Aku mengikutinya ke sebuah klub privat. Dari balik bayang-bayang, aku melihatnya menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan memberinya ciuman yang lapar dan putus asa-ciuman yang belum pernah dia berikan padaku. Saat itu juga, seluruh masa depanku hancur berkeping-keping.
Aku akhirnya mengerti bisikan dari anak buahnya bahwa aku hanyalah hadiah politik, sementara Angelia adalah ratu mereka yang sebenarnya. Dia menginginkan kerajaanku, tapi hatinya milik gadis itu.
Aku tidak akan menjadi hadiah hiburan. Aku tidak akan menjadi yang kedua bagi siapa pun.
Aku berjalan lurus ke ruang kerja ayahku, suaraku sedingin es. "Aku membatalkan pernikahan."
Ketika dia protes, aku melontarkan pukulan terakhir. "Aku akan tetap memenuhi kebutuhan keluarga kita akan aliansi. Aku akan menikahi Dante Wiryawan."
Gelas wiski ayahku pecah di lantai. Dante Wiryawan adalah saingan terbesar kami.
Bab 1
Isabella POV:
Kontrak pernikahanku dengan Marco Ricci ditandatangani dengan darah saat kami masih anak-anak, sebuah janji persatuan antara dua keluarga paling berkuasa di Jakarta. Tapi kebohongan yang kutemukan di bibirnya beraroma parfum murahan dan wanita lain.
Kota ini, kerajaan kaca dan baja yang luas ini, suatu hari akan menjadi milikku. Aku adalah Isabella Prawiranegara, putri dari Bapak Alistair Prawiranegara. Setiap jalanan berbatu dan gang-gang gelap adalah bagian dari warisanku, hak lahir yang diajarkan kepadaku untuk kuperintah.
Tapi di saat-saat hening, ketika beban namaku terasa lebih berat dari mahkotaku, yang kuinginkan hanyalah dia.
Marco Ricci.
Dia adalah masa depanku, belahan jiwaku, pria yang terpilih untuk memerintah di sisiku. Dia adalah pewaris keluarga Ricci, seorang pria yang kekuatan dan pikiran strategisnya dibicarakan dengan nada pelan dan hormat dari Jakarta hingga Surabaya. Dia adalah segalanya yang seharusnya dimiliki seorang calon pemimpin.
Semua orang bilang kami ditakdirkan. Dari para capo tua yang menyeruput espresso di kafe-kafe tua di Menteng hingga para istri yang mengelola badan amal untuk mencuci uang kami, itu adalah fakta yang diketahui semua orang: Isabella Prawiranegara adalah milik Marco Ricci.
Jantungku selalu tahu kapan dia ada di dekatku. Detaknya panik dan liar di tulang rusukku, ritme yang kukenal sejak aku masih gadis kecil.
Aku berdiri di dekat jendela penthouse kami yang menjulang dari lantai ke langit-langit, menunggu. Aku menantikan aroma yang selalu melekat padanya, campuran cendana dan kulit yang bersih dan tajam. Itu adalah aroma kekuasaan, aroma keamanan. Itu satu-satunya hal yang bisa menjinakkan binatang buas gelisah yang hidup di dalam jiwaku.
Pintu lift terbuka dengan desisan lembut. Dia melangkah keluar, bahunya yang lebar memenuhi ambang pintu.
Tapi udara yang mengikutinya terasa salah.
Tercemar.
Di bawah aroma cendana yang familier, aroma manis yang memuakkan menempel di pakaiannya. Aroma bunga sintetis murahan yang membuat perutku mulas.
Bunga sedap malam.
Aku kenal bau itu. Itu milik Angelia Lestari.
Dia adalah anak yatim piatu yang diangkat keluarga Ricci bertahun-tahun lalu, seorang gadis dengan mata lebar dan polos serta kerapuhan yang membuat para pria ingin melindunginya. Terutama Marco. Dia memperlakukannya seolah-olah dia terbuat dari kaca, seorang adik perempuan berharga yang harus dia lindungi dari dunia.
Dari dunia kami.
Aku berbalik dari jendela, wajahku topeng ketenangan yang kubangun dengan hati-hati.
"Kau bersamanya."
Itu bukan pertanyaan.
Senyum Marco semulus dan tanpa kerutan seperti setelan jasnya yang mahal. Dia berjalan ke arahku, gerakannya luwes dan percaya diri. "Baru saja mengantarnya pulang. Dia lelah seharian."
Dia mencondongkan tubuh untuk menciumku, tapi aku melangkah mundur. Aromanya semakin kuat sekarang, awan kebohongan yang menyesakkan.
Bernapas tiba-tiba terasa seperti sebuah tugas berat. Udara di ruangan itu, yang tadinya dipenuhi keheningan nyaman dari kehidupan kami bersama, kini pekat dengan pengkhianatan.
"Aku mau tidur," katanya, suaranya santai. Dia membuka kancing lengan bajunya, tatapannya sudah jauh. "Jangan menungguku."
Aku mengangguk, satu gerakan kaku. "Selamat malam, Marco."
Tapi aku tidak pergi ke kamarku. Aku menunggu sampai aku mendengar suara pancuran air dimulai, aliran air deras yang membersihkan bukti tipu muslihatnya. Lalu, aku menyelinap keluar dari penthouse.
Aku tidak perlu bertanya ke mana dia pergi. Aku bisa merasakan tarikan pengkhianatannya di dalam perutku. Aku mengikuti aroma itu, jejak racun yang membawaku turun ke jantung kota yang gelap.
Dia pergi ke sebuah klub privat milik keluarganya, tempat yang penuh bayang-bayang dan rahasia. Aku tetap berada dalam kegelapan lorong, jantungku berdebar kencang di dada. Dia menemuinya di sebuah bilik terpencil, tersembunyi dari pandangan.
Tapi tidak dariku.
Aku melihatnya menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Aku melihatnya menundukkan kepala, bibirnya menemukan bibir gadis itu dalam cahaya redup. Itu bukan ciuman yang lembut. Itu lapar, putus asa. Ciuman yang belum pernah dia berikan padaku.
Dunia seakan berputar. Masa depan yang telah dipetakan untukku sejak lahir-kehidupan bersama Marco, anak-anak yang akan kami miliki, kerajaan yang akan kami kuasai-retak di tengah, hancur menjadi jutaan kepingan yang tak bisa dikenali.
Takdirku adalah sebuah kebohongan.
Aku tidak bersuara. Aku hanya mundur, melebur ke dalam bayang-bayang yang selalu menjadi rumahku.
Perjalanan kembali ke penthouse terasa seperti mengarungi air es. Setiap penanda yang familier-air mancur di alun-alun, patung singa yang menjaga gedung kami-terasa asing dan memusuhi.
Aku langsung menuju ruang kerja ayahku. Pintunya megah, terukir dari kayu jati gelap. Aku mendorongnya terbuka tanpa mengetuk.
Dia ada di belakang mejanya, segelas wiski di tangannya. Dia tersenyum ketika melihatku. "Isabella. Kejutan yang menyenangkan." Senyumnya memudar saat melihat wajahku. "Ada apa? Apa yang salah?"
Aku berjalan ke mejanya, langkahku mantap, suaraku tanpa emosi. Rasanya seperti orang lain yang berbicara, versi diriku yang lebih dingin dan lebih keras yang belum pernah kutemui sampai malam ini.
"Ayah."
"Ya, sayangku?"
"Aku membatalkan pernikahan."
Dia menatapku, alisnya berkerut. "Isabella, undangan sudah dikirim. Keluarga-keluarga mengharapkan persatuan ini. Ini masalah kehormatan."
"Kehormatan?" Aku tertawa kecil, pahit. "Kehormatannya ternoda oleh aroma wanita lain." Aku menatap matanya langsung, keputusanku seperti balok es di dadaku. "Aku sudah membuat pengaturan lain."
"Pengaturan apa?" tanyanya, suaranya diwarnai kebingungan dan sedikit ketakutan.
"Aku akan menegakkan kebutuhan keluarga akan aliansi," kataku, suaraku jernih dan mantap. "Aku akan menikahi Dante Wiryawan."
Gelas ayahku terlepas dari jemarinya, pecah berkeping-keping di lantai marmer. "Wiryawan? Bella, kau tidak mungkin serius. Dia saingan kita. Marco... Marco adalah hidupmu."
"Tidak, Ayah," kataku, kata-kata itu terasa seperti abu di mulutku. "Marco adalah kesalahanku."
Itu bukan keputusan mendadak. Ciuman itu hanyalah konfirmasi terakhir dari sebuah kebenaran yang telah berbisik di telingaku selama berbulan-bulan.
Aku ingat beberapa minggu yang lalu, bersembunyi di ruang kerja untuk mengejutkan Marco, ketika aku mendengar percakapan melalui tautan komunikasi aman yang menghubungkan lingkaran dalam kami. Itu adalah saluran pribadi, tempat untuk pikiran-pikiran tanpa filter.
Reza, salah satu prajurit paling tepercaya Marco, sedang berbicara. "Dia itu seorang putri, Marco. Seorang putri Prawiranegara yang cantik dan banyak maunya. Dia lahir dengan mahkota. Dia tidak mengerti perjuangan kita."
Napasaku tercekat. Aku merasakan hawa dingin merayap di tulang punggungku.
Lalu Lukas, *consigliere* Marco, suaranya halus dan penuh perhitungan. "Tapi Angelia... Angelia berbeda. Dia salah satu dari kita. Dia punya semangat. Seorang pria tahu di mana posisinya dengan wanita seperti itu."
Jaka, prajurit lain, tertawa. "Dia benar. Lagipula, Angelia bilang padaku Marco adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Dia akan melakukan apa saja untuknya."
Kata-kata itu terasa seperti pukulan di perut. Mereka melihatku sebagai hadiah politik, boneka rapuh yang harus diatur. Mereka melihat Angelia sebagai ratu mereka.
Aku mengerti saat itu. Marco dan Angelia dibawa ke keluarga Ricci dari panti asuhan yang sama bertahun-tahun lalu. Mereka adalah dua orang yang selamat dari kebakaran yang merenggut nyawa semua orang lainnya. Dia merasakan kewajiban yang mendalam dan tak terpatahkan padanya.
Dan setiap kali Angelia menangis, setiap kali dia mengklaim gadis lain telah menindasnya, Marco memihaknya. Dia akan menatapku, matanya memohon pengertian. "Dia sudah melalui banyak hal, Bella. Dia rapuh."
Sekarang, melihat mereka bersama, bisikan-bisikan dan pilih kasih itu semua menjadi jelas. Ciuman itu bukan momen kelemahan. Itu adalah sebuah deklarasi.
Dia menginginkan kekuasaan. Dia menginginkan nama Prawiranegara dan kerajaan yang menyertainya. Tapi hatinya, kesetiaannya, jiwanya... semua itu milik Angelia.
Dan aku tidak akan menjadi yang kedua bagi siapa pun.