sepi, aku mendengar suara-suara dari balkon terpencil. Salah satunya adalah suara Brama.
Aku berhenti, tersembunyi di tikungan lorong.
"Bram, kamu serius? 'Kecelakaan' lagi?" Itu adalah suara temannya, seorang dokter juga. "Ini sudah yang ke-tiga puluh tiga kalinya Elara terluka tepat sebelum pernikahan. Apa kamu tidak merasa ini sudah keterlaluan?"
Darahku seakan membeku. Tanganku, yang meraih dinding untuk menopang tubuh, mulai gemetar.
Tiga puluh tiga kali. Dia menghitungnya.
"Memangnya aku harus bagaimana lagi?" Suara Brama terdengar dingin, tanpa kehangatan yang selalu dia tunjukkan padaku. "Aku tidak bisa menikahinya."
"Kalau begitu putuskan saja! Kenapa kamu terus menyakitinya seperti ini? Kamu hampir membunuhnya terakhir kali."
"Tidak sesederhana itu," kata Brama, suaranya terdengar kesal. "Keluargaku punya utang budi padanya. Ayahku menghancurkan karier ayahnya, dan kami punya tanggung jawab. Pernikahan ini adalah bentuk tanggung jawab itu."
Sebuah tanggung jawab. Bukan cinta.
Kebenaran yang selama bertahun-tahun kutolak untuk kulihat, tiba-tiba terungkap begitu saja.
"Tanggung jawab yang rela kamu penuhi dengan menyiksanya?" tanya temannya, nadanya tidak percaya.
"Aku tidak punya pilihan," bentak Brama. "Tapi itu tidak penting. Aku harus menjaga jarak. Terutama dari Kayla."
Kayla Hartono. Dokter residen baru itu. Yang dia bimbing. Yang namanya sering kudengar disebut dengan nada lembut yang dulu kusalahartikan sebagai kebanggaan profesional.
"Kamu jatuh cinta padanya, kan?"
Brama tidak langsung menjawab. Keheningan itu adalah pengakuannya. "Aku tidak boleh."
Kata-katanya adalah pukulan terakhir yang brutal. Jantungku terasa berhenti berdetak. Udara seakan tersedot dari paru-paruku, dan koridor mulai terasa miring.
Aku terhuyung mundur, pandanganku kabur. Air mata yang tidak kusadari telah mengalir deras di pipiku.
Aku berlari, atau setidaknya berusaha berlari sekuat tubuhku yang remuk ini, kembali ke kamarku yang aman. Aku ambruk ke tempat tidur, kasur tipis itu tidak banyak membantu meredam benturan.
Tiga puluh tiga kecelakaan.
Lampu panggung yang rusak di konserku. Rem mobilku yang blong. "Tidak sengaja" terdorong ke kolam renang padahal aku tidak bisa berenang.
Semuanya. Semuanya adalah perbuatannya.
Semua karena dia tidak mau menikahiku.
Dia adalah Brama Wijaya, pewaris emas dari keluarga medis paling berkuasa di kota ini. Aku adalah Elara Anindita, seorang musisi indie yang almarhum ayahnya adalah seorang ahli bedah brilian. Ayahku telah mengorbankan kariernya, menanggung kesalahan yang dibuat oleh ayah Brama. Karena itu, keluarga Wijaya menerimaku, berjanji akan merawatku seumur hidupku.
Pertunangan kami adalah cara mereka memenuhi janji itu.
Dulu kupikir perhatiannya yang cermat, sentuhan lembutnya, kerutan cemas di dahinya saat aku terluka-kupikir semua itu adalah cinta.
Sekarang aku tahu itu hanya rasa bersalah.
Rasa sakit dari luka-lukaku kembali terasa, denyutan tumpul yang menggemakan penderitaan di dadaku. Setiap luka di tubuhku menjerit protes, sebuah paduan suara dari pengkhianatannya.
Pintu terbuka. Itu Brama.
Dia masuk, wajahnya memasang topeng keprihatinan yang sempurna. "Elara, kamu seharusnya tidak bangun dari tempat tidur. Tulang rusukmu masih dalam masa penyembuhan."
Dia menyebutkan tanggung jawabnya lagi, dan kata itu membuat perutku mual.
"Biar kuganti perbanmu," katanya, dengan nada lembut dan penuh perhatian yang dia khususkan untukku.
Dia duduk di tepi tempat tidurku, kotak medis di tangannya. Saat dia menyiapkan antiseptik, ponselnya bergetar. Dia meliriknya, dan untuk sesaat, topeng profesionalnya terlepas.
Aku melihat gantungan ponsel yang menjuntai-sebuah matahari kecil buatan tangan. Mataku terpaku padanya.
Aku ingat pernah memberinya gantungan serupa bertahun-tahun yang lalu, yang kubuat sendiri. Dia menyebutnya kekanak-kanakan dan melemparkannya ke laci. Tapi yang ini, matahari ini, identik dengan yang dipakai oleh Kayla Hartono. Aku melihatnya di mantel gadis itu beberapa hari yang lalu.
Dia menjawab telepon itu, suaranya langsung berubah, menjadi hangat dan akrab.
"Kayla? Ada apa?"
Aku bisa mendengar suara lembut dan cemas Kayla dari seberang. Dia bilang butuh bantuannya untuk sebuah kasus pasien. Dia terdengar panik.
Senyum tulus terukir di bibir Brama, senyum yang sudah bertahun-tahun tidak pernah kulihat ditujukan padaku. "Jangan khawatir. Aku akan segera ke sana."
Dia menutup telepon. Suasana hatinya yang baik lenyap begitu matanya kembali menatapku. Dia tampak tidak sabar, gerakannya sekarang terburu-buru.
Dia mengambil pinset dan kapas yang dibasahi antiseptik. Seharusnya dia memberiku bius lokal dulu. Dia selalu melakukannya.
Kali ini, dia tidak melakukannya.
Dia menekan kapas antiseptik yang perih itu langsung ke lukaku yang terbuka.
Aku menjerit tertahan. Keringat dingin membasahi dahiku. Dunia berputar di depan mataku.
"Bram," ucapku tercekat, suaraku bergetar. "Biusnya..."
"Oh, iya. Maaf, aku tidak fokus," katanya, nadanya acuh tak acuh. Dia tidak berhenti. Sebaliknya, gerakannya menjadi lebih cepat, lebih kasar. "Tahan saja. Sebentar lagi selesai."
Tubuhku kejang. Aku mencengkeram sprei, menggigit bibir agar tidak berteriak. Rasa sakit fisik ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebenaran yang membakar pikiranku.
Dia menyakitiku agar bisa cepat-cepat menemuinya.
Dia selesai dengan cepat, melemparkan peralatan bekas ke nampan dengan suara berdentang. "Aku harus pergi. Ada keadaan darurat di rumah sakit. Jadilah anak baik dan tetap di tempat tidur."
Dia berdiri dan berjalan keluar tanpa menoleh ke belakang.
Pintu tertutup, meninggalkanku dalam dunia yang penuh rasa sakit dan keheningan.
Jantungku terasa seperti dicabik-cabik. Setetes air mata mengalir di pipiku, lalu setetes lagi.
Penderitaan ini, baik dari lukaku maupun hatiku yang hancur, terlalu berat untuk ditanggung.
Pandanganku menjadi gelap saat aku pingsan.