Aileen menggigit bibirnya, mencoba menahan keluhan yang hampir keluar. Ia tahu suaminya bukan tipe pria yang terlalu peduli dengan penampilan. Tapi ini bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah acara keluarga besar yang akan dihadiri oleh orang tua dan saudara-saudaranya.
Orang tua Aileen memang tak pernah menyukai Arka. Sejak awal, mereka menganggap Arka tidak pantas menjadi suaminya. Ia hanya seorang pria biasa yang bekerja serabutan dan tidak punya penghasilan tetap. Berkali-kali mereka meminta Aileen menceraikannya dan menikah dengan pria lain yang lebih mapan, tetapi Aileen menolak. Namun, akhir-akhir ini, ia mulai goyah.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Arka, berdiri dan merapikan kerah kemejanya seadanya.
Aileen menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
---
Setibanya di rumah orang tuanya, Aileen langsung merasakan tatapan tajam dari keluarganya. Ibunya, Ny. Sandra, yang selalu tampil elegan dengan pakaian mahal, memandang Arka dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik.
"Kalian datang juga," ucapnya datar.
"Selamat malam, Tante," sapa Arka sopan.
Ny. Sandra hanya mendengus kecil tanpa membalas sapaan itu.
Di ruang makan, anggota keluarga lainnya sudah berkumpul. Kakak Aileen, Jessica, duduk di samping suaminya, Evan, seorang pria mapan yang bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan besar. Jessica menatap Arka dengan senyum mengejek.
"Aku pikir kalian tidak akan datang," katanya dengan nada sinis.
Aileen duduk di kursinya dengan canggung, sementara Arka tetap tersenyum seolah tidak menyadari suasana dingin yang menyelimuti ruangan itu.
Makanan mulai disajikan. Ayah Aileen, Tn. Handoko, duduk di kursi utama dan menyesap anggurnya sebelum menatap Arka dengan tatapan tajam.
"Arka," panggilnya.
"Ya, Om?" Arka menjawab dengan sopan.
"Apa pekerjaanmu sekarang?"
Pertanyaan itu langsung membuat suasana meja makan semakin tegang.
Arka tetap tersenyum tenang. "Saya masih bekerja serabutan, Om."
Jessica tertawa kecil. "Astaga, sudah tiga tahun menikah, tapi masih saja kerja serabutan?"
Evan menambahkan, "Harusnya kamu lebih serius dalam mencari pekerjaan, Arka. Tidak kasihan dengan Aileen? Selama ini dia pasti yang menanggung hidup kalian, kan?"
Aileen menunduk, merasa malu. Ia tahu percakapan ini akan terjadi.
"Tentu saja aku bekerja keras untuk Aileen," jawab Arka tenang. "Aku tidak ingin membebaninya."
"Tapi kamu memang beban," sahut Ny. Sandra dingin. "Aileen ini punya masa depan cerah. Kalau saja dia menikah dengan orang yang lebih layak, dia pasti hidup bahagia sekarang."
Arka tetap tersenyum, tapi Aileen bisa melihat tatapan sedih di matanya.
"Kami bahagia, Bu," jawab Arka lembut.
Jessica mendecakkan lidah. "Aileen, kau tidak lelah hidup susah?"
Aileen terdiam.
Jessica melanjutkan, "Lihat aku. Aku menikah dengan pria yang punya masa depan jelas. Aku bisa pakai baju mahal, liburan ke luar negeri, tinggal di rumah mewah. Sedangkan kamu?" Ia melirik Arka dengan sinis. "Masih harus membiayai suamimu?"
Aileen merasa darahnya mendidih, tetapi ia tidak bisa membantah.
Tn. Handoko akhirnya angkat bicara. "Aileen, kami tidak bisa melihatmu seperti ini terus. Kami ingin kamu menceraikan Arka."
Ruangan mendadak sunyi.
Arka menatap Aileen dengan tenang, tetapi ada kesedihan yang tidak bisa disembunyikan.
"Aku..." Aileen membuka mulutnya, tetapi tidak tahu harus berkata apa.
"Kami sudah menyiapkan seseorang untukmu," lanjut Tn. Handoko. "Seorang pria baik, kaya, dan bisa memberimu kehidupan layak."
Aileen menoleh ke Arka. Matanya berkaca-kaca.
Arka menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Kalau itu yang Aileen inginkan, aku tidak akan memaksanya bertahan."
Aileen terkejut. "Arka..."
"Aku mencintaimu, Aileen," kata Arka pelan. "Tapi aku tidak ingin kau hidup dalam tekanan."
Jessica terkekeh. "Oh, betapa drama."
Ny. Sandra menambahkan, "Kalau kau benar-benar mencintai Aileen, kau seharusnya pergi sejak dulu."
Aileen merasakan dadanya sesak. Ia ingin membela Arka, tetapi kata-kata keluarganya terus bergema di kepalanya.
Arka bangkit dari kursinya. "Terima kasih atas makan malamnya."
Ia menatap Aileen untuk terakhir kali, lalu berbalik dan melangkah pergi.
---
Malam itu, Aileen duduk sendirian di kamarnya. Ia menatap cincin pernikahannya dengan tatapan kosong. Ia pikir ia akan merasa lega setelah Arka pergi, tetapi yang ada justru perasaan hampa yang tak bisa ia jelaskan.
Tanpa ia sadari, air matanya mengalir.
Di luar sana, Arka berjalan menjauh dari rumah itu tanpa menoleh ke belakang. Tidak ada amarah di wajahnya, hanya ketenangan yang misterius.
Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menekan sebuah nomor.
"Siapkan semuanya," ucapnya dengan suara dingin. "Aku akan kembali ke tempatku yang sebenarnya."
Di balik kegelapan malam, rahasia besar yang selama ini ia sembunyikan akan segera terungkap.