AN
sudah berdiri tegang. Di depan rumah Pak Jaya, Andri berdiri dengan bambu di tangan, wajah merah pa
e? Menghancurkan hubungan gue sama Dela y
uh. Pak Jaya hanya diam, wajah pucat. Tetangga mulai ber
r Dela barang yang bisa dijual-belikan, Jaya?!" s
. harus nurut keluargaku, Ndri
AN
a berteriak mencoba melerai. Bang Karta maju, mene
pemuda akhirnya menarik keduanya menjauh. Suasana p
Kalian pikir bisa seenaknya hancurin gue begitu aja?!" Ia men
sik, ada yang menyalahkan Andri karena malas bekerja, ada pula yang mencibi
hkan dengan Bandot tua itu. Aku segera masuk kamar dengan
uan, harusnya tungg
k kuat, pengen segera belah duren lagi
a, makanya dipaksa,"
kini terasa nyata. Sahabatku sejatiku terjebak di pusaran
kuanggap manis, kini berubah jadi panggung getir orang d
u segera menemui Dela di rumahnya yang h
Er..." suara Dela pecah, tu
usin. Aku dijodoh
memb
nggup kami ucapkan di kamar sempit dengan cat tembok yang mengelupa
ku cuma bikin malu kalau terus sekolah. Aku
selalu jadi keputusan orang lain
ganya, "Del, kamu bukan beban. Kamu berhak b
i bahuku, berat, seaka
mpuh, mengenakan kebaya hijau pucat, senyum tipis dipaksakan menghiasi bibir yang semalaman basah oleiri. Tapi di samping Pak Darma, ada tiga anaknya duduk menonton sambil menunduk dengan nuansa hamba
emu, dan seketika dunia rasanya berhenti berputar. Itu Alfian? Man
erasa kaku, tak mampu
ak bisa lepas dari Alfian. Bagaimana bisa dia duduk di sa
an seolah musuh bebuyutan, demi membelaku. Sekarang... dia menikah den
langkah pergi. Tapi kaki ini terasa b
rnya terjadi di
tau memang sesuatu yang Dela
kuketahui setelah sebulan kami t
i di tepi jurang. Takut jatuh tapi tak bisa bergerak. Semua yang kukira sangat kenalpi aku seolah berada di ruang hampa, dunia berhenti berputar. Suara ta
latan yang sulit kubaca, Malu? Bingung? Atau sama terkejutnya dengank
tar menahan canggung. Aku ingin berlari, bertanya, atau menjerit aga
nal seakan runtuh dalam sekejap. Bagaimana aku bisa mengatur napas,
t, tidak ada senyum tipis yang kuberikan. Dunia di sekelilingku tetap ramai, t
pan kosong Alfian, wajah arogan Pak Darma, dan mata kedua orang tua Dela yang pasrah
e ruang tamu rumahku, wajahnya masih berse
Kenapa nggak ngucapin selamat sama Neng Dela?" tanya
ab sepatah kata pun. Kata-kata tersangkut di tenggo
, seolah tak menyad
banget pilihannya. Dan anaknya yang paling gede, namanya Alfian, sopan, santun, t
untung pokoknya Neng Dela, lepas dari si Andri dapat Pak Darma," kata ib
Dela harus merelakan sekolahnya,
puan itu sebenarnya kan cuma jadi tempat menunggu sampai jodoh datang. Setinggi-tingginya sekolah, perempuan
in ia bicara, semakin jelas aku merasa dunia ini ngeselin-seolah semua aturan dibuat untuk perempuan seperti
iasa. Dia mantan pacarku yang baru sebulan lalu. Dan untuk Dela... Alfian s
unia terasa aneh, tidak masuk akal, dan aku hanya bisa diam, menyembu
nasaran. "Rin... kenapa langsung pulang? Padahal sebagai sahabat, mest
enjawab seadanya, "Ah... nggak apa-apa, Pak.
nyesalkan, tapi nada suaranya b
ebih memperhatikan Pak Darma dan anak-anak tirinya. Padahal dia
erlalu banyak rasa campur aduk: kaget, cemas, dan... sedikit kesal. Bagaimana mungkin s
pkan apa yang sebenarnya aku rasakan, bahwa semua ini terlal
benarnya. Semalam aku tak tidur, menemani Dela menangis, menyaksikan semua y
, hati masih berdegup cepat. Begitu pintu tertutup, aku membiarkan tubuhku jatuh di r
yang pernah terjadi diantara kami. Aku menarik selimut menutupi diri, menco
an jadi korba
*