, berkelip seperti bintang. Aroma sate terbakar di atas arang bercampur dengan wangi melati yang digantun
di kondangan. Ia menunduk sebentar, merapikan kemejanya, lalu tersenyum sekilas ke arahku. Senyum
seseorang mem
e
rapi. Sekilas, ia tampak seperti Dela yang dulu, sahabatku yang hangat.
gku me
n. Tak duduk di bangku utama, mereka memilih sudut yang sedikit terpisah.
u, itu seperti d
aman. Seperti pasangan muda yang baru belajar datang ke pesta bersa
nya menunduk pada piringnya, Alfian tampak sibuk memotong sate. Tak ada
uanya seperti menjauh, teredam. Yang tersisa hanya pemandangan itu: sahabatku da
rasa marah, sedih, cemb
k sadar betapa kalut isi kepalaku. Tapi senyum itu hambar, hany
ela jalan sama Pak Darma, ya?" bisik Rik
ja. Kan sama Alfian. Toh tetap a
khir ini aku sering lihat dia yang ngan
g tak seorang pun di kampung ini tah
s yang merayap di dada. "Husss, jangan suka gosip
h mengalun riang. Tapi di kepalaku, suara itu terasa
hampir kosong. Alfian condong sedikit ke arahnya
i berbisik, suara
anak sama i
rip sepasang kekasi
usuk telingaku lebih ker
ri-jari terasa dingin. Lina menepuk lenganku pelan. "Udah,
enyum. Tapi mata ini tak bis
ela. Dan Dela... senyum itu. Senyum yang dulu serin
u tahu betul bagaimana ia memandang ketika menyayangi seseorang. Dan mal
al
an. Tapi kakiku seakan menempel di tanah, hanya mampu d
dari tenda. Kursi terbatas, kasihan melih
enyum yang biasanya selalu ia berikan padaku sejak kecil. Senyum yan
ku s
an pernah merajut kasih, walau hanya sebentar, dan berpisah baik-b
sik dangdut koplo menggema, lampu sorot berputar meman
pa yang naksir siapa, rencana jalan-jalan setelah panen, gosip sabung
mencari-cari mereka. Di sela kerumunan, aku masih bisa melihat pungg
n
buru. Tapi mengapa, j
ia yang tak bisa kusentuh. Dunia yang dulu mungkin pernah hampir menjadi milikku
MP. Kami berjalan santai, beriringan di jalan kampung yang mulai lengang
ia berjalan lebih lambat, seakan ingin memperpanjang waktu pulang. Ada sesuatu yang menenangka
-tiba, "ada yang an
gan. "Ah, nggak ada. Biasa aja. Wajar seka
ke toko tempatku kerja. Nah, sekarang selalu sama Alfian diantern
ruh di dada. Ingin rasanya melarang Irfan membi
liatan kayak ibu da
ng hanya diterangi bulan setengah. Rasanya ucapan itu memukul
arma malah kaya ayah dan anak gadisnya," ka
enjawab pende
seperti lampu rumah warga yang padam
sembilan loh," tanya Irfan lagi, nadanya
e mana lagi, Fan?"
mpung ada hiburan. Kamu
dah pulang. Tapi aku juga takut jika benar mereka masih di sana. Suara musik dari
kekar, gaya bicaranya kalem dan terkesan sangat nyantri-walau jelas bukan ustaz. Ada sesu
n setengah langkah di depanku, tubuh tegap dan beraroma har
sosok Dela dan Alfian. Pakaian mereka sama seperti di te
fian, ya? Mau ke mana
ak mengikuti dari jarak aman. Jalan kampung sepi, diapit kebun pisang, hanya suara serangga dan
fian berbelok ke jalan setapak jalan s
pucat, Alfian meraih bahu Dela. Tubuh mereka mendekat. Dan dalam
ganku spontan menutup mulut, menahanat, seolah berkata tanpa suara: "Er
seakan runtuh di hadapanku. Dela, teman masa kecilku, yang dulu kugenggam tangannya di
atau menangis. Malam itu, di bawah ca
n langkah, dan ak
Kita lihat sampai mana?"
takut keta
elingaku. "Kalau orang lagi kasmaran, biasanya lupa diri,
menyeretku lebih dalam ke sesuatu yang tak ingin kulihat. Jalan setapak makin sempit, udara malam makin menusuk kuli
*
lanjutnya jika tidak siap mental menda