img TABIR HITAM  /  Bab 3 PERTANDA DI MALAM SEPI | 60.00%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca

Bab 3 PERTANDA DI MALAM SEPI

Jumlah Kata:4372    |    Dirilis Pada: 29/06/2025

am dan aku bergegas berlari kecil menuju kamar Fatimah, Istriku Aisyah tampak heran dengan apa ya

jahnya terlihat damai, tertidur pulas di bawah selimut birunya. Dadaku sediki

pku lagi, berusaha mey

ngar cemas, memecah keheningan. Dia berdiri di be

di... bayangan hitam itu muncul lagi, Aisyah," kataku dengan nada pelan, namun jelas

g pucat. "Bayangan itu lagi?" bisikny

lebih jelas. Bukan hanya sekadar siluet... Aku bisa merasakan sesuatu. Energi yang

elangkah masuk ke kamar dan memeriksa anak kami dengan cermat, memastikan semu

baik-baik saja," gumamku, meskipun aku sendiri tidak yakin. Rasanya a

akhirnya. "Ini sudah yang kesekian kalinya. Janga

sebelumnya, tapi aku mencoba mengabaikannya, berharap semua hanya halusinasi belaka. Namun, bayangan

gi," kataku tegas. "Kita perlu tahu

ketakutan. "Kita juga harus banyak berdoa, Abi. Apa

engar seperti bisikan. Aku melangkah ke arah jendela, menutupnya perlahan. Namun, entah mengapa, sebelum tirai te

ertolongan kepada Allah," ucap Aisyah lembut, meski aku tahu nada suaranya menyimpan kekhawatir

Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah, aku bisa mendapatkan k

Suara air yang mengalir saat aku mencuci muka terasa menenangkan, meski hanya sedikit. Aku berdiri di depan cermin, mema

pi, hanya terdengar deru angin malam yang sesekali menggoyangkan dedaunan di luar. Ak

hu Ak

kku. Sosoknya berdiri diam, tak bergerak, namun keberadaannya terasa begitu nyata. Semakin aku mencoba mengab

kan shalat. Namun, tepat saat aku sujud, perasaan itu kembali, seperti ada sesuatu yang berat menggantung di sekelilingku

s. Wajahnya tidak terlihat, tetapi tubuhnya yang diselimuti hitam itu seperti bergerak mendekat, perlahan, se

nguatkan diri. Namun, udara di ruangan terasa semakin menekan. Rasanya seperti ada sesuat

yang berdegup kencang. Ruangan masih sama seperti sebelumnya hanya lampu temaram yang menera

kirku, aku mendengar sesuatu suara samar yang hampir tidak terdengar, seperti bis

kan semuanya. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku tahu malam ini tidak akan berlalu begitu saja. Ada sesuatu yang tidak

asana malam terasa sunyi, hanya suara angin yang berhembus pelan dari luar jendela. Namun, di tengah keheningan itu, t

gggh

gga aku merasa lantai di bawah kakiku sedikit bergetar. Jantungku kem

dengan wajah panik. "Abi! Apa tadi? Sua

apa yang baru saja terjadi. "Aku tidak tahu, Aisya

suasana terasa lebih mencekam. Langit malam tampak gelap pekat, tanpa bintang, dan udara terasa lebih dingin dari biasa

endengar sesuatu.Sebuah suara samar, seperti

u jauh," panggil Aisyah dari

lum aku menutup pintu, pandanganku menangkap sesuatu di ujung mata,sebuah bayangan. Aku tidak yakin apa

ndela," perintahku, berusaha teta

rtutup rapat. Aku sendiri berdiri di ruang tamu, menatap ke luar melalui tirai yang s

ini... berkaitan dengan bayangan yang Abi lihat

s panjang. "Aku tidak tahu, Aisyah. Tapi

ana mencekam yang seakan menyelimuti rumah kami. Aku hanya bisa berharap, a

ang memecah kesunyian malam. Fatimah berteriak kencang. Aku dan Aisyah langsun

tempat tidurnya, tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh ai

i," ucapku lembut sambil membelai rambutnya. Namun,

dengan penuh kasih. "Fatimah, ceritakan ke Abi dan Ummi.

tan. Suaranya bergetar saat dia mulai bicara. "Abi... Fa

, mencoba memberinya keberanian.

osok bayangan hitam, besar, Abi. Dia muncul di kamar ini. Dia... dia menarik Fatima

tetap berusaha terlihat tenang di depan

pi tempat itu membuat Fatimah takut sekali. Fatimah mencoba lari, tapi tidak bisa. Bay

lah, Nak... Itu hanya mimpi. Fatimah sekarang aman, ya? Ada Ab

eras tadi, bayangan yang aku lihat di perjalanan, dan kini mimpi Fatimah, sem

n ketakutan yang sama. Seolah tanpa perlu bicara

n berdoa dan menjaga Fatimah. Tidak ada yang bisa menyakiti kita selama kita bersama da

meskipun matanya masih menyir

am hati, memohon perlindungan Allah. Namun, di balik doa-doa kami, aku tidak bisa

tu. Aku dan Aisyah khawatir sesuatu yang tidak diingink

u. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan mulai tenang, tetapi aku dan Aisyah masih

bersandar di dinding, mataku terus memandangi Fatimah yang terlelap, semen

gkah kaki ringan yang terdengar dari luar kamar. Aku menoleh ke arah pintu, telingaku fokus mendengarkan. Suara itu be

r suara itu, menggenggam tanganku erat. "Abi

u sendiri berdetak keras. Suara langkah itu semakin dek

ni

, berusaha tidak membuat suara, lalu berjalan ke arah pintu. Aisy

ncoba mendengar lebih jelas. Tidak ada suara lagi hanya keheningan yang semakin mencekam. Ta

a cukup untuk mengintip. Namun, yang kulihat hany

menoleh ke ujung lorong. Dalam redupnya cahaya lampu, aku bisa melihat sesuatu berdiri di s

tu dengan cepat, mengunci rapat, lalu

" tanya Aisyah

, meski suara bergetar. Aku tidak ingin me

itu masih ada. Dan aku tahu ini baru per

an diriku untuk berdzikir dalam hati. Perlahan, gangguan dari bayangan hitam itu mulai memudar, seperti dite

ngkat. Aku segera bangkit, lalu mengguncang lembut bahu Aisyah dan

gan pandangan setengah sadar. "Abi, bayangan itu... apakah sudah

ng, ayo kita berwudhu dan sholat Subuh bersama. Kalau Fatimah rajin berdoa, hati Fatimah akan

umanku. Aku tertegun, mencoba memahami dari mana bau itu berasal. Dengan ragu, aku mendekati bak mandi. Betapa te

yang sama keluar, menetes dengan suara berat seolah membawa sesuatu yang

ngah berteriak. "Air di kamar m

enuh kantuk kini berubah menjadi ekspresi heran bercampur cemas. "B

jawabku sambil menenangkan diri.

imah bersiap untuk shalat subuh berjamaah. Namun, perasaan tidak nyaman terus mengintai. Ada hawa dingin y

ran tentang air hitam itu terus menghantui. A

u busuk masih samar terasa di hidungku, namun aku bertekad untuk segera membuang air hitam pekat di bak mandi. Dengan hati-hati, aku

at air bening mengalir deras, tanpa bau busuk seperti sebelumnya. "Alhamdulillah, airnya sudah kembali b

balas seruanku dengan ucapan syukur. "Alh

suk yang tiba-tiba muncul, lalu hilang begitu saja, terasa terlalu aneh. "Sungguh, ini

pagi seperti biasa. Fatimah tampak ceria, seperti tak terpengaruh oleh kej

itam itu. Apakah itu hanya kebetulan, ataukah ada sesuatu yang mencoba menyampa

menuju sekolah.Udara segar pagi hari sedikit menghapus rasa lelah yang masih menggantung di tubuhku.D

t sambil meliriknya yang duduk diam di kursi samping kiriku. "Abi selalu melindungi Fati

tapku sejenak. "Iya, Abi," jawabnya dengan suara kha

ih berputar di pikiranku. Tapi aku tahu, yang terpenting saat ini adala

m tanganku sebelum keluar dari

kum, Abi," uc

belajarnya, Sayang," jawab

pukul delapan pagi, aku membuka pintu toko. Hiruk-pikuk pelanggan langsung memenuhi ruanganku. Produk

menyimak penjelasan dari Ibu Guru. Namun, tiba-tiba, pandangannya tertuju pada pojok ruangan

t, ia memejamkan mata, berharap bayangan itu menghilang. Namu

lamunannya. Namun, Fatimah tidak mendengar. Suara Ibu Guru terasa seperti gema

ja Fatimah, lalu mene

imah," panggiln

tanya terbuka lebar,

gganggumu?" tanya Ibu Guru dengan n

ab Fatimah dengan suara bergetar. Namun

takutan, "Ya Allah, bayangan itu muncul lag

hi rasa cemas. Ia sulit fokus, dan setiap suara kecil di kelas membuatnya melompat kecil karena taku

jemput Fatimah di sekolahnya. Setibanya di sekolah, Fatimah

engan nada yang lebih pelan dari

barakatuh, Sayang," jawabku lemb

bil, aku mencoba be

hari ini, N

nung. Aku bisa melihat dari sorot matan

lagi, mencoba memahami

awab dengan suara pel

nyaku lebih serius, ki

dengan suara bergetar, "Abi, tadi di kelas

t. Aku segera meminggirkan mobil di tepi jalan, menarik napas panjang untuk

akan biarkan apapun menyakitimu," ucapku sambil me

nya masih gemetar. Aku tahu ketakutannya nyata, da

, aku tersenyum padanya dan

ulu, lalu kita jalan-jalan dan makan di

l, lalu matanya berbin

panjang perjalanan, pikiranku terus berputar. Kenapa sosok itu

tanyaan itu sementara. Saat ini, yang terpenting

gganti baju, sementara Umi terlihat sibuk merias diri di depan cermin.Aku, di sisi lain, men

da pegawaiku. Setelah memastikan semuanya terkendali, aku memutuskan panggi

Senyum kecil mulai terlihat di wajahnya, meski aku tahu betul senyum itu

ekarang," kataku, berusaha

timah berjalan-jalan di mal, makan bersama, dan membelikannya apa pun yang ia mau.Ak

cayainya, tetapi karena aku ingin memastikan Fatimah lebih tenang terlebih dahulu sebelum membahas hal ini.Aku

il menunjuk berbagai hal yang menarik perhatiannya.Senyumnya yang polos kembali terlih

lam bersama, dan aku berusaha memastikan suasana tetap ringan dan menyenangkan.Namun, jauh di dalam pikiranku,

uh malam. Setelah puas bersenang-senang, kami memutuskan untuk kembali pulang. Fati

, tak lama kemudian, Fatimah tertidur di kursi belakang. Wajahnya yang polos terli

kipun pikiranku sesekali melayang ke pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab,

rumah menyala redup, menciptakan suasana tenang. Aku

mpai di rumah," ucapku lembut, s

tuk. "Hmmm... iya, Abi," jawabnya dengan suara kecil. K

rsihkan diri dulu, ganti baju, gosok gigi, dan jan

pul di ruang keluarga untuk menunaikan shalat Isya. Suara bacaan shalat meme

h untuk keluargaku, terutama untuk Fatimah. Setelah itu, kami bersiap unt

hati, aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya t

kamarnya, dan angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah jendela. Bayangan hita

a, lembut namun dalam, seperti sua

sumber suara dengan tubuh bergetar. "S-s

ab, hanya mengulangi pang

h dan mulut yang bergetar. "S-siapa

"Sami mbah...hihihi" sahut b

ah-engah, dan udara di sekitarnya terasa semakin dingin,

teriak Fatimah d

seperti lenyap

gilan itu terdengar lagi,

a tangannya memeluk dirinya sendiri sambil menggi

a, ia terbangun dengan napas tersengal dan tubuh bersimbah keringa

untuk melangkah ke kamar Abi dan Umi. Suara pintu yang be

panggilnya denga

enatap Fatimah yang berdiri

ya Umi dengan nada

i," jawabnya, tubu

buh kecilnya yang terasa dingin. "Nak

a erat, mencoba menghangatkannya. Namun, rasa dingin di tubuh

atimah.Setibanya di sana, aku berdiri di depan pintu kamar yang setengah terbuka.Udara di dalam terasa pengap meskipun lampu kamar menyala terang.Perlahan

dalamnya. Aku berjongkok, mencoba melihat ke bawah tempat tidur, tapi hasi

ng

at d

kipun AC tidak menyala.Tubuhku mendadak tegang.

g pintu, bayangan

ala seperti bara a

encoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.Hanya desakan zikir d

menunggu sesuatu.Waktu seperti berhenti

ubuhku terasa lemas, nafasku tersengal-sengal, dan jantungku b

dari kamar Fatimah dan kembali ke kama

saja," gumamku lirih, meski rasa

berdoa dan membaca Surat Al-Ikhlas, An-Nas, dan Al-Falaq,

ap bayang mimpi, aku masih bisa melihat m

Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY