oba menghubungi ponsel Jeslyn, anak ti
bot. Suara datar itu makin lama makin membuatnya kesal. Akhir
marang tanpa menengok anak tirnya yang sudah ia anggap seperti anak sendiri, apalag
jawaban. Memang, jam dua belas siang begini kebanyakan anak kuliah pasti
tu, wajahnya dikenal Om Farhat deng
en?" tanya Om
.. anu Om... anu... Jeslyn-nya lagi ke kampu
mendadak aja. Pesawat masih dua jam lagi. Om pikir nggak
n sekotak lum
m, aku harus segera siap-siap ke kantor, soalnya lagi magang, Om. Se
awarkan dirinya untuk masuk. Ia mengerti. Tempat kost putri mem
boleh nggak Om pinjam kamar mandi sebentar? Peru
g. Om Farhat memaklumi keraguannya. Ta
ja, Hen," desaknya,
an lama-lama ya, Om. Nggak enak kalau dil
ma buang hajat aja," sahut Om
amar mandi ada di ujung belakang. Untuk sampai ke sana, ia harus melewati sembilan kamar kost yang berjajar rapi
Barangkali karena merasa aman dengan Heny yang ada di rumah, Jeslyn tak menut
i makin lama terdengar seperti desa
, karena Jeslyn katanya sedang ke kampus. Anak muda, pikirnya, wajar saja. Tapi rasa penasa
endekati pintu itu. Dari c
dunia seolah b
Bukan suara
i atas ranjang. Jantung Om Farhat berdegup kencang. Napasnya te
. Jeslyn, rambutnya kini dipotong pendek seleher, membuatnya tampak berbeda. Namun Om Farhat tak mungkin sal
muda, mengulum kemaluannya dengan gerakan terampil. B
aat itu, Om Farhat tak peduli. Yang menghantam hatinya adalah kenyataan bahwa gadis kecil yang ia sayan
n menggedor pintu, ingin memarahi mereka. Ingin menarik Jeslyn dar
dengar su
Farhat sadar, apa yang ia lihat ini leb
ga Pak Fredy," suara Jeslyn terdengar ceria, lepas tanpa sadar
iki tubuh laki-laki yang ternyata bernama Dion. Pandangannya terasa surreal, seperti
eraguan, seolah sudah terbiasa melakukannya. Bukan pertama kalinya, jelas sekali. Tubuh Jeslyn menggeli
ahi yang meledak-ledak. Tangan Dion bergerak liar di sekitar dada Jeslyn, meremas bukit-bukit lembut yang dulu ser
mpur dengan kecupan panas dan pelukan erat. Kaki Jeslyn melingkari pinggang lelaki muda itu, mengunci erat tubuhnya
aat suara sandal yang diseret-seret terdengar mendekat. Panik, Om Farhat segera bergerak menuju kamar man
buruk. Tapi rasa dingin itu justru menegaskan satu hal: ini nyata. Jeslyn, gadis kecil yang dulu ia ajari
amun pikirannya buntu. Tak seperti biasanya, otaknya kini terasa m
melewati kamar Jeslyn, suara ceki
nja Jeslyn terdengar, menampar telinga Om Farhat. Ia menunduk, memp
di sofa, Heny
santai sambil menikmati lumpia yan
am. Wajahnya kusut, p
Ternyata dia di kamar dengan pacarnya,
h manis berkulit gelap itu mendadak kaku. Ia menunduk, menghindar
ereka?" suaranya pel
at meng
at apa yang mereka p
. Wajahnya s
edengeran ada ribut-ribut?" tanyany
kukannya," jawab Om Farhat dengan suar
ya. "Hah? Om biarkan? Om
a di kursi pesakitan. Heny berpindah duduk,
bisiknya, matanya tajam
. Hanya kehenin
in pelan, nyaris menggoda. Om Farhat meras
. Tak ada pembenaran, h
panggil
it wajahnya. Entah siapa yang lebih dulu bergerak, namun tiba-tiba bibir mereka bertaut. Ciuman itu ta
balik kain tipis dan bra yang membungkusnya. Tidak besar, namun kenyal dan padat. Tangannya bergerak pe
rhat dengan senyum penuh arti. Tapi kemudian bibir me
Ini ruang tamu, tempat terbuka. Bisa saja pe
di sini," bisik
marku, kan ada Jeslyn sama Dio
mu nggak keberatan," usul Om
n. "Oke. Aku panggil taksi dulu
berkecamuk. Ia tak tahu apakah ini solusi atau justru awal dari kekacauan
g tamu, berusaha bersikap sewajarnya meski suasana sebenarnya
acarnya. Rasa kecewa dan gamang masih menyelimutinya, apalagi setelah mengetahui bahwa Heny s
bersedia menemani Om Farhat, seolah i
*