am dan aku bergegas berlari kecil menuju kamar Fatimah, Istriku Aisyah tampak heran dengan apa ya
jahnya terlihat damai, tertidur pulas di bawah selimut birunya. Dadaku sediki
pku lagi, berusaha mey
ngar cemas, memecah keheningan. Dia berdiri di be
di... bayangan hitam itu muncul lagi, Aisyah," kataku dengan nada pelan, namun jelas
g pucat. "Bayangan itu lagi?" bisikny
lebih jelas. Bukan hanya sekadar siluet... Aku bisa merasakan sesuatu. Energi yang
elangkah masuk ke kamar dan memeriksa anak kami dengan cermat, memastikan semu
baik-baik saja," gumamku, meskipun aku sendiri tidak yakin. Rasanya a
akhirnya. "Ini sudah yang kesekian kalinya. Janga
sebelumnya, tapi aku mencoba mengabaikannya, berharap semua hanya halusinasi belaka. Namun, bayangan
gi," kataku tegas. "Kita perlu tahu
ketakutan. "Kita juga harus banyak berdoa, Abi. Apa
engar seperti bisikan. Aku melangkah ke arah jendela, menutupnya perlahan. Namun, entah mengapa, sebelum tirai te
ertolongan kepada Allah," ucap Aisyah lembut, meski aku tahu nada suaranya menyimpan kekhawatir
Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah, aku bisa mendapatkan k
Suara air yang mengalir saat aku mencuci muka terasa menenangkan, meski hanya sedikit. Aku berdiri di depan cermin, mema
pi, hanya terdengar deru angin malam yang sesekali menggoyangkan dedaunan di luar. Ak
hu Ak
kku. Sosoknya berdiri diam, tak bergerak, namun keberadaannya terasa begitu nyata. Semakin aku mencoba mengab
kan shalat. Namun, tepat saat aku sujud, perasaan itu kembali, seperti ada sesuatu yang berat menggantung di sekelilingku
s. Wajahnya tidak terlihat, tetapi tubuhnya yang diselimuti hitam itu seperti bergerak mendekat, perlahan, se
nguatkan diri. Namun, udara di ruangan terasa semakin menekan. Rasanya seperti ada sesuat
yang berdegup kencang. Ruangan masih sama seperti sebelumnya hanya lampu temaram yang menera
kirku, aku mendengar sesuatu suara samar yang hampir tidak terdengar, seperti bis
kan semuanya. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku tahu malam ini tidak akan berlalu begitu saja. Ada sesuatu yang tidak
asana malam terasa sunyi, hanya suara angin yang berhembus pelan dari luar jendela. Namun, di tengah keheningan itu, t
gggh
gga aku merasa lantai di bawah kakiku sedikit bergetar. Jantungku kem
dengan wajah panik. "Abi! Apa tadi? Suaapa yang baru saja terjadi. "Aku tidak tahu, Aisya
suasana terasa lebih mencekam. Langit malam tampak gelap pekat, tanpa bintang, dan udara terasa lebih dingin dari biasa
endengar sesuatu.Sebuah suara samar, seperti
u jauh," panggil Aisyah dari
lum aku menutup pintu, pandanganku menangkap sesuatu di ujung mata,sebuah bayangan. Aku tidak yakin apa
ndela," perintahku, berusaha teta
rtutup rapat. Aku sendiri berdiri di ruang tamu, menatap ke luar melalui tirai yang s
ini... berkaitan dengan bayangan yang Abi lihat
s panjang. "Aku tidak tahu, Aisyah. Tapi
ana mencekam yang seakan menyelimuti rumah kami. Aku hanya bisa berharap, a
ang memecah kesunyian malam. Fatimah berteriak kencang. Aku dan Aisyah langsun
tempat tidurnya, tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh ai
i," ucapku lembut sambil membelai rambutnya. Namun,dengan penuh kasih. "Fatimah, ceritakan ke Abi dan Ummi.
tan. Suaranya bergetar saat dia mulai bicara. "Abi... Fa
, mencoba memberinya keberanian.
osok bayangan hitam, besar, Abi. Dia muncul di kamar ini. Dia... dia menarik Fatima
tetap berusaha terlihat tenang di depan
pi tempat itu membuat Fatimah takut sekali. Fatimah mencoba lari, tapi tidak bisa. Bay
lah, Nak... Itu hanya mimpi. Fatimah sekarang aman, ya? Ada Ab
eras tadi, bayangan yang aku lihat di perjalanan, dan kini mimpi Fatimah, sem
n ketakutan yang sama. Seolah tanpa perlu bicara
n berdoa dan menjaga Fatimah. Tidak ada yang bisa menyakiti kita selama kita bersama da
meskipun matanya masih menyir
am hati, memohon perlindungan Allah. Namun, di balik doa-doa kami, aku tidak bisa
tu. Aku dan Aisyah khawatir sesuatu yang tidak diingink
u. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan mulai tenang, tetapi aku dan Aisyah masih
bersandar di dinding, mataku terus memandangi Fatimah yang terlelap, semen
gkah kaki ringan yang terdengar dari luar kamar. Aku menoleh ke arah pintu, telingaku fokus mendengarkan. Suara itu be
r suara itu, menggenggam tanganku erat. "Abi
u sendiri berdetak keras. Suara langkah itu semakin dek
ni
, berusaha tidak membuat suara, lalu berjalan ke arah pintu. Aisyncoba mendengar lebih jelas. Tidak ada suara lagi hanya keheningan yang semakin mencekam. Ta
a cukup untuk mengintip. Namun, yang kulihat hany
menoleh ke ujung lorong. Dalam redupnya cahaya lampu, aku bisa melihat sesuatu berdiri di s
tu dengan cepat, mengunci rapat, lalu
" tanya Aisyah
, meski suara bergetar. Aku tidak ingin me
itu masih ada. Dan aku tahu ini baru per
an diriku untuk berdzikir dalam hati. Perlahan, gangguan dari bayangan hitam itu mulai memudar, seperti dite
ngkat. Aku segera bangkit, lalu mengguncang lembut bahu Aisyah dan
gan pandangan setengah sadar. "Abi, bayangan itu... apakah sudah
ng, ayo kita berwudhu dan sholat Subuh bersama. Kalau Fatimah rajin berdoa, hati Fatimah akan
umanku. Aku tertegun, mencoba memahami dari mana bau itu berasal. Dengan ragu, aku mendekati bak mandi. Betapa te
yang sama keluar, menetes dengan suara berat seolah membawa sesuatu yang
ngah berteriak. "Air di kamar m
enuh kantuk kini berubah menjadi ekspresi heran bercampur cemas. "B
jawabku sambil menenangkan diri.
imah bersiap untuk shalat subuh berjamaah. Namun, perasaan tidak nyaman terus mengintai. Ada hawa dingin y
ran tentang air hitam itu terus menghantui. A
u busuk masih samar terasa di hidungku, namun aku bertekad untuk segera membuang air hitam pekat di bak mandi. Dengan hati-hati, aku
at air bening mengalir deras, tanpa bau busuk seperti sebelumnya. "Alhamdulillah, airnya sudah kembali b
balas seruanku dengan ucapan syukur. "Alh
suk yang tiba-tiba muncul, lalu hilang begitu saja, terasa terlalu aneh. "Sungguh, ini
pagi seperti biasa. Fatimah tampak ceria, seperti tak terpengaruh oleh kej
itam itu. Apakah itu hanya kebetulan, ataukah ada sesuatu yang mencoba menyampa
menuju sekolah.Udara segar pagi hari sedikit menghapus rasa lelah yang masih menggantung di tubuhku.D
t sambil meliriknya yang duduk diam di kursi samping kiriku. "Abi selalu melindungi Fati
tapku sejenak. "Iya, Abi," jawabnya dengan suara kha
ih berputar di pikiranku. Tapi aku tahu, yang terpenting saat ini adala
m tanganku sebelum keluar dari
kum, Abi," uc
belajarnya, Sayang," jawab
pukul delapan pagi, aku membuka pintu toko. Hiruk-pikuk pelanggan langsung memenuhi ruanganku. Produk
menyimak penjelasan dari Ibu Guru. Namun, tiba-tiba, pandangannya tertuju pada pojok ruangan
t, ia memejamkan mata, berharap bayangan itu menghilang. Namu
lamunannya. Namun, Fatimah tidak mendengar. Suara Ibu Guru terasa seperti gema
ja Fatimah, lalu mene
imah," panggiln
tanya terbuka lebar,gganggumu?" tanya Ibu Guru dengan n
ab Fatimah dengan suara bergetar. Namun
takutan, "Ya Allah, bayangan itu muncul lag
hi rasa cemas. Ia sulit fokus, dan setiap suara kecil di kelas membuatnya melompat kecil karena taku
jemput Fatimah di sekolahnya. Setibanya di sekolah, Fatimah
engan nada yang lebih pelan dari
barakatuh, Sayang," jawabku lemb
bil, aku mencoba be
hari ini, N
nung. Aku bisa melihat dari sorot matan
lagi, mencoba memahami
awab dengan suara pel
nyaku lebih serius, ki
dengan suara bergetar, "Abi, tadi di kelas
t. Aku segera meminggirkan mobil di tepi jalan, menarik napas panjang untuk
akan biarkan apapun menyakitimu," ucapku sambil me
nya masih gemetar. Aku tahu ketakutannya nyata, da
, aku tersenyum padanya dan
ulu, lalu kita jalan-jalan dan makan di
l, lalu matanya berbin
panjang perjalanan, pikiranku terus berputar. Kenapa sosok itu
tanyaan itu sementara. Saat ini, yang terpenting
gganti baju, sementara Umi terlihat sibuk merias diri di depan cermin.Aku, di sisi lain, men
da pegawaiku. Setelah memastikan semuanya terkendali, aku memutuskan panggi
Senyum kecil mulai terlihat di wajahnya, meski aku tahu betul senyum itu
ekarang," kataku, berusaha
timah berjalan-jalan di mal, makan bersama, dan membelikannya apa pun yang ia mau.Ak
cayainya, tetapi karena aku ingin memastikan Fatimah lebih tenang terlebih dahulu sebelum membahas hal ini.Aku
il menunjuk berbagai hal yang menarik perhatiannya.Senyumnya yang polos kembali terlih
lam bersama, dan aku berusaha memastikan suasana tetap ringan dan menyenangkan.Namun, jauh di dalam pikiranku,
uh malam. Setelah puas bersenang-senang, kami memutuskan untuk kembali pulang. Fati
, tak lama kemudian, Fatimah tertidur di kursi belakang. Wajahnya yang polos terli
kipun pikiranku sesekali melayang ke pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab,
rumah menyala redup, menciptakan suasana tenang. Aku
mpai di rumah," ucapku lembut, s
tuk. "Hmmm... iya, Abi," jawabnya dengan suara kecil. K
rsihkan diri dulu, ganti baju, gosok gigi, dan jan
pul di ruang keluarga untuk menunaikan shalat Isya. Suara bacaan shalat meme
h untuk keluargaku, terutama untuk Fatimah. Setelah itu, kami bersiap unt
hati, aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya t
kamarnya, dan angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah jendela. Bayangan hita
a, lembut namun dalam, seperti sua
sumber suara dengan tubuh bergetar. "S-sab, hanya mengulangi pang
h dan mulut yang bergetar. "S-siapa"Sami mbah...hihihi" sahut b
ah-engah, dan udara di sekitarnya terasa semakin dingin,
teriak Fatimah d
seperti lenyap
gilan itu terdengar lagi,
a tangannya memeluk dirinya sendiri sambil menggi
a, ia terbangun dengan napas tersengal dan tubuh bersimbah keringa
untuk melangkah ke kamar Abi dan Umi. Suara pintu yang be
panggilnya denga
enatap Fatimah yang berdiri
ya Umi dengan nada
i," jawabnya, tububuh kecilnya yang terasa dingin. "Nak
a erat, mencoba menghangatkannya. Namun, rasa dingin di tubuh
atimah.Setibanya di sana, aku berdiri di depan pintu kamar yang setengah terbuka.Udara di dalam terasa pengap meskipun lampu kamar menyala terang.Perlahan
dalamnya. Aku berjongkok, mencoba melihat ke bawah tempat tidur, tapi hasi
ng
at d
kipun AC tidak menyala.Tubuhku mendadak tegang.
g pintu, bayangan
ala seperti bara a
encoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.Hanya desakan zikir d
menunggu sesuatu.Waktu seperti berhenti
ubuhku terasa lemas, nafasku tersengal-sengal, dan jantungku b
dari kamar Fatimah dan kembali ke kama
saja," gumamku lirih, meski rasa
berdoa dan membaca Surat Al-Ikhlas, An-Nas, dan Al-Falaq,ap bayang mimpi, aku masih bisa melihat m