Liam Foster-manajer pemasaran sekaligus kekasihnya-sudah memberi banyak kode. Malam ini, di depan seluruh karyawan dan petinggi perusahaan, ia akan melamarnya. Emily bahkan mendengar dari Laura bahwa Liam telah membeli cincin berlian sejak seminggu lalu.
"Aku... siap," gumamnya lirih, membuka pintu dan melangkah keluar.
Ruangan itu penuh orang. Musik jazz mengalun lembut, gelas-gelas anggur bersulang di antara para eksekutif dengan jas mahal dan gaun malam. Emily berdiri di pojok ruangan, mencoba tidak terlihat terlalu mencolok. Namun tetap saja, beberapa mata memandanginya-seorang asisten pribadi Presdir yang tak pernah melewatkan satu pun deadline.
Tiba-tiba, seorang tangan meraih pinggangnya dari belakang.
"Cantik sekali malam ini."
Emily menoleh dan mendapati Liam tersenyum menawan. Wajahnya yang tampan, rambut hitam tersisir rapi, dan aroma parfumnya yang maskulin membuat jantung Emily berdetak tak karuan.
"Terima kasih," jawab Emily dengan senyum gugup. "Kau juga... sangat tampan."
"Siap untuk malam yang tak akan kau lupakan?" bisiknya di telinga Emily.
Emily menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan degup jantungnya. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini.
Namun semuanya berubah dalam hitungan menit.
Ketika jam berdentang delapan, Liam naik ke atas panggung kecil yang disiapkan untuk memberikan sambutan. Sorotan lampu jatuh ke wajahnya yang bersinar percaya diri. Ia menggenggam sebuah kotak kecil dari beludru hitam-sudah jelas, itu cincin. Para tamu mulai berbisik, beberapa menepuk tangan pelan. Emily menutup mulutnya, menahan haru.
"Emily Carter," Liam memulai, suaranya menggema dengan karisma. "Selama dua tahun terakhir, kau adalah cahaya dalam hidupku. Malam ini, aku ingin-"
Langkahnya terhenti. Matanya membelalak.
Semua orang mengikuti arah pandang Liam-ke arah pintu masuk.
Di sana, berdiri seorang pria tua dengan pakaian kumuh dan jaket robek. Punggungnya bungkuk oleh karung plastik besar yang tergantung di bahunya. Wajahnya keriput, kulitnya kecokelatan terbakar matahari. Itu adalah Thomas Carter, ayah Emily.
"Emily!" serunya dengan suara serak, penuh harapan. "Ayah datang..."
Emily membeku.
Suara tawa kecil dan bisikan sinis mulai terdengar dari berbagai sudut. Beberapa karyawan saling menyikut, menunjukkan pria tua itu dengan ekspresi jijik. Seorang wanita HRD bahkan tertawa terang-terangan sambil berkata, "Astaga, itu ayahnya? Pemulung?!"
Wajah Liam mengeras. Ia menatap Thomas dengan pandangan tak percaya.
"Siapa... dia?" tanyanya datar, hampir berbisik namun cukup terdengar oleh semua orang.
Emily berusaha melangkah ke depan, namun tubuhnya seperti tertahan oleh gravitasi rasa malu.
"Itu... ayahku," jawabnya pelan.
"APA?!" suara Liam melonjak tajam. "Ayahmu? Seorang... pemulung?!"
Sorotan kamera yang sebelumnya bersiap merekam momen lamaran berubah arah, mengabadikan wajah tua yang lusuh itu. Emily ingin berteriak agar semua orang berhenti, tapi tenggorokannya tercekat.
Thomas melangkah perlahan ke tengah ruangan, mengabaikan tatapan penuh cemooh.
"Maaf... Ayah cuma ingin lihat Emily... bahagia," katanya lirih, bergetar.
Liam turun dari panggung. Wajahnya merah, nadanya meninggi. "Kau tahu, Emily, aku pikir kamu dari keluarga berkelas. Setidaknya, bukan dari pria sampah!"
"Jangan begitu..." bisik Emily, air mata mulai menggenang.
"Aku hampir melamarmu! Tapi ternyata... ayahmu bahkan lebih hina dari yang bisa kubayangkan! Pantas saja kau selalu menolak kalau aku minta kita makan malam dengan keluarga! Kau malu, bukan? Karena ayahmu mengais sampah?!"
Thomas menjatuhkan karungnya dan bersimpuh.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tahu Ayah tak pantas. Tapi tolong... jangan biarkan pria ini lecehkanmu begini. Ayah cuma ingin... melihat anak Ayah dihargai..."
Liam mendengus tajam. "Kau tahu, Pak Tua? Yang memalukan itu bukan karena kau miskin. Tapi karena kau tak tahu tempat. Ini pesta formal, bukan tempat pengemis! Pergi sana, kembali ke tumpukan sampahmu!"
Emily tersentak. Ia menatap ayahnya, lalu Liam.
"Kau keterlaluan!" serunya.
Liam mendekat dengan marah. "Kau pikir aku akan tetap menikahimu setelah tahu siapa keluargamu? Bahkan aku jijik menyentuhmu sekarang!"
PLAK!
Suara tamparan itu menggema ke seluruh sudut ruangan. Semua orang terdiam.
Emily menatap Liam dengan mata merah menyala. "Kau tak hanya menghina ayahku. Kau juga menghina semua kerja keras yang kulakukan selama ini untuk naik dari keterpurukan. Aku yang tak sudi jadi istrimu. Aku yang memutuskan pertunangan ini. Bukan kamu!"
"Emily, jangan bodoh. Kau tidak akan dapat pria lain sepertiku!"
"Aku lebih baik sendirian daripada hidup bersama pria yang bahkan tak punya hati!"
Ia menghampiri ayahnya, membantu pria tua itu berdiri sambil menahan tangis. Thomas gemetar, menatap anaknya dengan air mata bangga.
"Aku minta maaf, Ayah... Aku seharusnya tidak malu padamu. Aku bangga jadi anakmu."
Beberapa tamu mulai bertepuk tangan pelan. Di antara mereka, berdiri seseorang yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan-seorang pria dengan setelan abu-abu armani dan jam tangan mewah. Nathaniel Blake, CEO muda yang baru saja membeli saham terbesar perusahaan tempat Emily bekerja. Sorot matanya tajam, namun ada secercah ketertarikan saat ia melihat keberanian Emily.
Emily menuntun ayahnya keluar dari ruangan pesta, kepalanya tegak meski hati hancur.