namen mewah di seluruh aula resepsi hotel bintang lima itu. Gemuruh obrolan para tamu, dentingan sendok pada piring porselen, dan alunan musik klasik yang lemb
berpaling pada Aurora, sosok anggun di samping
rapi, menyisakan beberapa helai ikal lembut membingkai wajahnya yang dipulas riasan tipis, menonjolkan mata indahnya yang kini memancarkan keraguan sekaligus harapan. Ia mencoba tersenyum, ber
anya mulai diperhitungkan. Ia seharusnya merayakan setiap proyek besar yang ia selesaikan, menikmati kebebasan yang ia genggam erat setelah bertahun-tahun berjuang. Namun, kebebasan itu kini terenggut. Terenggut oleh
s di telinganya. Kalimat itu diucapkan dengan nada otoriter, tak terbantahkan, seolah nasib Adam hanyalah bidak catur dalam permai
ninya hingga tua. Kenangan tentang tawa Clara yang renyah, sentuhan tangannya yang lembut, janji-janji masa depan yang mereka rajut bersama. Semua lenyap dalam semalam, saat Adam menemukan Clara di pelukan pria lain, di apartemen mereka sendiri. Pengkhianatan itu merobek-robek jiwanya, m
lupa akan sakit hati, lupa akan kehampaan. Namun, Pak Dirgantara tidak pernah menerima penolakan. Pria tua itu menggunakan segala cara, bahkan ancaman untuk mencabut se
ncin di jari manisnya, berpasangan dengan wanita yang tak diken
ung, ia sudah bisa merasakan penolakan itu. Adam tak pernah menatapnya lama, tak pernah berbicara lebih dari sepatah dua pat
ku," Aurora memberanikan diri suatu malam, setelah makan malam formal dengan kel
ra, ini bukan tentang cinta semata. Ini tentang stabilitas bisnis, tentang masa depan kita. Keluarg
i atas segalanya. Dan perjodohan ini, meski menyakitkan, dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab itu. Aurora yang lembut, yang selalu patuh, akhirnya tak punya pilihan. Ia hanya bisa berdoa. Berdoa agar Adam, sang
tak ada bisikan manis seperti yang ia lihat di film-film romantis. Saat ijab kabul diucapkan, suaranya datar, tanpa emosi. Saat tiba waktunya bertukar cincin, tangann
k dadanya. Ia ingin menangis, berteriak, lari dari semua ini. Tapi ia tahu ia tidak bisa. Ia harus tetap ters
mpa. Adam tak pernah meninggalkannya sendirian di panggung, itu saja satu-satunya hal yang bisa ia
gan kelopak mawar di lantai, lilin beraroma, dan sebotol sampanye dingin di atas meja. Ini seharusnya menjadi malam yang indah,
. Ia melirik Adam, yang sudah melepas jasnya dan melonggarkan dasinya, berdiri di dekat jendela, menatap ke luar ko
t bergetar. Ia menunggu reaksi Adam, berharap ada respons, anggukan, atau bahka
mbiarkan air mata yang tertahan sejak tadi mengalir bebas. Di cermin, ia melihat pantulan dirinya yang rapuh. Ini bukan pernikaha
, Adam masih di posisi yang sama. Ia tidak bergerak, tidak me
" panggil
tak terbaca. Ada sesuatu yang keras, tak be
m ini," katanya, suaran
sa dihantam palu. I
dam, nada suaranya sedikit lebih tajam.
tapi ia tak menyangka penolakan itu akan sekejam ini. Di malam pernikahan merekantin..." Aurora mencoba me
litas. Kau tahu itu, aku tahu itu. Jangan berharap lebih. Aku tidak akan pernah menyentuhmu.
an akhirnya tumpah ruah. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ia tidak pernah memaksakan apa pun, bah
a, lalu masuk dan membantingnya tertutup, meninggalkan suara "klik" kunci yang memekakkan teling
redup, semuanya menjadi saksi bisu kehancuran hatinya. Rasa dingin merayap ke seluruh tubuhnya, bukan karena suhu ruangan, melainkan karena kesepian yang menusuk
a. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha mencari kehangatan yang tak ia dapatkan dari sang suami. Air mata terus mengalir, membasahi b
ntuhan kasih yang mengisi udara, melainkan kebisuan, air mata, dan rasa sakit y