Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Hasrat Aneh Rahasiaku
Hasrat Aneh Rahasiaku

Hasrat Aneh Rahasiaku

5.0
19 Bab
606 Penayangan
Baca Sekarang

KHUSUS DEWASA Aku tak pernah menyangka, sebuah jendela bisa menjadi gerbang menuju dunia yang sama sekali berbeda. Di balik kaca itu, aku menyaksikan sesuatu yang seharusnya tak kulihat-ritual liar, tarian menggoda, dan rahasia kelam yang tersembunyi di balik wajah-wajah yang kukenal setiap hari. Dela, gadis tomboy yang selama ini tampak biasa, berubah menjadi pusat pusaran gairah yang mengguncang dunia kecilku. Pak RW, sosok terhormat di kampung, menunjukkan sisi yang tak pernah kuduga. Dan Rifan, tetangga yang kukira polos, ikut terjebak dalam badai itu. Aku hanya penonton. Pengintip yang tak berani masuk, tapi tak sanggup berpaling. Setiap malam, bayangan itu terus menghantui, menyalakan hasrat aneh yang tak bisa kupadamkan. Inilah kisah tentang keingintahuan, keterkejutan, dan rahasia hasrat yang perlahan menyeretku semakin jauh. Sampai kapan aku bisa menahan diri?

Konten

Bab 1 Hasrat 1

Aku menatap Alfian yang tiba-tiba muncul di pangkalan ojek, wajahnya setengah serius, setengah memelas.

"Er... dengerin aku dulu," suaranya tegas, mencoba menahan aku melangkah pergi.

Aku menepis tangannya kasar. "Lepasin! Aku gak mau dengerin apapun darimu, Alfian! Dasar cowok sok kegantengan!"

Alfian mencoba lagi mendekat, tapi Dela yang kebetulan sedang menunggu di sebelahku, langsung berdiri, wajahnya merah padam.

"Eh, lu mau apa sih, Alfian? Ngapain ganggu Erina?!" teriak Dela, suaranya menembus keramaian.

Alfian tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana. "Tenang dulu, Del... aku cuma mau jelasin..."

"JELASIN?! Dasar pengecut! Ngapain masih campurin urusan orang lain?! Lepasin Erina!" Dela mendekat, tinjunya hampir mengepal, matanya menyala penuh amarah.

Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku tahu Dela tak akan main-main kalau marah, tapi situasi ini makin memanas.

Alfian mencoba mundur, tapi langkahnya tersandung, dan secara refleks Dela mendorongnya. Alfian hampir jatuh, bersamaan dengan suara tertawa beberapa orang yang menonton adegan itu.

"Lu gila?!" bentak Alfian, bangkit dengan cepat.

"Lu pikir bisa seenaknya ganggu Erina?" Dela hampir berteriak, wajahnya merah padam.

Beberapa tukang ojek yang melihat situasi ini buru-buru maju. "Eh, eh... santai, santai! Jangan sampe ada yang kena! Lu, cowok, minggir sana!" seru salah seorang tukang ojek sambil meletakkan tangan di bahunya Alfian, menahan amarah Dela.

Aku berdiri di tengah, masih gemetar, napasku tersengal. "Del... tenang..." bisikku pelan, tapi Dela masih menatap Alfian penuh dendam.

Alfian mundur beberapa langkah, sadar kalau kalau Dela benar-benar bisa membuatnya nyaris celaka.

"Oke... oke... aku pergi dulu, Er... Nanti kita ngobrol baik-baik," katanya sambil menunduk, wajahnya merah menahan kesal.

Dela menepuk dadanya, napasnya masih tersengal. "Dasar cowok ngeselin... gue gak bakal biarin lu ganggu Erina lagi, ngerti?!"

Aku hanya bisa mengangguk, lega tapi tetap kaget. Tukang ojek menepuk bahu Dela, menenangkan suasana. "Udah, santai aja, Neng. Jangan sampe ada kejadian aneh," katanya sambil tersenyum.

Aku menoleh ke Dela, matanya masih menyala marah, tapi aku tahu... di situ, sahabatku benar-benar melindungiku, bahkan sampai nyaris bikin Alfian kena karma sendiri.

"Erina!" Tiba-tiba Dela membentak begitu keras sampai beberapa tukang ojek menoleh. "Gue udah bilang berkali-kali sama lu!"

Aku terkejut, tapi belum sempat bicara, Dela sudah melanjutkan makiannya dengan nada menggelegar.

"Jangan pernah deket-deket sama cowok brengsek itu lagi! Sok kaya, sok ganteng, egois. Udah tiga kali dia nyakitin lu, masih aja dikasih hati!"

Aku menelan ludah, bingung antara malu dan bersalah.

"Lu ngerti gak sih?" Dela terus mengomel, suaranya tak tertahankan. "Cowok kayak dia cuma mikirin diri sendiri. Lu bisa aja dilecehkan, dihina, atau disakitin terus, dan lu diem aja. Padahal... lu cantik, pintar, punya masa depan! Ngapain lu pertahankan cowok kayak gitu?"

Aku menunduk, tak mampu menjawab. Kata-katanya tajam, tapi aku tahu dia benar. Hati kecilku mengakui bahwa aku memang masih terseret dalam perasaan campur aduk terhadap Alfian.

Dela mendekat, menepuk bahuku dengan keras. "Erina! Dengerin gue baik-baik... jangan kasih ruang lagi buat dia masuk ke hidup lu. Lu bukan orang bodoh yang harus terus disakiti. Cowok seperti itu, bukan segalanya. Ingat itu!"

Aku menatapnya diam, dada berdebar. Rasanya ingin menangis sekaligus merasa lega.

"Janji ya, Er... mulai sekarang, jangan pernah kasih kesempatan lagi sama dia," Dela menekankan, suaranya berubah lembut tapi tetap tegas. "Aku bakal jagain kamu, tapi kamu juga harus bisa jaga diri sendiri."

Aku mengangguk pelan, merasakan kelegaan meski hati masih gemetar. Di pangkalan ojek itu, di bawah matahari sore yang hangat, aku mulai sadar bahwa mungkin sudah waktunya untuk benar-benar melepaskan Alfian dari hidupku.

Hari berikutnya, suasana sekolah terasa biasa saja. Aku baru saja sampai di kelas ketika terdengar suara riuh dari halaman. Mataku tanpa sengaja menangkap sosok Alfian yang berdiri di depan gerbang sekolah dengan almamater kampusnya, tampak ragu tapi jelas ingin berbicara.

Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya campur aduk, sebel, cemas, tapi juga sedikit lega karena aku sebenarnya sudah bisa memaafkan dia, meski malu untuk mengakuinya.

Tiba-tiba Dela muncul di sampingku, mata tajam menatap Alfian yang mulai melangkah mendekat.

"Erina... jangan konyol. Jangan gampang termakan rayuan cowok buaya model dia," bisiknya pelan tapi tegas.

Aku menoleh, ingin berkata, aku bisa menangani sendiri, tapi sebelum sempat bicara, Alfian sudah mendekat.

"Er... boleh kita bicara sebentar? Aku cuma mau minta maaf sama kamu, serius," suaranya terdengar tenang tapi jelas menahan kegugupan.

Aku menatapnya diam, menimbang apakah harus membalas dengan kata-kata. Hati kecilku sejak semalam sudah ingin mengatakan bahwa aku sudah memaafkan, tapi... Dela tidak akan membiarkannya begitu saja.

Dela melangkah di depan, tubuhnya membentuk penghalang. "Alfian, jangan harap gue bakal gampang terima lu begitu aja. Udah tiga kali lu nyakitin Erina, masih aja sok maaf-memaaf. Gue nggak mau liat lu deket-deket dia lagi!"

Alfian menunduk sebentar, menelan kata-kata. "Aku ngerti, Del... aku cuma mau buktiin kalau kali ini beda. Aku nggak bakal nyakitin Erina lagi. Aku janji."

Dela mendengus, wajahnya masih merah padam. "Janji? Janji itu nggak cukup, Alfian. Gue nggak peduli seberapa berubah lu. Gue yang jagain Erina, dan gue nggak akan rela ngeliat dia disakiti lagi sama lu. Paham?"

Aku menatap Dela, perasaan campur aduk. Aku hanya bisa diam, menunduk dan menahan senyum kecil yang mencoba muncul. Perasaan cinta masih ada, tapi Dela tidak akan begitu saja menerimanya.

Alfian narik napas panjang, seolah menerima kenyataan. Ia melangkah mundur, menatapku sebentar, lalu meninggalkan halaman sekolah dengan langkah pelan. Aku tak tahu di mana motornya diparkir.

Aku menoleh ke Dela. "Aku... sebenarnya bisa memaafkannya, Del," ucapku pelan.

"Gak Bisa!" bentak Dela.

"Sebenarnya kan gak sepenuhnya salah dia juga, Del."

Dela menepuk pundakku, wajahnya masih keras tapi suaranya mulai menurutn.

"Aku ngerti, Er. Tapi kita wajib beri pelajaran sama lelaki seperti Alfian, biar gak macem-macem lagi ke depannya. Aku nggak akan tinggal diam kalau dia nyakitin kamu lagi!"

Aku tersenyum tipis, hati sedikit lega tapi masih dihantui perasaan campur aduk. Hari itu, aku sadar bahwa kadang memaafkan seseorang lebih sulit daripada membenci-apalagi kalau sahabat terdekat sudah bersikap protektif seperti Dela.

Seusai sekolah, aku dan Dela berjalan menuju pangkalan ojek untuk pulang. Suasana sore itu hangat, tapi hatiku masih campur aduk. Aku mencoba bersikap tenang, tapi Dela berjalan dengan langkah cepat, matanya tajam menatap setiap orang di sekitar.

Tiba-tiba, dari arah gang kecil, Alfian muncul lagi. Matanya mencari-cariku, Ia melangkah mendekat, menahan senyum canggung.

"Er... aku cuma mau minta maaf, beneran. Bisa nggak kita ngobrol sebentar?" suaranya terdengar lembut.

Dela menoleh, wajahnya langsung merah padam, seakan api kecil berkobar.

"Ngapain lu datang lagi, Alfian? Gue udah bilang dari kemarin, jangan deket-deket Erina lagi! Gue nggak bakal terima lu gitu aja!" teriaknya, membuat beberapa tukang ojek kembali menoleh.

Alfian menunduk, mencoba tetap tenang. "Aku ngerti, Del... tapi aku cuma mau nunjukin kalau kali ini beda. Aku nggak bakal nyakitin Erina lagi, aku janji."

Ia tampak canggung. Aku menarik napas dalam-dalam. Dan sepertinya memang harus bicara langsung sama dia, empat mata.

"Al, kalau mau bicara empat mata, boleh," ucapku pelan.

"Kagak bisa! Gue mesti ikut!" potong Dela.

"Del, aku cuma bicara biasa, kok," leraiku.

"Oke, tapi gue harus liat. Jangan sampe dia ngerayu lu sendirian," katanya tegas sambil memelototi Alfian. Aku cuma mengangguk, setengah kesal tapi tahu sahabatku benar.

Aku dan Alfian duduk di bangku pinggir jalan kecil, sementara Dela memantau dari jarak lima meteran. Suasana agak sepi dari orang lalu-lalang. Wajah Alfian terlihat kecewa, tapi masih ada harapan di matanya. Aku menatapnya, berusaha tenang.

"Al... dengar ya." Aku mulai bicara pelan tapi tegas, "semua yang terjadi... sudahlah. Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu, tapi itu nggak berarti aku menerima kamu lagi. Aku nggak mau kita terus begini, saling menyakiti. Kita harus sudahi, baik-baik."

Alfian menelan ludah, menatapku penuh kecewa. "Er... tapi aku... aku masih..." katanya terhenti, seolah kata-kata itu berat keluar dari mulutnya.

Aku menggeleng, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku tahu. Tapi keputusan ini bukan emosi sesaat. Aku udah bulat. Kita putus, tapi biarlah tetap baik-baik. Jangan ada yang tersisa buat sakit hati lagi."

Dela duduk di gelisah, matanya tajam memperhatikan Alfian. Aku tahu, dia sedang memastikan aku aman dan tak terbujuk rayuanya.

Alfian menunduk lama, menahan kecewa. Akhirnya, ia menghela napas berat.

"Oke... Er, kalau itu keputusanmu... aku terima. Tapi aku harap kamu jangan ambil keputusan karena terpaksa atau tekanan orang lain. aku tahu kamu masih cinta sama aku."

Aku menatapnya sebentar, tersenyum tipis, walau hati masih campur aduk.

"Itu keputusan murni aku, Al. Terima kasih atas segalanya, semoga kita bisa jalan masing-masing dengan tenang."

Sebenarnya, aku dan Alfian belum lama jadian. Bahkan belum mengenal keluarga atau latar belakangnya, begitu juga sebaliknya. Selama ini kami hanya bertemu di luar, sekadar jalan atau ngobrol di kafe kecil langganan.

Alfian mengaku kuliah tingkat satu, kost, berasal dari luar Jawa. Dari sikap dan penampilannya terkesan anak orang berkecukupan, tapi rendah hati dan tidak sombong. Romantis, penuh perhatian, selalu membuatku merasa istimewa.

Dalam tiga kali keributan yang kami alami, Alfian tak sepenuhnya salah. Banyak cewek yang menyukainya, dan dia, mungkin terlalu baik untuk bisa menolak mereka dengan tegas. Sementara aku terlalu cemburuan.

Tapi sudahlah. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk sekarang. Aku sudah memaafkan, sudah menyelesaikan semuanya dengan baik, tinggal instrospeksi diri. Kalau memang jodoh, tak akan lari kemana. Kalau pun tidak, aku masih bisa melupakannya pelan-pelan.

"Lusa kamu jadi kan ikut kemping?" tanya Dela sebelum kami naik angkot. Aku hanya mengangguk pelan,

^*^

Dalam novel ini akan ditemukan bab-bab yang tak biasa, nyaris tak pernah diangkat oleh penulis lain.

Selamat membaca dan berpetualang dalam kisah yang mencengangkan

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 19 Hasrat 19   09-24 18:31
img
img
Bab 1 Hasrat 1
14/09/2025
Bab 2 Hasrat 2
14/09/2025
Bab 3 Hasrat 3
14/09/2025
Bab 4 Hasrat 4
14/09/2025
Bab 5 Hasrat 5
14/09/2025
Bab 6 Hasrat 6
14/09/2025
Bab 7 Hasrat 7
14/09/2025
Bab 8 Hasrat 8
14/09/2025
Bab 9 Hasrat 9
14/09/2025
Bab 10 Hasrat 10
14/09/2025
Bab 11 Hasrat 11
14/09/2025
Bab 12 Hasrat 12
14/09/2025
Bab 13 Hasrat 13
14/09/2025
Bab 14 Hasrat 14
14/09/2025
Bab 15 Hasrat 15
15/09/2025
Bab 16 Hasrat 16
15/09/2025
Bab 17 Hasrat 17
15/09/2025
Bab 18 Hasrat 18
15/09/2025
Bab 19 Hasrat 19
15/09/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY