esar, sunyi, hanya lampu bohlam kuning di teras yang bergoyang ditiup angin. Dari ke
pelan-pelan seperti pencuri. Jantungku berdegup b
celah yang tembus cahaya dari dalam. Irfan memiringkan tubuhnya, mengintip terlebih d
an. Tubuhku gemetar dan Irfan menoleh padaku,
rlalu jelas. Seperti ada yang menghantam
iar kamu yakin?" bisik Irfan
a lemas, tapi kepala
lah papan yang lebih lebar. Udara malam terasa semakin dingin, tapi punggungku berkeringat. Kedua tanga
et tubuh mereka. Dela duduk di pangkuan Alfian. Gerakan mereka lambat tapi intim. Lalu
r menjerit jika saja tangan Irfa
g," bisiknya pelan,
adi saksi. Hatiku perih, seperti ditusuk seribu duri. Aku mundur satu langkah, menahan
i diperas. Aku mendekat lagi, menempelkan mata pada celah
ampak begitu jelas, seakan ingin menaklukkan siapapun yang berada di hadapannya. Dengan batang jantan yang tampak be
tang lelaki muda secara langsung dalam keadaan tegang dan jarak cukup dekat. Tak bisa menahan campuran perasaa
hatnya, hal itu bisa dilihat dari reaksinya yang langsung menjukurkan tang
mundur berlawana. Sambil berjongkok, Dela pun sepertinya memainkan lobang pibadinya dengan
kali mencium pipiku. Kini nyata di hadapanku, telanjang bulat, berani dan bebas melak
u tak pernah membayangkan ia bisa seintim dan seliar itu
membuat mereka sadar. Irfan menatapku, wajahnya serius, seakan meminta aku mu
g kubagi bersama Alfian dulu. Betapa polosnya aku, namun aku pun beruntun
gan. Irfan menarikku menjauh, suaranya tegas namun berb
it, namun panas merambat ke seluruh tubuhk
a di mataku, tapi juga menghancurkan sisa ken
mana sekarang?" bisik Irfan, suaranya s
i diikat tali. Perut mual, kepala pening, langkahku terhuyung. Irfan b
kebun pisang yang berbisik-bisik tertiup angin. Jantungku berdegu
nggiran kebun becek. Napasku memburu. Irfan berjongkok
u... kayak mau pingsan, Fan. Apa ta
Aku juga lihat sendiri. Astaghfirullah..." I
t. "Dela... kenapa harus dengan A
gak habis pikir, Er. Tapi tadi kita lihat se
luar. "Terus kita harus gimana, Fan?
arangan. Kalau bocor, bisa hancur satu kampung. Nama Dela, P
gin malam teras
pura-pura nggak lihat. Demi kebaika
a ketakutan, ada rahasia yang tak akan
"Baiklah... tapi aku nggak
ergetar. Irfan berjalan rapat di sisiku, ses
panas, pipiku bersemu merah, bukan hanya karena shock, tapi karena kehadirannya yang
nya. Tapi aku bisa merasakan len
nya serak, ny
lan, hampir takut mend
rbeda. "Aku... nggak ngerti, tapi habis lihat sesuatu
ku berdentum kencang
an. Aku takut salah paham," sua
ci dari wajahku. "Aku nggak salah paham, Er. Kam
Fan... jangan bikin aku makin bingung
tubuhku butuh sandaran. Jalan setapak begitu sepi, ha
rasa takut. Dalam hati aku pun merasakan sesuatu yang sama, aneh memang - ben
au Alfian bisa melakukan
suaranya
mm
ak tahan
Napasku tercekat. Ma
tanya, bibirnya m
a jangkrik, tak ada angin. Hanya detak jantungku yang memekakkan telinga. Bibi
ung jari ke seluruh tubuh. Genggaman Irfan di lenganku bergeser menjadi pelukan, menarikku lebih dekat hingg
inta pertamaku, tetapi dengan Irfan, tetangga seka
lahan, seakan tubuhku tahu sendiri apa yang harus dilakukan, aku mulai menggerakkan bibirku me
pipiku. Tangan kirinya berpindah ke pi
merasa sudah pandai melakukannya. Mungkinkah Irfan sudah terbiasa? Ada sensasi yan
menarik napas, keningku bersandar di dadanya.
raku nyaris
inggangku. "Aku... nggak mau nyesel mala
tatapan. "Tapi kita u
. Aku merasa tidak hanya sebagai saksi sebuah
angannya. Aku tercekat. Jantungku serasa copot, napas tercekat di tenggorokan. Batang itu hangat, tegan
k Irfan. Dunia seakan berguncang di bawah kakiku. Tubuhku bergetar, bukan hanya karena takut, t
uaraku nya
. "Aku juga nggak ngerti kenapa, Er
*