Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Istri Bayaran Untuk Bos Galak
Istri Bayaran Untuk Bos Galak

Istri Bayaran Untuk Bos Galak

5.0
26 Bab
5.6K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tidak bisa, Devan! Kontrak kita sudah habis!" "Berarti tidak ada cara lain selain membuatmu hamil!" "De, Devan," ucap Cecil gemetar.

Bab 1 Tawaran Menikah Kontrak

"Kondisi ibu kamu semakin menurun, Nak. Segera lunasi administrasi agar bisa dilakukan pencangkokan ginjal secepatnya atau nyawa ibumu tidak akan tertolong," ujar lelaki berjas putih yang berdiri tepat di samping pasien sekarat yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.

Dengan wajah cemasnya, perempuan cantik itu mengangguk lemah, meski ia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu. "Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk ibu saya. Akan saya lunasi secepatnya."

Dokter tampan yang terlihat seumuran dengan almarhum ayahnya itu mulai mendekat, mengusap bahu Cecil pelan, lalu tersenyum manis dan berkata, "Kamu yang sabar, ya? Sedikit banyak saya tahu bagaimana kehidupan keluargamu. Kamu memang anak yang hebat. Ibu kamu sering cerita tentang kehebatan putrinya ini. Tetap semangat! Setidaknya, dukungan kamu sangat dibutuhkan pasien untuk berjuang melawan penyakitnya. Kamu jangan menyerah dan jangan lupa berdoa, minta kesembuhan untuk ibumu. Sesungguhnya, hanya Dia yang Maha Menyembuhkan."

Cecil membalas senyuman itu tak kalah manis. Ia sangat bersyukur, karena dokter yang merawat ibunya ini adalah orang baik. Bahkan, beliau tidak pernah menolak jika dimintai bantuan. "Terima kasih banyak, karena Dokter sudah merawat ibu saya dengan sangat baik. Kalau boleh, saya mau merepotkan Dokter sekali lagi, saya minta tolong, titip Ibu sebentar, karena saya harus kembali bekerja untuk membayar biaya rumah sakit."

Dokter mengangguk, dengan senang hati laki-laki itu akan membantu Cecil yang membutuhkan bantuannya. "Silakan, Nak Cecil. Kamu anak baik dan berbakti. Tuhan akan selalu mempermudah langkahmu. Semoga kamu bisa secepatnya mendapatkan biaya untuk operasi ibumu."

"Aamiin. Saya permisi dulu." Setelahnya, Cecil pergi meninggalkan ibunya di ruangan bersama dokter yang merawat.

***

Cecilia Hutama. Gadis manis itu tengah melamun di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu yang singkat. Ia tidak mungkin membiarkan nyawa ibunya dalam bahaya. Bagaimanapun juga, gadis itu harus berhasil mengumpulkan biaya operasi untuk Nira, perempuan cantik yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya selama ini. Hanya Nira satu-satunya keluarga yang Cecil punya, karena ayah Cecil sudah meninggal beberapa tahun lalu.

"Apa aku pinjam Bos saja ya, buat operasi Ibu?" gumam Cecil pada diri sendiri. Tidak ada pilihan lain, hanya bosnya yang bisa menjadi penolong saat ini.

Untuk sesaat, Cecil merasa diterpa angin segar. Namun detik berikutnya, ia menggeleng tegas setelah mengingat bagaimana bos galak itu memakinya kemarin.

"Nggak, nggak! Bos galak itu nggak mungkin mau ngasih bantuan. Aku musti gimana ya Tuhan?!"

Cecil pun mulai frustasi. Ditelungkupkan wajahnya di atas meja kerja sambil membayangkan wajah bosnya yang galak itu.

"Arghhh! Kenapa punya bos galak banget sih?! Aku mau pinjam uang ke man--"

"Siapa yang galak?!" Suara bariton memenuhi ruangan, Cecil pun terkesiap. Ia terlihat gelagapan.

Cecil mendongak, Jantungnya hampir copot saat melihat laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya.

"P--pak Dev?" ucap Cecil terbata. Ia pun langsung menunduk, tidak berani menatap bos galaknya itu. Takut-takut, jika Devan marah lagi dengannya. Sementara sorot mata laki-laki itu menatap dingin ke arah Cecil, seperti ada dendam kesumat yang belum terbalas.

"Siapa yang kamu bilang galak?!" tanyanya sekali lagi. Ekspresi datarnya membuat suasana semakin mencekam.

"Bapak!" Tanpa sadar, Cecil keceplosan.

Laki-laki bernama Devan itu melotot tajam, membuat Cecil menutup mulutnya. Ia sadar sudah melakukan kesalahan yang fatal.

"Ma--maksud saya, tadi ada bapak-bapak di jalan, orangnya galak. Kakinya terinjak saja langsung marah." Bodoh! Baru kali ini Cecil merutuki otak briliannya itu. Bisa-bisanya ia memberi alasan yang tak masuk akal. Mana mungkin Devan percaya?

Devan menelisik mata Cecil. Perempuan itu terlihat tengah berdusta. Devan bisa melihatnya dari manik matanya yang bergerak gelisah. Lagian, ia tadi mendengar dengan jelas jika Cecil menyebut kata bos. Apa mungkin dirinya yang dimaksud? Batin Devan bertanya-tanya.

"Nggak usah alasan! Ke ruangan saya sekarang juga! Saya tunggu 5 menit!" Tanpa basa-basi, Devan berlalu meninggalkan Cecil yang masih mematung di tempatnya.

Cecil pun menghembuskan napas kasar. Ia harus siap menerima resiko yang akan dirinya dapatkan setelah ini.

Tak ingin membuat bosnya semakin marah, ia pun bergegas menuju ruangan CEO perusahan yang bergerak di bidang properti ini. Dengan langkah seribu, Cecil berjalan menuju ruangan Pak Direktur.

Tok ... tok ... tok ...

Suara ketukan terdengar dari luar.

"Masuk!" teriak seseorang dari dalam. Tentu saja itu Devan, satu-satunya orang yang berkuasa di kantor ini.

Cecil pun segera masuk saat pemilik ruangan mempersilakan dirinya masuk.

"Telat dua menit!" ucap sang CEO dengan ekspresi yang sama. Datar dan dingin.

Cecil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ya, memang telat dua menit. Tapi, ini terlihat berlebihan jika harus dipermasalahkan.

"Maaf, Pak. Jalan ke sini juga butuh waktu. Nggak langsung ngilang. Ruangan saya dan kantor Pak Devan, jaraknya cukup lumayan. Jadi, saya juga butuh waktu untuk jalan ke sini."

Devan tidak suka mendengar alasan. Apalagi bantahan. Karyawannya yang satu ini memang paling suka membangkang. "Jangan kebanyakan alasan! Saya tidak suka!"

Cecil pun berdecak dan memutar bola matanya. Hanya perempuan itu yang berani menantang Devan. "Ckck! Udah sih, Pak. Orang cuman telat dua menit. Hidup saya sudah rumit, jangan dipersulit!"

Cecil terlihat kesal. Kepalanya yang sudah pusing memikirkan pengobatan ibunya, menjadi semakin pening karena bos galaknya ini. Rasanya, ingin sekali ia makan orang.

Devan sendiri merasa heran dengan gadis manis yang bekerja di perusahaannya ini. Sama sekali tidak ada takut-takutnya dengan atasan. Justru terkesan seperti menantang, seolah tidak takut kehilangan pekerjaannya.

"Kok jadi galakan kamu? Di sini, bosnya saya, bukan kamu! Kalau sudah bosan bekerja, dengan senang hati saya akan pecat kamu!"

Cecil terkesiap. Matanya membulat dengan mulut terkatup rapat. Ia kemudian meraih tangan Devan, menciumnya dengan hormat sambil memohon karena pekerjaan ini sangat penting baginya. "Tolong jangan pecat saya, Pak. Maaf, kalau saya sudah kurang ajar sama Bapak. Tapi saya mohon, jangan pecat saya. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Ibu saya terbaring kritis di rumah sakit. Kalau Bapak pecat saya, saya bayar rumah sakit dan pengobatan ibu saya pakai apa, Pak?"

Dengan terus mencium tangan Devan, Cecil berusaha merayu bosnya. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Bagi Cecil, kantor ini adalah harapan satu-satunya.

"Itu bukan urusan saya," ucap Devan acuh. Sebenarnya, Devàn tidak benar-benar berniat memecat Cecil karena perusahaan ini masih membutuhkan karyawan kompeten seperti Cecil. Ia hanya memberi pelajaran saja pada karyawannya yang suka membangkang itu.

"Pak, saya mohon dengan sangat, tolong jangan pecat saya. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini. Ibu saya sedang sakit parah dan butuh perawatan intensif. Saya juga butuh uang untuk biaya operasi cangkok ginjal ibu saya. Saya mohon, Pak, jangan pecat sa--"

"Diam!" Perintah Devan membuat Cecil berhenti nyerocos.

Melihat Cecil yang sudah berhenti bicara, Devan ikut diam, lalu memperhatikan penampilan Cecil dari atas sampai bawah.

"Duduk!" titahnya kemudian.

Cecil yang masih gelisah dengan karirnya di kantor ini, masih terus berdiri mematung tanpa mengindahkan perintah atasannya, itu membuat Devan semakin geram.

"Kenapa masih berdiri?" ucap Devan dingin dan terasa menusuk di telinga.

"Ta--tapi, Pak?"

"Saya bilang duduk ya duduk!" bentak Devan membuat Cecil terkesiap. Gadis itu tertegun sampai susah payah menelan liur yang tercekat di tenggorokan.

Tak ingin mendapat masalah lebih runyam lagi, Cecil memilih untuk duduk. Ia menarik kursi yang ada di hadapan Devan.

"Baik, saya duduk."

Cecil hanya bisa merunduk dalam. Takut-takut jika Devan kembali murka padanya, pekerjaannya ini pasti akan hilang dalam sekejap dan posisinya akan digantikan dengan mudahnya.

"Kamu butuh uang?" tanya Devan dengan suara yang melembut, membuat Cecil menarik napas lega. Meski begitu, ia tidak berani mengangkat kepalanya.

"Iya, Pak," jawabnya hanya dengan sekali anggukan.

"Saya di sini, bukan di bawah. Ngapain nundukin kepala?!"

Dengan susah payah, Cecil berusaha untuk sabar. Ia harus bisa tahan emosi. Belum saatnya membantah bos galaknya yang ngeselin ini. Dengan kuat, gadis itu mencengkeram ujung roknya agar bisa lebih tenang.

Perlahan, Cecil mulai mengangkat kepalanya. Ditatapnya manik Devan dengan tatapan lembutnya. Kali ini, ia mengalah demi pekerjaannya yang dipertaruhkan. "Iya, Pak. Saya minta maaf."

Devan tersenyum samar. Ia merasa menang karena sudah berhasil membuat sekretarisnya yang songong itu menjadi tak berkutik.

"Ekehm." Suara deheman milik Devan, terdengar cukup horor di telinga Cecil. Gadis itu berusaha tenang dengan memilin ujung roknya hingga lecek.

Saat saling pandang, tanpa sengaja tatapan keduanya saling beradu. Devan menatap Cecil dengan sorot yang tajam, sementara gadis itu menatap manik Devan dengan tatapan sayunya. Devan bisa melihat ada sebersit kesedihan di balik tatapan milik Cecil.

"Emmm ... saya bisa bantu kamu membiayai semua pengobatan ibu kamu," Bak super hero, Devan menawarkan bantuan pada Cecil. Tentu saja tidak gratis. Perempuan itu harus memberinya imbalan yang sepadan.

Mendengar itu mata Cecil berbinar. Ia sama sekali tidak menyangka jika bos galaknya ini ternyata masih punya sisi kemanusiaan yang baik. Ia merasa sedikit bersalah, karena penilaiannya pada laki-laki itu tidak sepenuhnya benar.

"Bapak serius?" tanya Cecil memastikan. Semoga saja, laki-laki itu beneran baik.

"Ya, tapi ada syaratnya."

Kedua alis Cecil bertaut. Bodoh! Ia merasa bodoh! Mana mungkin Devan mau membantunya dengan cuma-cuma? Pasti laki-laki itu sudah punya rencana licik. Tapi, Cecil tidak boleh egois. Demi ibunya, syarat apa pun akan dirinya lakukan.

"Apa syaratnya?" ucap gadis itu lantang. Ia tidak peduli dengan syarat yang Devan berikan. Bagi Cecil, nyawa ibunya jauh lebih penting sekarang.

"Jadi istri saya!"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY