ti minggu l
antungku sempat berbunga. Rasanya sudah lama kami ti
lelaki. Bukan Pak Darma. Bukan Alfian. Melainkan ku
cil, matanya berbinar. Bukan tatapan pelanggan dan kurir, tapi ta
ya ingin kumakan terasa hambar
terpaksa aku kembali m
r aku bisa melihat kemajuan Dela yang terkini. Sepertinya ibu punya niat t
ggung peritiwa kemarin saat aku melihatnya di kedai bakso bersama kurir itu, apalagi membahas Pak Darma, suaminya, Alfia
Dela langsung berkata padaku: "Er, titip warung dulu ya seben
u, ia melangkah ke ruma
anggal, namun aku terlanjur menerima amanah untuk
leringat dan kerudungnya agak miring. Sementara sang kurir itu pun sama, dan dia lupa merapika
Kok bisa Dela sebebas itu melakukan hubungan den
tipan ibu di warung Mang Gono. Aku ingin segera keluar dari keadaan yang tak
tiap kali Ibu menyuruhku belanja ke sana, aku selalu punya alasan
etiap kali mengingat wajahnya yang bersinar se
as motor bersama lelaki yang lain. Mereka tertawa, terlalu akrab, terl
suami yang baik, aku tahu itu. Tapi... apakah
, menilai sahabatku hanya dari
esakkan dada. Seolah setiap tawa Dela yang kulihat d
elesaikan PR. Pensil di tanganku bergerak m
ibu-ibu tetangga yang sedang mengobro
engankat jemuran. Obrolan mereka pun terdeng
a Bu Tarmi, suaranya pelan tapi penuh nada
nya kayak nggak diurus. Anak-anak Pak Darma yang ikut sama dia
cekatan, sopan, nurut sama orang tua, juga suami. Sekarang... lebih serin
aya-bapaknya Dela. Sepertinya ya gitu-gitu aja, nggak ada perubahan. Padah
tanganku gemetar. Jemuran yang kukibas terasa di
ku s
g benar. Tapi mendengarnya keluar dari mulut orang lain, terasa seperti jarum menu
menyimpan jemuran, ibu bercerit
sama rumah tangganya. Semoga aja nggak macem-macem," ucap ibu l
lipat baju, men
cari rezeki, nggak nyusahin orang tua." Nada suaraku te
amanya orang, Er, kalau berubah ya kelihatan. Du
li ini ibu mulai melihat sisi lain Dela. Sebentar lagi pasti giliranku
aku harus ikut merasa lega karena ternyata Dela juga manusia biasa y
ang mulai panas oleh pikiran yang berkelebat. Untuk pertama kalinya, aku takut kehilan
a menikah, aku pun tak melihat perubah
dah melupakan
nnya agar keluarganya ter
jika tak membawa kebah
semalaman jika ta
erkawinan
a sandiwara. Lantas untu
tung di kepalaku, memb
*
ba-tiba sebuah angkot berhenti di seberang jalan. Dela turun. Jilbabnya rapi, pa
unggu ojek, ya?" suaranya rian
kagum karena ia terlihat semakin percaya diri, cemburu e
Ia berdiri di dekatku, tapi ada jarak tak terlihat di antara k
. Sambil tetap mengetik,
ar lagi beres. La
k, menahan cemas ya
kemudian ia t
yuk! Dulu kan sering kamu yang
. Mungkin ini kesempatan
ua lelaki muda masuk. Mereka bukan kurir yang bia
," katanya bangga. "Mungkin nanti kamu juga bisa la
ela yang kukenal-suaranya seperti perempuan dew
i dan penuh energi. Dela tertawa l
lir cepat, akrab, dan setiap detik terasa se
n Fahmi sendirian, bisa nemenin
ara tercekat. "Aku
iga kalau Erina nggak b
terkekeh, "Main bertiga
, tapi ada sesuatu di balik nadanya
, langkahnya ringan. Bagiku, pemandangan itu seperti menonton seseorang yang
in dan suara mesin motor entah ke
ojek, ya, Neng?
. Baru sek
Neng Dela sekara
ku. "Ya kan udah
dingin mengusap pipiku, tap
kuningnya memantul di jalan basah. Tapi bukan Pak Darma yang ku
u yang menghantam ulu hati. Sejak kapan dia ada di sini?
hangat tapi menyakitkan. Namun motor Mang Yadi terus bergerak. Aku tak mungkin mendek
*