dari perjalanan panjang yang akan membawaku pada kegelapan, ketakutan, dan pergulatan melawan sesuatu yang berada di luar
ng. Pesantren ini berdiri megah di tengah kota kecil yang dikenal dengan sebutan Kota Santri. Di tempat ini, ilmu agama dan kehidupan berpadu membentuk
banan. Kebahagiaan itu adalah tawa riang bersama teman-teman di sela-sela belajar, suara lantunan ayat-
hir kepada kami, para santri yang telah menyelesaikan pendidikan. Dengan suara berat namun penuh keyakinan, beliau berkata
idupan. Di sini, aku belajar bersyukur dalam keterbatasan, bekerja keras tanpa pamrih, dan mengutama
asa depanku dengan membuka usaha toko grosir yang menjual berbagai kebutuhan pokok dan makanan ringan. Waktu berjalan, dan u
, kulit putih bersih, dan pipi yang merona merah ketika terkena sinar mentari. Matanya yang sedikit sipit menyiratkan kelembutan, sementar
ir menyaksikan kami menyatukan cinta dalam ikatan suci. Dengan doa-doa penuh harapan, kami memulai kehidupan r
i hari, Aisyah tiba-tiba terbangun dari tidurnya. W
u lembut, meski hatiku mu
sekali)... sepertinya ini tanda-tanda m
ur panik memenuhi diriku. Ini adalah pengalaman pertama menyambut keh
annya), Mas," ucap Aisyah lir
oa-doa lirih mengalir dari hatiku sepanjang perjalanan, memohon agar semua berjalan lanca
cemas, pikiranku dipenuhi harapan dan doa-doa untuk keselamatan Aisyah serta bayi yang ada dalam kandungannya. Namun, tanpa peringatan, sebuah bayangan mel
dengan sorot mata yang dipenuhi tanya,bibirnya yang pucat membuka sedikit, lalu ia bertanya d
ra ono opo-opo (Tidak apa-apa), Sayang, mungkin mripatku (penglihatanku) sedikit terganggu atau aku terlalu tegang, hingga seolah-olah ada sesuatu yang melintas." Meski aku beAisyah," kataku, berusaha menyemangati diriku sendiri, sementara tangan kananku meraih tangan Aisyah yang terasa dingin, mencoba memberikan kehangatan dan kekuatan. Mesin mobil kembali aku nyalakan, dan
r menderu pun seperti menghilang sama sekali. Lampu-lampu jalan yang tadinya terlihat terang dan memberi penerangan kini tampak berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan samar di kejauhan ya
kan lirih dari seseorang yang mulai lelah namun mencoba tetap kuat. Aku menoleh sekilas ke arahnya, matanya yang biasanya penuh ketenangan kini tampak mengandung sesuatu yang lain, se
(aku sudah tidak kuat menahannya)," ucap Aisyah dengan suara yang
enenangkan Aisyah sembari berkata, "Sayang, atur napas ya, kuatkan dirimu. Kita hampir sampai.
snya. Aku tahu bahwa detik-detik ini sangatlah berharga, satu momen bisa berarti segalanya.Di dalam mobil, A
di dadaku. "Kita sudah sampai, Sayang. Bertahan, ya!" Aku berkata dengan nada penuh harapan. Setibanya d
" teriakku, mengabaikan rasa panik yang melanda. Seorang perawat segera
nda?" tanya salah satu perawat dengan nada profesional, m
mereka memindahkannya ke kursi roda. Ia menggenggam tanganku dengan erat, seolah tidak ingin melepaskanny
inan. "Aku nang kene (Aku di sini), Sayang. Aku
tertutup rapat. Malam yang tadinya penuh harapan kini dipenuhi doa-doa yang tak henti aku ucapkan. Aku mem
alanan tadi. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang mengusik pikiranku. Tapi aku segera menggelengkan kepala
mertuaku pasti menanti kabar dari kami. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar,
but namun penuh kekhawatiran ibuku menjawab, "Halo, Putra? Onte
a nipun Ibu sepados diparingi lancar (Mohon doa Ibu agar semuanya berjalan lancer)
Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Bagaimana kondisi Aisyah seka
ah masih berusaha bertahan. Doakan kami, B
Nada sambung kedua ini membuatku semakin cemas; setiap detik terasa
dalu mengaten ? (Ada apa malam-malam begin
it (kami sedang di rumah sakit). Aisyah sudah mulai proses persalinan.Nyuwu doa nipun saking ( Moho
sana. Kau tetap di sisi Aisyah, jangan tinggalkan
Terima kasih. Kami tunggu kedatangan Bapak d
perjalanan tadi dan keanehan di malam itu terus menghantui pikiranku. Aku kembali menggumamkan doa
ka, dan seorang dokter keluar menghampiriku. Wajahny
tanyanya untu
sambil berdiri, jantung
k ingin masuk ke dalam ruang persalinan untuk menemani beliau
einginan kuat untuk mendampingi Aisyah di saat-saat penting ini.
n tetap tenang dan ikuti arahan kami
amun juga penuh harapan. Aisyah terbaring di ranjang, tubuhnya tampak lemah namun matanya mencoba mencar
t. "Aku di sini, Sayang. Aku tidak akan pergi ke
a nyaris tak terdengar. "Mas...
a. Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja," jawab
terus mengatur napas dan mengejan dengan kekuatan yang tersisa. Aku hanya bisa terus menggenggam tangan
semangat! Napas dalam, lalu d
ku. Lindungi dia dan anak kami". Dan di tengah ketegangan itu, aku t
uara perawat dan dokter terdengar memandu, tapi semuanya seolah teredam oleh detak jantungku yang menggealu dorong sekuat tenaga! Sedikit lagi!" ser
sar rasa sakit yang ia rasakan, tapi juga betapa kuat tekadnya. Ini bukan sekadar per
snya yang berat, matanya menatapku penuh keyakinan, me
nahan air mata yang hampir tumpah. Aku tahu betapa besar pengorban
nya memenuhi ruangan, bercampur dengan suara dukungan dari tim medis. Aku bisa mer
lagi, sudah dekat!" seru p
egitu nyaring, seperti melodi indah yang langsung membuatku mengucap syukur dalam hati. Aku me
dokter dengan senyum hangat, sementara tim medis
rsenyum lemah, matanya berkaca-kaca. "Sayang... kamu luar biasa,"
kita..." bisiknya, sebelum tub
, momen ini menjadi bukti bahwa cinta sejati mampu melewati ujian terberat. Anak kami lahir ke
ut, menggendong bayi mungil kami yang dibalut kain putih bersih. Bayi itu tampak tenang, matanya masi
. Setelah itu, kami sarankan untuk segera diberikan ASI pertama," u
but bayi kecil itu ke dalam pelukanku. Begitu lembut, begitu mungil, dan begitu sempur
leh ke arah Aisyah, yang meski tampak lelah, tersenyum dengan tatapan penuh cinta. "Sayang, terima kas
u Akbar... Allahu Akbar..." Kalimat demi kalimat adzan mengalir dari bibirku, memenuhi ruangan dengan lantunan syahdu. Air
embut. Aisyah menerima bayi itu dengan senyum penuh kebahagiaan. Meski tubuhnya masih lemah, tangannya yang gemetar menyentuh pipi mungil bayi ka
syukur. Tepat adzan subuh berkumandang, cinta kami melahirkan kehidup
ami, tersenyum ramah sebelum dengan lembut membawa bayi ka
, lalu mengecup keningnya perlahan. Suaranya sedikit bergetar saa
terpancar dari sorotnya. Keheningan singkat menyelimuti ruangan, hanya
uara di ujung teleponku terdengar penuh harap saat aku berkata, "Bu, Aisyah d
is kecil dari Ibu, disusul tawa bahagia. "Alhamdulillah
h rasa penasaran, "Apakah dia mirip dengan Aisyah waktu k
ah bahagia mereka yang sebentar
an kelahiran cucunya," kataku sambil men
t, masih terlihat lelah, tapi bibi
, mataku menatap Aisyah penuh dengan rasa sayang. "Cerdas, hafal Quran
r yang baru saja lahir bersama bayi kami. Aisyah tersenyum, matanya berkaca-kaca, lalu menja