osok matanya, berharap ini semua hanya halusinasi. Namun, sosok itu mas
darkannya dari lamunannya, "Tuan p
ik kita segera pergi ke kamar, sepe
isebuah kamar yang cukup mewah, "Tuan putri, ini
mengantarku, sekar
uh sesuatu anda bisa memanggil
asuki kamarnya. Ia langsung mengunci pintu
ini merupakan hari yang cukup melelahkan baginya. Tu
baru saja dilihatnya. Wajahnya yang begitu
elaka? Liana meremas selimut dengan erat, berusaha
itu. Hati kecilnya terus merindukan senyuman han
kembali momen-momen indah yan
-jalan bersama Carolina dalam keheningan. Akhirnya, mereka
saja Carolina mengalihkan pandangannya
tika itu juga, waktu seolah berhenti berputar. Ada kilauan
ngan Elgar dan mengalihkannya lagi ke pemandangan yang ada didepannya. Ju
it kecil itu. Angin sepoi-sepoi memba
dua, karena Carolina sangat menyukai kupu-kupu ia pun menge
nya terasa menghangat. Senyum Carolina bagi
Carolina dan Elgar berjalan beriringan, langkah mereka berat. Setiap la
berdua sama-sama merasakan ketertarikan yang kuat, nam
merasa ragu untuk membuka hati setelah pengalaman pahit
dan menoleh. Elgar menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, "Ak
ingat, kita hanya dua orang asing yang tidak sengaja berte
aku berharap kita bisa terus bersama,
sore yang berhembus sejuk seakan ikut m
rusaha keras untuk tidak larut dalam
alam. Hatinya berteriak agar ia bisa menerima perasaan
ang berkaca-kaca. Hatinya ter
ut jika ia memberikan harapan pada Elgar, lal
ing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Sa
Elgar pelan, matanya men
ya enggan bertemu dengan tatapan Elgar
k, tidak ingin melepa
Elgar, suaranya terdengar berat.
takan bahwa ia tidak ingin Elgar pergi. Namun, k
nya, Elgar akan semakin berharap dan pa
a," jawab Ca
eningan yang mulai terasa mencekam. Akhirnya
terasa seperti tercabik-cabik. Elgar merasa sedih karena perasaannya belu
ngurung diri di kamar. Ia menangis sejadi-jadi
nya pada Elgar. "Kenapa aku harus sebodoh
akin jauh ia melangkah, semakin berat langkah kak
Suara kuda berlari dan percakapan orang-orang. De
dengan pakaian yang sangat familiar baginya. Pasu
ejut dan senang meli
it, sambil memberi hormat. "Kami sud
aafkan aku, telah membuat
nting Yang Mulia sudah kembali deng
sang jendral sekaligus tangan kanannya yang bernama Ro
r. Dengan berat hati, ia meninggalkan tempat itu. Ia menatap
sa sesalnya. Ia teringat akan tatapan sendu Carolina saat mereka berpisah. Mungkinkah ini pertemuan te
terasa dingin. Seandainya saj