"Vegetatif," Eleanor menyela dingin, menoleh perlahan. "Ya, aku tahu. Dia koma. Tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak, hanya... bernafas. Tapi ini tentang kehormatan keluarga, Brielle. Keluarga Blackwell tidak menerima pembatalan pernikahan. Jika kita mengundurkan diri, Papa-mu akan bangkrut. Kau tahu itu."
Brielle merasa lututnya lemas. Dunia di sekelilingnya seperti berputar. "Papa bahkan sudah meninggal! Kenapa aku yang harus-"
"Karena aku yang membesarkanmu setelah itu!" bentak Eleanor. "Jangan jadi gadis tak tahu balas budi, Brielle. Semua ini demi keluarga kita. Sekali saja, korbankan sedikit kebebasanmu."
Air mata menggenang di pelupuk mata Brielle. Ia melirik Clarisse yang berdiri di pojok ruangan dengan wajah bersalah. Gadis itu bahkan tak sanggup menatap matanya.
Brielle memejamkan mata, mengatur napas, lalu berbisik lirih, "Baiklah. Aku akan menikah dengannya."
---
Tiga hari kemudian, Brielle mengenakan gaun putih yang tak pernah ia impikan sebelumnya. Tidak seperti dongeng, tidak seperti impian masa kecil. Ia berdiri di altar dengan seorang pria muda yang terbaring di ranjang dorong, tubuhnya diam tak bergerak, matanya tertutup. Austin Blackwell-pengusaha muda pewaris kerajaan bisnis Blackwell Corp-terkenal tampan, cerdas, dan kharismatik... sebelum kecelakaan itu.
Sekarang, tubuhnya hanyalah wadah bernapas. Wajahnya masih tampan, terlalu sempurna untuk disebut koma. Tapi ia bukan siapa-siapa lagi.
Pendeta menyelesaikan janji suci pernikahan. "Dengan ini, kalian sah sebagai suami istri."
Tanpa ciuman. Tanpa tatapan cinta. Hanya tepuk tangan kaku dari para tamu yang lebih banyak bersimpati daripada merestui.
Brielle bahkan tak berani menoleh ke arah mertuanya, Eleanor Blackwell, wanita dingin berselimut keanggunan yang berdiri seperti patung di barisan depan.
---
Kamar pengantin berada di lantai atas mansion Blackwell, luas dan mewah, tapi sunyi dan menakutkan. Di tengahnya, ranjang besar tempat Austin berbaring, dijaga oleh dua suster bergiliran.
Saat malam tiba dan semua orang meninggalkan mereka berdua, hanya suara alat medis yang terdengar. Brielle duduk di sofa sambil memeluk lutut, menatap pria yang kini menjadi suaminya. "Kau tak mengenalku, dan aku bahkan tak tahu apa kau masih hidup di dalam sana..."
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Eleanor Blackwell masuk tanpa mengetuk, wajahnya datar.
"Sudah malam pertama kalian. Aku harap kau tahu apa yang harus dilakukan, Brielle."
Brielle berdiri buru-buru. "Ma-Maksud Mama?"
Eleanor mendekat, meletakkan satu amplop di meja. "Kontrak pernikahan. Kau hanya akan menjadi istri Austin selama sembilan bulan. Setelah kau hamil dengan anaknya, kau bebas pergi. Kami tidak butuh istri. Kami hanya butuh penerus."
Jantung Brielle mencelos. "Tapi bagaimana mungkin aku bisa hamil... sedangkan dia bahkan tak bisa-"
"Teknologi ada. Dokter kami siap. Tapi untuk itu, kau harus memberi izin sebagai istrinya. Kau harus tanda tangani surat persetujuan." Eleanor menatap tajam. "Atau kau akan kehilangan segalanya, termasuk rumah tempat ibumu dikuburkan."
Brielle terdiam. Ia menatap Austin yang bahkan tak berkedip.
"Aku harus... mengandung anak dari pria yang bahkan tak pernah menyentuhku?"
"Anggap saja kau menyelamatkan dua keluarga besar."
Brielle meremas bajunya. Ini bukan hidup yang ia pilih. Ini penjara berselimut sutra.
"Aku butuh waktu," gumam Brielle pelan.
Eleanor berbalik. "Kau punya tiga hari. Setelah itu, kami akan mulai proses fertilisasi. Ini bukan permintaan, Brielle. Ini kewajiban mu Setelah menikah."
Saat pintu tertutup kembali, Brielle nyaris jatuh terduduk.
---
Malam itu, Brielle berdiri di sisi ranjang Austin, menatap wajahnya yang damai. "Kalau kau bisa mendengar aku, aku ingin tahu... kau setuju nggak dengan semua ini? Kau tahu ibumu akan menggunakan tubuhmu seperti ini? Anakmu akan lahir tanpa tahu ayahnya pernah sadar atau tidak."
Tangannya menyentuh tangan Austin yang dingin. Tidak ada reaksi.
Tapi entah kenapa, ada setetes air mata jatuh dari mata Austin yang tertutup.
Brielle terkesiap. "Austin?"
Tidak ada respons. Hanya detik jam di dinding yang terus berdetak.
Apakah itu air mata nyata... atau hanya imajinasi seorang wanita yang terlalu lelah?
---
Tiga hari kemudian, Brielle duduk di ruang tamu mansion bersama Eleanor dan seorang pria bersetelan putih: Dr. Benjamin Cross, dokter pribadi keluarga Blackwell.
"Prosedurnya sederhana. Dengan persetujuan Brielle sebagai istri sah, kami bisa melakukan fertilisasi intrauterin menggunakan sperma Austin yang disimpan sebelum kecelakaan terjadi," jelas Dr. Cross dengan nada profesional.
"Dan kalau aku menolak?" tanya Brielle pelan.
Eleanor menyilangkan kaki, menatap tajam. "Kau tidak akan menolak."
Dr. Cross menyerahkan dokumen persetujuan ke Brielle. Jari-jari Brielle gemetar.
Brielle menatap Austin yang berada di sisi ruangan dalam ranjangnya. "Kalau kau bisa dengar aku, kumohon beri aku tanda..."
Masih sunyi.
Tapi tiba-tiba, tangan Austin bergerak. Sedikit. Sangat sedikit.
Dokter Cross berdiri dengan kaget. "Tadi... apakah dia bergerak?"
Eleanor berdiri cepat. "Itu hanya refleks otot."
Brielle menatap penuh harap. "Tidak. Tidak. Itu bukan refleks. Dia bergerak. Dia mendengar!"
Dokter mendekat, memeriksa saraf dan pupil. Tapi tak ada perubahan signifikan.
Eleanor mendesah. "Tanda tangani kertas itu, Brielle. Jangan percaya harapan palsu. Ini hanya tubuh tanpa jiwa. Waktumu habis."
Dengan tangan gemetar, Brielle menandatangani.
Dan seketika, hidupnya terasa seperti dijual.
---
Malam hari setelah itu, Brielle duduk di kursi di samping Austin. Prosedur akan dilakukan esok pagi.
"Besok aku akan resmi jadi calon ibu... dari anak yang belum pernah menyebut namaku sekalipun."
Tangannya menggenggam tangan Austin. "Kalau kau bisa mendengar... tolong bangun. Satu kali saja."
Tiba-tiba, jemari Austin mencengkeram jemarinya. Lemah, tapi nyata.
Mata Brielle membelalak. "Austin?!"
Tapi tak lama kemudian genggaman itu lepas. Austin kembali diam. Alat medis tetap stabil.
Air mata Brielle jatuh satu-satu. Ia kini tahu satu hal: Austin belum sepenuhnya hilang.