Daniel mengerutkan kening dan dia menatap Clara dengan ragu. Untuk sesaat, dia bertanya-tanya apakah dia salah dengar.
Saat itu, Evelyn berteriak, "Bercerai? Terima kasih Tuhan, silakan ceraikan dia. Ayo cepat! Jika bukan karena permintaan terakhir Paskal, Daniel tidak akan pernah menikah denganmu. Aku tidak tahu kenapa Paskal menyukaimu sejak awal. Lihat dirimu. Kamu tidak pantas menjadi bagian dari Keluarga Sudarsa. Kamu hanya membawa sial dan nasib buruk bagi kami. Daniel seharusnya menceraikanmu dari dulu. Beraninya kamu meminta cerai? Tidak tahu malu!"
Sebuah cibiran meringkuk di sudut mulut Clara.
Clara bisa menikah dengan Daniel hanya karena Paskal Sudarsa, mendiang ayah Daniel, merasa berterima kasih padanya. Dia meminta putranya untuk menikahi Clara sebelum dia meninggal, tetapi Daniel tidak setuju. Dia tidak pernah ingin menikahinya.
Clara dengan cepat berbalik dan pergi. Jika dia tinggal di sana lebih lama, itu hanya akan membuatnya semakin muak.
Tidak ada yang menghentikannya untuk pergi. Dia hanya mendengar Evelyn memaki di belakangnya.
Pintu bangsal hanya berjarak beberapa langkah, tetapi Clara merasa jaraknya sangat jauh darinya. Kakinya terasa semakin berat, tetapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di hadapan orang-orang ini.
Saat dia akhirnya keluar dari rumah sakit, dia tidak bisa menahan air matanya lagi.
Butuh tiga tahun baginya untuk menyadari betapa salah dirinya. Clara menyesal telah menyia-nyiakan tiga tahun yang berharga untuk mencoba memenangkan hati Daniel.
Embusan angin dingin menerpa Clara, membuatnya menggigil. Dia tersandung di jalan.
Rasa sakit luar biasa melonjak di lengannya, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya.
Clara merasa pusing, dan pandangannya menjadi semakin kabur. Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
"Aku memutuskan untuk bercerai ...."
Suaranya pecah ketika dia berbicara. Clara tersedak dengan isak tangis. Dia tidak tahu apakah orang di ujung telepon itu mendengarnya atau tidak.
Tiba-tiba, dia merasa dunia seakan berputar, dan dia pingsan.
Beberapa saat kemudian, raungan yang memekakkan telinga bergema di udara. Sebuah helikopter mendarat beberapa meter dari Clara.
Pintu kabin terbuka. Seorang pria berjalan keluar dan bergegas menghampiri Clara. Dia mengangkat Clara ke dalam pelukannya dan menatapnya dengan kasihan.
"Gadis bodoh, kamu akhirnya memutuskan untuk kembali."
Sesaat kemudian, helikopter itu menderu dan terbang menjauh, dan jalanan kembali sunyi.
Sementara itu, Evelyn terus berteriak dan menghina Clara. "Beraninya wanita murahan itu meminta cerai? Banyak wanita yang sangat ingin menikah dengan Keluarga Sudarsa. Dia pikir siapa dirinya? Angkuh sekali! Ya ampun, aku sangat membencinya!"
"Apa Ibu sudah selesai?" tanya Daniel, menatap kesal pada Evelyn.
Tersinggung oleh pertanyaannya, Evelyn menyilangkan tangan di dadanya dan memalingkan wajahnya dengan dingin.
"Kak, antar Ibu pulang. Ibu perlu beristirahat," ucap Daniel dengan dingin.
"Oke."
Betty langsung berdiri, mengambil tasnya, dan pergi bersama Evelyn.
Setelah keduanya pergi, hanya Daniel dan Siska yang berada di bangsal.
Siska sedang duduk di tempat tidur, menundukkan kepalanya, dan menggigit bibirnya.
"Kenapa kamu berbohong?"
Siska menatap pria itu, air mata mengalir di pipinya. "Aku takut kamu akan meninggalkanku. Aku tidak bermaksud menipumu. Daniel, aku sangat takut. Aku masih ingin menjadi seorang aktris. Aku tidak bisa masuk penjara. Jika semuanya terungkap, karierku akan berakhir."
Dia mengulurkan tangan dan meraih lengan baju Daniel. "Daniel, percayalah padaku. Aku sedang linglung saat itu. Aku ingin mati tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku sedang mengandung bayi kita. Daniel, jika kamu tidak menginginkan bayi ini, aku mengerti. Aku akan mengakhiri semua hubungan denganmu dan membesarkan anak ini sendirian."
"Cukup!" geram Daniel.
Siska tersentak kaget. Bibirnya gemetar ketakutan. Mata Daniel berkobar karena marah seolah dia bisa membaca pikirannya.
Sebenarnya, tidak ada yang terjadi di antara mereka malam itu. Siska takut Daniel akan mengetahui kebenaran itu. Dia dengan cepat menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapannya.
Melihat ekspresi sedih di wajah Siska, Daniel menutup matanya dan menghela napas.
"Dengar, aku mabuk di hari itu. Aku tidak ingat apa yang terjadi. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab untuk merawat bayi itu ketika dia lahir. Ada pekerjaan penting yang harus kulakukan sekarang. Beristirahatlah dengan baik."
Setelah mengatakan itu, Daniel menarik lengannya dari pegangan Siska dan meninggalkan bangsal.