arus ia hadapi setiap hari. Di tangannya, selembar surat peringatan berwarna merah terang terasa seperti bara api yang membakar. Tanggal jatuh tempo sudah lewat dua minggu,
ndirian, kini terancam akan "dijual" - sebuah eufemisme kejam untuk dipaksa bekerja di tempat
an halal yang Kartika tolak. Namun, penyakit paru-paru yang menggerogoti tubuhnya setahun terakhir telah merenggut tenaganya. Batuk-batuk yang semakin sering, napas yang memburu hanya dengan sedikit aktivitas, semua itu
pintu, bersandar pada kusen dengan napas terengah. Wajahnya pucat, lingkaran hitam di bawah matanya semakin pek
an pekerjaan." Tiara mencoba tersenyu
masalah ini, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Kita pasti menemukan jalan keluarnya." Nada suaranya penuh
tu semakin menumpuk. Mereka bilang, kalau besok tidak dibayar
menetes dari mata Kartika, membasahi bahu Tiara. Ini adalah pertama kalinya Tiara mel
arus ia lakukan? Semua tabungannya, hasil kerja serabutan dari menjadi pelayan kafe hingga penjaga toko kelontong, tidak cukup. Jumlahnya bahkan tak sampai sepe
Adrian adalah putra dari pemilik jaringan hotel mewah di kota itu, seorang pria yang jauh di atas "liganya", seperti yang selalu teman-teman Tiara katakan. Mereka bertemu beberapa kali secara tidak sengaja di kafe tempat Tiara bekerja dulu. Adrian selalu sopan, selalu member
di kafe, Adrian datang dan duduk di meja favoritnya. Sete
rus berkata apa, tapi... saya sangat tertarik padamu. Buka
diam, terkejut. Ia tak t
jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya akan melakukan apa pun yang saya bisa." Ia lalu meninggalkan kartu namanya, selembar kartu
berpikir untuk menghubungi Adrian. Namun kini, di ambang kehancuran, janji Adrian
Harga diri? Kehidupan ibunya jauh lebih berharga daripada harga dirinya yang remuk. Dengan tangan gemetar, Tiara meraih ponselnya, mencari kartu nama yang
ali sebelum sebuah suara berat, n
ama?" Suara Tiara serak
ujung telepon. "Ya,
enyebutkan nama lengkapnya, meski i
menelepon. Ada apa?" Ada nada antusiasme yang jelas dalam suara A
n sisa-sisa keberaniannya. "Adrian, sa
apa? Katakan saja. Di mana kamu
uimu besok. Di tempat yang tidak terlalu ram
sa kita bertemu? Jam sepuluh pagi?" A
menyetujui. "Teri
Sampai besok." Suara Adrian terdengar menenangkan, namun Tiara
Ia mencoba tampil serapi mungkin, meski hatinya terasa seperti kain yang baru saja diremas-remas. Ia meninggalkan ibunya yang masih
la, menyeruput kopi sambil membaca tablet. Ia mengenakan kemeja biru muda yang rapi dan celana bahan yang mahal. Aura kemewahan dan kepercayaan diri ter
gat merekah di wajahnya. "Tiara, kamu datang." Ia berdir
a pelan, matanya menghindari tatapan Adria
a tenggorokannya kering, kata-kata tercekat di lidahnya. Adrian menunggu den
a." Ia akhirnya mengangkat kepala, menatap mata Adrian yang teduh. "Rumah kami... akan disita besok. Dan ibu say
sama, raut wajahnya berubah se
palanya tertunduk lagi. Angka itu
satu setelan jasnya, atau bahkan kurang. Namun bagi Tiara, itu ada
juta, ya..." Ia terdiam sejenak, membuat Tiara semakin gelisah. A
lanya, menatap Tiara lurus di ma
n. Tiara mengangkat kepalanya, tatapan penuh hara
"Tentu saja. Tapi
menduga ini. Tidak ada makan siang gratis di
emua utangmu, Tiara. Tidak hanya tiga puluh juta itu, tapi semua yang membebani keluargamu.
a harapkan. Beban di pundaknya terasa sedikit terangk
ian, suaranya sedikit mengeras
enjadi kekasih? Atau... lebih dari itu? Otaknya berputar cepat, mencoba mencerna makna di balik kata-kata Adri
aku'?" Tiara memberanikan diri bert
u akan menyediakan semuanya untukmu. Pakaian, makanan, tempat tinggal yang nyaman. Kamu tidak perlu lagi
menjadi istri, bukan kekasih dalam arti romantis, melainkan... seorang wanita sim
encintaimu," Tiara berbisik,
ting. Yang penting, kamu bersedia. Kamu akan mendapatkan semua yang kamu butuhkan, dan ibumu akan
unya yang wajahnya semakin kurus, ibunya yang sebentar lagi bisa diusir dari rumahnya sendiri. Dibandingkan dengan penderitaan ibunya,
da
Ini adalah keputusan tersulit dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah segalanya. Ia aka
erbisik, suaranya
us, Tiara. Kamu membuat keputusan yang tepat. Aku akan mengurus semuanya hari ini juga. Kita akan langsung pergi ke notaggaman Adrian. Ia tahu, mulai saat ini, hidupnya tidak lagi menjadi miliknya sendiri.
apkan, berisi rincian "kesepakatan" mereka. Tiara membaca sekilas, namun otaknya terlalu kalut untuk mencerna setiap pasal. Yang ia pahami hanyalah bahwa ia akan menjadi tanggungan Adrian, dan s
uruhnya menunggu di mobil. Ia hanya menerima kabar dari Adrian melalui telepon bahwa semuanya su
t paling prestisius di Jakarta. Luas, modern, dengan pemandangan kota yang memukau. Jauh berbeda dengan
uhanmu di sini. Anggap saja ini rumahmu sendiri," kata Adrian d
mengangguk kaku
n. Nanti malam, kita akan makan malam bersama." Ia menepuk pundak Tiara lembut sebelu
egera menghampiri Tiara. "Non Tiara pasti lelah, mari say
risi penuh dengan pakaian-pakaian baru yang bukan gayanya sama sekali. Pakaian mahal, gaun-gaun cantik yang ia tahu tak akan pernah ia kenakan dengan nyaman
ehidupan barunya. Kehidupan yang telah ia pilih, demi ibunya. Namun, hatinya terasa begitu kosong. Apak
enyah sebelum penyakit itu datang. Ia merindukan dirinya yang dulu, Tiara Lestari, seorang gadis sederhana yang bermimpi bisa bekerja keras dan
an orang-orang di restoran itu terasa seperti sorotan lampu panggung, membuatnya ingin bersembunyi. Adrian tidak peduli. Ia terus berbicara tentang bisnisnya, tentang rencana
sofa, menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Tiara untuk duduk. Tiara duduk dengan c
lagi tentang apa pun. Hidupmu akan nyaman. Kamu bisa meminta apa pun yang kamu ingink
tannya terkoyak, bersamaan dengan tubuhnya yang tak berdaya. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir, dan berpegangan erat
miliki kebebasan. Ia jarang keluar dari apartemen, kecuali jika Adrian mengajaknya. Hidupnya berputar di sekitar Adrian. Ia harus se
pernah membentak. Namun, kebaikan Adrian terasa dingin, transaksional. Adrian tidak pernah bertanya tentang perasaannya, ten
, memastikan ibunya mendapatkan perawatan medis terbaik. Setiap kali ibunya bercerita tentang kesehatannya yang membaik, tentang senyum yang kembali merek
rindukan kebebasan, kemandirian. Ia merindukan pekerjaan sederhananya, meski gajinya pas
erah. Ia telah membangun dinding tebal di sekeliling hatinya, mencoba untuk tidak merasakan apa-apa. Ia selalu be
ham
pagi hari, nafsu makan yang berubah, dan perutnya yang mulai membesar. Ketakutan luar bias
depannya sendiri, dan yang paling menakutkan, masa depan bayinya. Ia tahu, Adrian adalah pria yang tidak terikat.
ang pilihan yang ia miliki. Aborsi? Gagasan itu membuatnya mual. Mengandung bayi ini sendir
drian pulang dengan wajah ceria yang tak biasa. Ia langsu
!" katanya, matanya berb
rian? Dengan siapa? Ia tak perlu bertanya. Ia sudah tahu. Itu pasti tunangannya, wanita yang
iara terdengar sep
i janji pada orang tuaku. Tunanganku, Clara, dia wanita yang baik. Pernika
ntara itu, Tiara merasa seperti dicampakkan ke dalam jurang yang gelap. Ini adalah saatnya. Adrian akan menghempaskannya bak kerta
u, Adrian?" Tiara memberanikan
entu saja, kamu tidak perlu khawatir, Tiara. Aku akan tetap memberimu dukungan finansial. Tapi, tentu saja, kamu tid
kata itu, seolah tak percaya. "Kembali ke mana? Aku tidak punya si
suaranya. "Kamu masih punya ibumu. Dan aku tetap akan menanggung biaya pengobatan ibumu. Aku sudah menepa
rga dirinya, merelakan masa depannya, semua demi sebuah janji yang kini terasa begitu kosong. Ia hanyalah wanita sim
uah dari pengorbanannya, kini terasa seperti beban yang tak terhingga. Bagaimana ia
belas kasihan lagi. Ia tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak lebih jauh. Ia akan pergi. Pergi sejauh
angan yang tak pernah Adrian lihat sebelumnya. Ta
n pergi. Dan aku tidak akan meminta apa pun darimu lagi. Kamu bisa meni
ngkin menyangka Tiara akan memohon, menangis, atau memaksak
n apa pun," potong Tiar
barangnya secepat mungkin. Hanya sedikit pakaian dan beberapa barang pribadi yang ia punya. Semua gaun mewah da
s sebuah pesan singkat di atas secarik kertas, m
. Jangan m
ke jalanan Jakarta yang hiruk pikuk, kini dengan beban baru di rahimnya, namun dengan tekad baja di hatinya. Ia tahu, ia harus berjuang. Demi dirin