Tahun 1979, di usiaku yang ke dua puluh lima tahun, aku berhasil menyelesaikan pendidikan di sebuah pesantren yang keilmuannya disegani oleh banyak orang. Pesantren ini berdiri megah di tengah kota kecil yang dikenal dengan sebutan Kota Santri. Di tempat ini, ilmu agama dan kehidupan berpadu membentuk karakter setiap santri yang menimba ilmu di sini. Teman-teman, guru-guru, dan Kyai di pesantren biasa memanggilku dengan nama Putra Ahmad Tjakranegara..
Hari-hariku di pesantren penuh dengan kebahagiaan sederhana, meski tak lepas dari perjuangan dan pengorbanan. Kebahagiaan itu adalah tawa riang bersama teman-teman di sela-sela belajar, suara lantunan ayat-ayat suci yang memenuhi udara pagi, serta wangi khas kitab kuning yang menemani malam-malam panjang kami.
Aku masih ingat saat rasa bangga bercampur haru menyelimuti hati ketika Kyai Arya, guruku, memberikan ijazah dan doa terakhir kepada kami, para santri yang telah menyelesaikan pendidikan. Dengan suara berat namun penuh keyakinan, beliau berkata, "Kalian bukan hanya membawa ilmu, tapi juga membawa tanggung jawab untuk menyebarkan kebaikan di mana pun kalian berada."
Pesantren ini bukan sekadar tempat belajar, melainkan rumah kedua yang mengajarkanku nilai-nilai kehidupan. Di sini, aku belajar bersyukur dalam keterbatasan, bekerja keras tanpa pamrih, dan mengutamakan keikhlasan dalam setiap tindakan. Nilai-nilai ini menjadi fondasi langkah-langkahku di dunia luar.
Setelah menyelesaikan pendidikan, aku memutuskan kembali ke sebuah desa kecil di Kota Santri. Di sana, aku mulai merancang masa depanku dengan membuka usaha toko grosir yang menjual berbagai kebutuhan pokok dan makanan ringan. Waktu berjalan, dan usahaku perlahan berkembang. Kesuksesan kecil ini memberiku keberanian untuk melangkah lebih jauh, termasuk dalam urusan hati.
Aku memberanikan diri meminang seorang wanita bernama Aisyah Awandini, putri seorang Kyai terkemuka. Wanita itu memiliki paras yang cantik, kulit putih bersih, dan pipi yang merona merah ketika terkena sinar mentari. Matanya yang sedikit sipit menyiratkan kelembutan, sementara tutur katanya yang santun mampu memikat siapa saja. Ia tidak hanya cantik luar dalam, tetapi juga memiliki pemahaman agama yang mendalam.
Pernikahan kami berlangsung sederhana namun penuh berkah. Para santri, masyarakat desa, dan keluarga besar hadir menyaksikan kami menyatukan cinta dalam ikatan suci. Dengan doa-doa penuh harapan, kami memulai kehidupan rumah tangga yang berlandaskan cinta, kepercayaan, dan nilai-nilai agama yang telah menjadi pedoman hidup kami.
Hingga suatu malam, 10 Januari 1983, pukul satu dini hari, Aisyah tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Wajahnya tampak menahan sakit, dan ia merintih lirih.
"Sayang, ada apa?" tanyaku lembut, meski hatiku mulai dipenuhi kekhawatiran.
"Mas, wetengku loro tenan (perutku sakit sekali)... sepertinya ini tanda-tanda melahirkan," jawabnya dengan suara lemah.
Mendengar itu, aku segera bangun dan bersiap. Perasaan senang bercampur panik memenuhi diriku. Ini adalah pengalaman pertama menyambut kehadiran buah hati kami. Dengan tergesa, aku memapah Aisyah menuju mobil.
"Pelan-pelan wae mlaku e (jalannya), Mas," ucap Aisyah lirih, sambil menahan rasa sakit.
Mesin mobil menyala, dan aku mengemudikan kendaraan secepat mungkin menuju rumah sakit. Doa-doa lirih mengalir dari hatiku sepanjang perjalanan, memohon agar semua berjalan lancar. Malam itu menjadi awal dari sebuah babak baru dalam hidupku,babak sebagai seorang ayah.
Saat malam itu berlangsung dengan begitu mencekam, di tengah kesunyian jalan yang seakan hanya diterangi oleh cahaya redup lampu jalan, aku mengemudi dengan cemas, pikiranku dipenuhi harapan dan doa-doa untuk keselamatan Aisyah serta bayi yang ada dalam kandungannya. Namun, tanpa peringatan, sebuah bayangan melintas dengan cepat di depan kendaraan, menyebabkan refleksku untuk menginjak rem mendadak, sehingga mobil berhenti mendadak di tengah jalan yang lengang itu.
Aisyah, meskipun sedang menahan rasa sakit yang tampaknya semakin tak tertahankan, menatapku dengan sorot mata yang dipenuhi tanya,bibirnya yang pucat membuka sedikit, lalu ia bertanya dengan suara lirih namun terdengar jelas di telingaku, "Ada apa, Mas? Apa yang barusan terjadi?"
Aku, yang masih memegang setir dengan kedua tangan sedikit gemetar, mencoba meredakan kegugupan di dadaku dengan suara yang sengaja aku buat setenang mungkin, aku menjawab, "Ora ono opo-opo (Tidak apa-apa), Sayang, mungkin mripatku (penglihatanku) sedikit terganggu atau aku terlalu tegang, hingga seolah-olah ada sesuatu yang melintas." Meski aku berkata demikian, hatiku diliputi rasa penasaran bercampur cemas, karena bayangan itu, sekilas terlihat seperti sosok manusia namun terlalu cepat untuk bisa dipastikan wujudnya.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, aku menarik napas panjang, mencoba mengembalikan fokusku pada tugas penting malam itu, yakni membawa istriku ke rumah sakit. "Kita harus segera sampai, Aisyah," kataku, berusaha menyemangati diriku sendiri, sementara tangan kananku meraih tangan Aisyah yang terasa dingin, mencoba memberikan kehangatan dan kekuatan. Mesin mobil kembali aku nyalakan, dan perjalanan pun kulanjutkan, meski perasaan aneh yang sempat muncul akibat bayangan tadi terus menghantui pikiranku, aku berusaha keras untuk tidak membiarkan rasa takut atau firasat buruk menguasai diriku.
Namun, sepanjang sisa perjalanan, entah mengapa, suasana di luar kendaraan terasa berbeda, seakan-akan dunia di luar sana menjadi lebih sunyi dari sebelumnya, bahkan angin yang biasanya terdengar menderu pun seperti menghilang sama sekali. Lampu-lampu jalan yang tadinya terlihat terang dan memberi penerangan kini tampak berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan samar di kejauhan yang entah mengapa membuat bulu kudukku meremang. Aku berusaha keras mengabaikan semua itu, menguatkan hatiku untuk tetap fokus pada hal yang paling penting yaitu keselamatan Aisyah dan bayi kami.
"Aku ngeroso ora dewean iki (Aku merasa kita tidak sendiri), Mas," tiba-tiba Aisyah berkata dengan nada yang sulit dijelaskan, ada nada takut di sana, tapi juga terdengar seperti bisikan lirih dari seseorang yang mulai lelah namun mencoba tetap kuat. Aku menoleh sekilas ke arahnya, matanya yang biasanya penuh ketenangan kini tampak mengandung sesuatu yang lain, sesuatu yang aku tak mampu mengartikan. Aku hanya bisa menjawab dengan mengeratkan genggaman tangannya dan berkata dengan penuh keyakinan, "Aku di sini, Sayang. Aku akan menjaga kalian."
"Mas, air ketubanku mulai deras keluarnya... Aku wes ora kuat nahan (aku sudah tidak kuat menahannya)," ucap Aisyah dengan suara yang semakin melemah, wajahnya pucat, menahan rasa sakit yang kian intens.
Degup jantungku semakin cepat, seolah berpacu dengan waktu. Tanpa pikir panjang, aku mencoba menenangkan Aisyah sembari berkata, "Sayang, atur napas ya, kuatkan dirimu. Kita hampir sampai." Suaraku bergetar, tapi aku berusaha keras menyembunyikan kepanikan yang kian menguasai diriku.
Aku segera menancap gas, mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan yang seolah tak ada habisnya. Aku tahu bahwa detik-detik ini sangatlah berharga, satu momen bisa berarti segalanya.Di dalam mobil, Aisyah mulai menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit yang datang bergelombang seperti ombak besar.
Akhirnya, cahaya lampu rumah sakit mulai terlihat di kejauhan. Perasaan lega bercampur tegang membuncah di dadaku. "Kita sudah sampai, Sayang. Bertahan, ya!" Aku berkata dengan nada penuh harapan. Setibanya di depan ruang gawat darurat, aku memarkir mobil seadanya, lalu segera keluar dan berlari menuju pintu UGD.
"Dokter! Perawat! Tolong, istri saya mau melahirkan! Keadaannya darurat!" teriakku, mengabaikan rasa panik yang melanda. Seorang perawat segera bergegas keluar, diikuti oleh dua orang lainnya yang membawa kursi roda.
"Pak, tenang. Kami akan segera menangani. Di mana istri Anda?" tanya salah satu perawat dengan nada profesional, meski terlihat jelas bahwa mereka bergerak secepat mungkin.
"Saya di sini," terdengar suara lirih Aisyah dari dalam mobil, membuatku segera membuka pintu dan membantu mereka memindahkannya ke kursi roda. Ia menggenggam tanganku dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya. "Mas...aku ojo ditinggal (jangan tinggalkan aku)..." bisiknya dengan tatapan yang lemah tapi penuh harap.
Aku mengangguk dan menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku nang kene (Aku di sini), Sayang. Aku ora nang endi-endi (Aku tidak akan ke mana-mana)."
Perawat dan dokter segera membawa Aisyah masuk ke ruang bersalin, sementara aku berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Malam yang tadinya penuh harapan kini dipenuhi doa-doa yang tak henti aku ucapkan. Aku memejamkan mata, menggenggam tasbih kecil di saku celanaku, memohon kepada Allah agar semuanya berjalan lancar.
Namun, entah mengapa, di tengah kesunyian ruang tunggu, aku kembali teringat bayangan yang melintas di perjalanan tadi. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang mengusik pikiranku. Tapi aku segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. Fokusku saat ini hanya untuk Aisyah dan anak kami. Semoga mereka selamat...
Dalam kegelisahan menunggu kabar dari ruang bersalin, aku teringat bahwa ibu dan mertuaku pasti menanti kabar dari kami. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mencoba menelepon ibuku lebih dulu.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara lembut namun penuh kekhawatiran ibuku menjawab, "Halo, Putra? Onten menopo, Nak? Gek piye keadaaan e (Bagaimana keadaan) Aisyah?"
"Ibu, kami sedang di rumah sakit. Aisyah sedang dalam proses persalinan.(Nyuwun doa nipun Ibu sepados diparingi lancar (Mohon doa Ibu agar semuanya berjalan lancer)," ucapku, mencoba menenangkan nada suaraku meski hatiku masih dipenuhi kegelisahan.
"Subhanallah, Nak. Ibu akan terus mendoakan. Tetap kuat dan tenang ya, Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Bagaimana kondisi Aisyah sekarang?" tanya Ibu, suaranya terdengar lebih tenang namun penuh perhatian.
"Sakitnya sudah sangat kuat, Bu. Tapi Aisyah masih berusaha bertahan. Doakan kami, Bu..." jawabku sambil menghela napas panjang.
Setelah berbicara sejenak dengan ibu, aku segera menghubungi mertua. Nada sambung kedua ini membuatku semakin cemas; setiap detik terasa lama. Akhirnya, suara berat ayah mertua terdengar di ujung telepon.
"Assalamualaikum, Putra.Enten menopo dalu-dalu mengaten ? (Ada apa malam-malam begini?)" tanyanya, terdengar sedikit terkejut.
"Waalaikumsalam, Abah.Ngapunten ganggu dalu-dalu (Maaf mengganggu), kito sakmeniko dating rumah sakit (kami sedang di rumah sakit). Aisyah sudah mulai proses persalinan.Nyuwu doa nipun saking ( Mohon doa dari) Abah dan Umi agar semuanya berjalan lancar," kataku, mencoba berbicara sejelas mungkin.
"Astaghfirullah... Baik, Nak. Kami akan segera ke sana. Kau tetap di sisi Aisyah, jangan tinggalkan dia, ya," balasnya tegas namun penuh rasa khawatir.
"Insya Allah, Pak. Saya akan terus di sini. Terima kasih. Kami tunggu kedatangan Bapak dan Ibu," jawabku sebelum mengakhiri panggilan.
Setelah telepon itu, aku duduk kembali di kursi tunggu, mencoba menenangkan diri. Tapi bayang-bayang perjalanan tadi dan keanehan di malam itu terus menghantui pikiranku. Aku kembali menggumamkan doa dalam hati, "Ya Allah, lindungi istri dan anakku. Berikan kekuatan kepada kami untuk menghadapi ini".
Beberapa saat kemudian, pintu ruang persalinan terbuka, dan seorang dokter keluar menghampiriku. Wajahnya tampak tenang, namun matanya memancarkan keseriusan.
"Pak Putra?" tanyanya untuk memastikan.
"Ya, Dok," jawabku cepat sambil berdiri, jantungku berdetak lebih cepat.
"Istri Bapak sepertinya membutuhkan pendampingan. Apakah Bapak ingin masuk ke dalam ruang persalinan untuk menemani beliau?" tanya dokter itu dengan nada lembut, namun penuh pengertian.
Sejenak, aku terdiam. Perasaan gugup dan panik bercampur dengan keinginan kuat untuk mendampingi Aisyah di saat-saat penting ini. Aku mengangguk mantap. "Tentu, Dok. Saya akan menemani istri saya."
"Baik, Pak. Silakan masuk. Tapi mohon tetap tenang dan ikuti arahan kami, ya," ujarnya sambil mempersilakanku.
Aku mengikuti dokter masuk ke dalam ruang persalinan. Udara di dalam terasa berbeda, suasananya serius namun juga penuh harapan. Aisyah terbaring di ranjang, tubuhnya tampak lemah namun matanya mencoba mencari-cari sosokku. Ketika pandangan kami bertemu, aku melihat kilatan harapan bercampur rasa sakit di sana.
Aku segera mendekat dan menggenggam tangannya erat. "Aku di sini, Sayang. Aku tidak akan pergi ke mana-mana," bisikku, mencoba memberikan ketenangan.
Aisyah mengangguk pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Mas... tolong doakan aku... aku takut."
"Jangan takut, Sayang. Kita akan melewati ini bersama. Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja," jawabku, meskipun dalam hati aku juga berdoa tanpa henti.
Proses persalinan pun dimulai. Suara instruksi dokter dan perawat terdengar jelas, menyuruh Aisyah untuk terus mengatur napas dan mengejan dengan kekuatan yang tersisa. Aku hanya bisa terus menggenggam tangannya, memberikan dukungan, meski hatiku terasa seperti dihimpit batu melihat perjuangannya yang luar biasa.
"Sedikit lagi, Bu Aisyah! Ayo, semangat! Napas dalam, lalu dorong!" seru salah satu perawat.
Aku ikut berdoa dalam hati, "Ya Allah, berikan kekuatan kepada istriku. Lindungi dia dan anak kami". Dan di tengah ketegangan itu, aku tahu, malam ini adalah ujian sekaligus anugerah terbesar dalam hidupku.
Aisyah mengerahkan seluruh tenaganya, tubuhnya tampak gemetar, dan keringat mengucur deras di dahinya. Suara perawat dan dokter terdengar memandu, tapi semuanya seolah teredam oleh detak jantungku yang menggema di telingaku. Aku menggenggam tangannya lebih erat, berusaha memberikan kekuatan lewat genggaman itu.
"Napasss... napas panjang lagi, Bu Aisyah! Lalu dorong sekuat tenaga! Sedikit lagi!" seru dokter dengan nada penuh dorongan semangat.
Wajah Aisyah yang pucat menunjukkan perjuangan luar biasa. Aku bisa melihat betapa besar rasa sakit yang ia rasakan, tapi juga betapa kuat tekadnya. Ini bukan sekadar pertarungan fisik, ini adalah pertarungan hidup dan mati demi kelahiran buah cinta kami.
"Aku... aku bisa, Mas..." Aisyah berbisik di sela napasnya yang berat, matanya menatapku penuh keyakinan, meskipun tubuhnya tampak berada di ambang batas kekuatan.
"Iya, Sayang, kamu pasti bisa. Aku di sini bersamamu," jawabku, menahan air mata yang hampir tumpah. Aku tahu betapa besar pengorbanan yang ia lakukan malam ini, demi kehidupan baru yang akan lahir.
Aisyah kembali mengejan, mengeluarkan seluruh tenaga yang tersisa. Teriakan pendeknya memenuhi ruangan, bercampur dengan suara dukungan dari tim medis. Aku bisa merasakan genggamannya yang begitu erat, seolah-olah ia menggenggam hidupku sekaligus.
"Lagi, Bu! Dorong sedikit lagi, sudah dekat!" seru perawat dengan nada optimis.
Dan akhirnya, sebuah tangisan kecil memecah ketegangan di ruangan itu. Tangisan pertama yang begitu nyaring, seperti melodi indah yang langsung membuatku mengucap syukur dalam hati. Aku menoleh, melihat seorang bayi mungil dengan tubuh merah dan penuh kehidupan diangkat oleh dokter.
"Alhamdulillah, bayi perempuan. Sehat, kuat," ucap dokter dengan senyum hangat, sementara tim medis dengan sigap membersihkan dan memeriksa bayi kami.
Air mataku tak lagi bisa kutahan. Aku menatap Aisyah yang kini tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca. "Sayang... kamu luar biasa," ucapku dengan suara bergetar, mencium tangannya penuh rasa bangga.
"Mas... dia lahir... buah cinta kita..." bisiknya, sebelum tubuhnya tampak benar-benar lelah.
Aku mengangguk sambil tersenyum, menyeka air mata di pipiku. Di tengah perjuangan dan kelelahan, momen ini menjadi bukti bahwa cinta sejati mampu melewati ujian terberat. Anak kami lahir ke dunia dengan selamat, dan itu adalah anugerah terbesar yang pernah kami terima. "Alhamdulillah".
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan kembali terbuka, dan seorang perawat masuk dengan senyuman lembut, menggendong bayi mungil kami yang dibalut kain putih bersih. Bayi itu tampak tenang, matanya masih tertutup rapat, sementara suara napasnya terdengar lembut-tanda kehidupan baru yang hadir di dunia.
"Pak Putra dan Bu Aisyah, silakan bayi ini diadzani terlebih dahulu. Setelah itu, kami sarankan untuk segera diberikan ASI pertama," ucap perawat dengan nada ramah sambil mendekatkan bayi kami ke arahku.
Aku berdiri, jantungku berdegup kencang, penuh rasa haru. Dengan hati-hati, aku menyambut bayi kecil itu ke dalam pelukanku. Begitu lembut, begitu mungil, dan begitu sempurna. Air mataku kembali menggenang, tak mampu menahan rasa syukur yang begitu mendalam.
"Alhamdulillah... Subhanallah..." gumamku, memandang wajah bayi kami yang begitu polos. Lalu, aku menoleh ke arah Aisyah, yang meski tampak lelah, tersenyum dengan tatapan penuh cinta. "Sayang, terima kasih. Ini anugerah terbesar dari Allah," ucapku pelan, dan Aisyah hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
Aku mendekatkan bayi itu ke bibirku, mengucapkan adzan di telinga kanannya dengan suara pelan namun penuh keyakinan. "Allahu Akbar... Allahu Akbar..." Kalimat demi kalimat adzan mengalir dari bibirku, memenuhi ruangan dengan lantunan syahdu. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan, membasahi pipiku. Ini adalah momen yang tak pernah kusangka akan begitu menggetarkan hati.
Selesai mengadzani, aku menyerahkan bayi itu kepada Aisyah dengan hati-hati. "Sayang, ini... buah cinta kita. Berikan dia yang terbaik," kataku lembut. Aisyah menerima bayi itu dengan senyum penuh kebahagiaan. Meski tubuhnya masih lemah, tangannya yang gemetar menyentuh pipi mungil bayi kami dengan penuh kasih. Ia mulai menyusui bayi itu untuk pertama kalinya, memberikan ASI yang menjadi tanda ikatan cinta sejati antara ibu dan anak.
Aku duduk di sampingnya, memandangi mereka dengan hati yang penuh rasa syukur. Tepat adzan subuh berkumandang, cinta kami melahirkan kehidupan baru. Kehidupan yang akan menjadi cahaya dalam keluarga kecil kami.
Beberapa saat kemudian, seorang perawat masuk ke ruangan kami, tersenyum ramah sebelum dengan lembut membawa bayi kami untuk dimandikan dan diistirahatkan di ruang khusus bayi.
Putra menunduk, menatap Aisyah dengan mata yang penuh rasa syukur, lalu mengecup keningnya perlahan. Suaranya sedikit bergetar saat berkata, "Sayang, terima kasih. Kamu wanita yang sangat hebat."
Aisyah tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca, namun ada kehangatan yang terpancar dari sorotnya. Keheningan singkat menyelimuti ruangan, hanya terdengar langkah kaki perawat yang menjauh membawa harapan kecil kami.
Aku segera menghubungi Ibu dan Mertua untuk menyampaikan kabar gembira ini. Suara di ujung teleponku terdengar penuh harap saat aku berkata, "Bu, Aisyah dan bayi kami sudah lahir dengan selamat. Bayinya perempuan, cantik sekali, Bu."
Ada keheningan singkat sebelum aku mendengar suara tangis kecil dari Ibu, disusul tawa bahagia. "Alhamdulillah! Terima kasih ya, Nak. Kami akan segera ke rumah sakit."
Mertua pun tak kalah antusias, bertanya dengan suara penuh rasa penasaran, "Apakah dia mirip dengan Aisyah waktu kecil? Kami tidak sabar untuk bertemu cucu perempuan kami!"
Aku tersenyum, membayangkan wajah bahagia mereka yang sebentar lagi akan datang ke rumah sakit.
"Sayang, Ayah dan Ibu senang sekali dengan kelahiran cucunya," kataku sambil menggenggam tangan Aisyah dengan penuh kasih.
Mata Aisyah menatapku dengan lembut, masih terlihat lelah, tapi bibirnya melengkungkan senyuman kecil.
"Kita akan besarkan si cantik ini menjadi anak yang salehah," lanjutku, mataku menatap Aisyah penuh dengan rasa sayang. "Cerdas, hafal Quran, dan memiliki banyak kemampuan. Dia akan menjadi kebanggaan keluarga."
Kata-kataku terdengar penuh semangat, namun di dalam hati aku merasa ada tanggung jawab besar yang baru saja lahir bersama bayi kami. Aisyah tersenyum, matanya berkaca-kaca, lalu menjawab dengan suara pelan, "Insya Allah, dia pasti akan jadi seperti itu. Kita bimbing bersama."