ya pendirian, kini begitu saja menyerah pada takdir yang ditetapkan orang lain. Ia menerima pe
r dari penderitaan, urusan ekonomi. Dela pekerja keras, bukan tipe orang mengeluh dia sangat bersy
bah drastis: mungkin dia sedang menggendong anak orang lain, men
st, wajar, kalau aku, Dela juga sebagian tetangga tidak tahu kalau Alfian ternayat anaknya Pak Darma. Waktu di mobil Pak
terus menoleh ke sekeliling, waspada dengan kemungkinan bertemu Dela atau lebih menegangkan Alfian. Sebulan
as, napasku sesak seakan udara pun ikut berat. Tetangga bilang Dela baik-baik saja,
menutupi rasa bersalah dan luka yang nyata. Cinta yang
angan arah. Bau masakan dari dapur rumahnya terbawa angin sore, menusuk hidung, menimbulkan rasa sesak. Apakah De
ua kemungkinan itu. Bukan karena ingin Dela menderita, tapi karena aku ingin dunia jujur: menikah karena paksaan, bukan kare
ang kami hanya saling bertukar pandang, tanpa kata, saat melihat Dela di kejauhan, seolah kami sepakat untuk menjaga rah
ula ke warung Neng D
n napas. "Ke warung
eng Dela aja, sekalian n
up sahabatku, menutupi kisah lama. Dengan berat hati aku melangkah, melewati jem
gan. Tubuhnya lebih berisi, pipi tembam, pakaiannya rapi, jilbab kekinian. Ia cantik
nya begitu mat
tak ada jarak yang memisahkan kami. Ia menggamit lenganku, masih t
ang supaya terdengar meyakinkan. Tapi aku mengenal Dela.
gan bilang bahagia, oke? Aku tahu matamu, aku tahu hatimu.
t menahan sesuatu. Dunia berhenti sebentar, dua sahaba
u dikasih warung ini sama Pak Haji. kami saling usaha, saling bantu.
njukkan lahir dari sesuatu yang bisa ia genggam sendiri, bukan d
eh," katanya sambil menakar gula, menye
ni terasa sebagai garis pemisah dua dunia: Sebelum dan Sesudah Dela dij
naruh bungkusan gula di dapur. Bau masak
ya, Er?" tanya I
u," jawa
rol dulu ya," katanya s
a," j
atisan dari
kataku, menyerah
yum, matan
tu udah nemu jalannya. Hidup tuh kadang nggak perlu cinta-cintaan dulu bua
lanjutkan sambil
et suami mapan, punya banyak usaha, sekarang dia punya warung, hidupnya terjamin. Ca
erdiri, men
ng jalannya jelas, nggak nyusahin orang tua, bisa berdiri di kaki sendiri.
rtahan dan pura-pura bahagia.' Tapi mulutku diam. Tubuhku lelah. Seti
. Rasanya manis, tapi lidahku pahit - seperti hidup kami, selalu p
an sudah baik? Bagaimana mungkin musuh bebuyutanku tiba-tiba menjadi
g tidak tinggal serumah dengan Dela. Mereka hanya bertemu dalam acara
ng-orang yang dulu musuh atau sahabat tiba-tiba berubah peran dalam hidup kita, tanpa peringatan. Aku hanya bisa ber
gakakku ketemu di café kecil dekat sekolah. Kali ini suasananya j
katanya sambil menggaruk kepala, ekspresinya campur kaget dan geli. Aku yakin
er-bener jadi ibu tiriku, Er. Lagipula,
nyum tipis. Rasanya aneh sekaligus
n kita kembali normal." Alfian melanjutkan. "Maksu
Kita... nggak bisa. Pisah aja. Aku nggak bisa pacaran sama anak tiri sahabat
ya. Tapi aku bisa melihat dia mulai menerim
rasa sakit. Kami sepakat berpisah baik-baik, tanpa drama. Kali in
uat cari cewek di kampusmu," ucapku lirih saat menuntun Alfian ke
Cinta bukan masalah dekat atau jauh, Er. Cinta itu masalah hati.
penuh makna, mengguncang pertahanan yang sudah kubuat sekeras mungkin. Napasku
bku pelan, menunduk agar matany
prinsip... dan... persahabatan. Ak
Er... aku nggak maksud ngeganggu. Aku cuma pengin jujur. Aku nggak mau kamu
dalam, jantung masi
Aku cuma... nggak mau bikin kita berdua ribet, atau bikin o
tapi itu nggak mengubah rasa cinta dan perhatian aku
merasa lega sekaligus sediki
sin, dia menoleh lagi. "Kalau suatu hari nanti semuanya nor
pelan, menatap motor yang menunggu. Saat Alfian menghidupkan mesin dan pergi, aku tetap b
*
gi kita masuk bab yang j