seberapa tinggi, mungkin hanya lima meteran dari tanah datar di bawah s
nggir kebun cabai. Sebuah jamban sederhana, berdinding bilik bambu tanpa atap, yang tampak lapuk dimakan u
ncang ketika menyadari apa yang sedang berlangsung di sana. Dari posisi kami, terasa aman
karena keringat atau percikan air. Di belakangnya, Pak Sihab berdiri di belakangnya, selangkang lelaki tua itu menempel erat
arah belakang, sesuai gerakan keduanya yang maju mundur berlawannya. Pemandangan yang dalam seumu
bambu jamban yang berderit dan jeritan tonggeret dan serangga hutan lainnya.
seketika berubah mendebarkan sekaligus menggetarkan, membuat aku dan Dela hanya bisa saling berpandangan ta
diri menempel rapat dari belakang, tangan tuanya mencengkeram pinggang Shifa dengan kuat. Gerakan
rdengar lebih keras dan jelas, lalu disusul erangan berat yang kian menekan. Aku hanya bisa terus menelan ludah. Ada rasa
p sadar. Dari wajahnya, aku tahu ia sama terkejut antara takut, bingung, dan entah kenapa ada keterpakuan yang ta
tua itu kini jelas terlihat sepenuhnya dari arah samping. Bulu kudukku sedikit meremang karena bentuknya ya
dan memasukan ke dalam mulutnya. Gerakan kepalanya maju mundur begitu berani, begitu lepas dari ra
embantu batangnya masuk semakin dalam. Tak lam tubuh tuanya menegang, bahunya bergetar sepertinya menahan gelombang ya
ensasi menggigil yang membuat kakiku lemas, seakan ikut terseret dalam pusaran gairah yang mereka rasakan.
t, lalu melengkung ke depan dan belakang, sementara Shifa tetap melanjutkan hisapan dan ge
ah suara napas kami yang memburu, bercampur dengan eran
kami sama-sama gemetar, kaki kehilangan tenaga. Jalan kami se
a kami untuk datang ke tempat ini, hilang sirna. Len
onan. Kayu bakan untuk api unggun kecil sudah menggunung di tengah lapang
hat hantu?" Destri bersuara, nada bercand
a gue bilang juga apa, jangan sok jagoan! Ini h
bisa menjelaskan apa yang barusan kami lihat. Bukan hantu, bukan pula bayang
lonjoran, punggung menempel pada dinding kain, tubuh dan wajah m
sambet aja kalian!" katanya samb
san ngeliat Shifa sama P
" Tiara
engah keb
sung berseru kaget, spontan
gue meleset," Destri mendengu
si Dita. Eh, kok malah sama si Shifa? Jan
a aku salah lihat? Kan beda banget. Lagian si Dita
erah. "Sebenarnya bukan cuma Shifa yang m
kawin siri, gak terlalu heran sih," timpal Tiara d
mainnya, bikin iri aja," Dela sepertinya kagum pada keperk
ang banget nuduh Dita?" Dela mencondo
g juga tahu, siapa Dita. Kalau ada gosip atau s
. beda banget, kan? Kayak dari dunia lain. Kalau di
n napas, matanya membesar, suaranya bergetar sedikit. "Selama ini kita mik
banget, mungkin mikir dulu kalau di alam terbuka gitu, apalagi sore-sore. Mereka e
pilih mangsa," Tiara menimpali, nada suaranya pa
dan terlihat renta. Bahunya bungkuk, langkahnya berat, wajahny
bih dari lelaki muda di bawahnya. Batangnya... hitam, besar, panjang... bikin dada berdesi
arang gue jadi bener-bener penasaran sama Pak Sihab
eturunan Arab emang beda, Des... ukurannya spektakuler dan k
sedang menahan napas, membayangkan sesuatu yang gila, liar, dan mustah
yang tidak senonoh, justru harus menyaksikan sesuatu yang jauh lebih
n pelatihan pramuka. Semacam perpisahan, karena tahun depan, ka
yak bersantai, hanya empat guru yang menemani. Salah satunya Pak Sihab, yang kebetulan ber
h hari ini. Untungnya, Pak Sihab hanya mengajar di kelas satu, dan sebentar
g, bingung, dan sedikit takut. Semua terasa terlalu nyat
i pengalaman pert
*