Dua tahun pernikahan mereka, dua tahun yang tampak sempurna, dua tahun yang penuh dengan kebahagiaan yang ditunjukkan kepada dunia luar, kini menjadi sebuah kebohongan besar. Zevan merasa tubuhnya gemetar, hatinya hancur, dan jantungnya berdegup kencang seolah menuntut jawaban. Pesan itu jelas, tidak ada ruang untuk kebingungannya lagi: Clara telah berselingkuh.
Perasaan marah menyelip ke dalam dirinya, lebih cepat dari yang bisa ia kendalikan. Ia mencoba untuk berpikir jernih, mencoba untuk menemukan penjelasan lain yang bisa membenarkan segala sesuatunya, tetapi semuanya terasa sia-sia. Tidak ada yang bisa menghalangi gelombang amarah yang datang begitu mendalam. Zevan menghapus pesan itu tanpa berpikir panjang dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.
Clara sedang duduk di ruang makan, menyeruput kopi pagi dengan tenang, seolah tak ada yang berubah. Tapi Zevan tahu, kali ini, segala sesuatunya sudah berbeda. Wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya yang menatapnya begitu kosong, menyadarkan Zevan bahwa istrinya telah jauh darinya. Saat ia mendekati meja makan, Clara menoleh, memberikan senyum yang tampak dipaksakan, namun tidak ada kehangatan di dalamnya.
"Ada apa, sayang?" tanya Clara, mencoba mencairkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan oleh keduanya.
"Jangan pura-pura. Aku tahu," jawab Zevan, suaranya rendah, namun penuh tekanan. "Kau... Kau selingkuh."
Clara terdiam sejenak, ekspresinya berubah. Mata Zevan menatapnya tajam, menginginkan penjelasan yang tidak akan pernah datang. Namun, Clara tidak berbicara, tidak ada penyesalan di matanya. Keheningan yang terjalin membuat suasana semakin menyesakkan. Zevan merasakan dirinya tenggelam dalam amarah yang meluap, emosi yang terpendam begitu lama kini keluar begitu saja.
"Jangan coba berbohong lagi. Aku sudah tahu semuanya," kata Zevan, suaranya bergetar oleh amarah yang tak terkontrol. "Aku tahu siapa pria itu. Apa kau tidak pernah merasa cukup dengan aku?"
Clara tidak menjawab. Ia hanya menatap Zevan dengan pandangan yang sulit dibaca, wajahnya penuh kebingungan dan mungkin rasa bersalah, tetapi itu tidak cukup untuk menghentikan dorongan amarah yang menguasai Zevan. Satu-satunya yang bisa ia rasakan adalah penghinaan yang dalam-pengkhianatan yang tak termaafkan.
"Tidak ada yang bisa membenarkan ini!" Zevan berteriak, mengerutkan keningnya dengan wajah penuh kebencian. "Kau membuatku merasa bodoh! Kau membuatku merasa seperti lelaki yang tak berarti bagimu!"
Clara terdiam, tidak bisa berkata-kata. Pada akhirnya, Zevan tahu bahwa kata-kata apapun tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan rasa sakit yang ia rasakan. Ia merasa dipermalukan, dihancurkan, dan yang paling parah-dikhianati oleh wanita yang ia percayai sepenuhnya. Clara berusaha untuk berdiri, tetapi langkah Zevan begitu cepat, mendekatkan dirinya ke arahnya, seolah-olah ia tidak bisa menahan amarah yang begitu dalam.
"Jangan coba pergi dari sini!" teriaknya, menggenggam pergelangan tangan Clara dengan kasar. "Kau tidak akan pergi begitu saja setelah apa yang kau lakukan padaku."
Clara terlihat terguncang, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain menghadapinya. Zevan menariknya menuju kamar tidur mereka dengan kekuatan yang tak terbendung, meninggalkan segala keheningan dan kebingungannya di belakang. Ketika pintu kamar ditutup dengan keras, Zevan mendekatkan wajahnya ke Clara, dan ia bisa merasakan getaran tubuh Clara yang ketakutan, namun ia tidak peduli. Amarahnya menguasai seluruh dirinya.
"Ini adalah balas dendamku!" teriaknya dengan suara yang kasar, menundukkan Clara ke ranjang dengan kekuatan yang penuh. Tanpa peringatan, dia mengambil alih segala kendali. Clara hanya bisa terdiam, tidak berdaya dalam cengkeramannya yang begitu kuat. Ia merasa seperti seluruh dunia runtuh di sekitarnya, tubuhnya terasa terasing, dan semuanya terasa sangat jauh dari yang ia harapkan.
Namun, keesokan harinya, Zevan terbangun dengan perasaan hampa yang mendalam. Pagi itu, sinar matahari menyinari kamar tidur yang kacau, dan di sampingnya, seorang wanita muda terbaring telanjang, tubuhnya terbungkus selimut tipis. Zevan terbangun dengan kepala yang berdenyut, seolah-olah seluruh dunia terasa kabur.
Dia menoleh ke samping, dan untuk sesaat, ia merasa bingung. Wanita itu bukan Clara. Wanita yang terbaring di sampingnya adalah seorang gadis yang ia kenal, tetapi tidak pernah menyangka akan berada dalam posisinya saat ini. Amanda-pembantu rumah tangga yang baru beberapa hari bekerja di rumahnya-terbujur di sampingnya, tubuhnya telanjang.
Zevan terkejut, kepalanya terasa pusing. Kenapa dia ada di sini? Bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini? Dia mencoba merangkak dari tempat tidurnya, panik. Perlahan-lahan, kenangan semalam mulai meresap kembali. Tapi semuanya terasa kabur, seolah-olah dia tidak sepenuhnya mengingat setiap detailnya. Dalam kegelapan kemarahan dan kebingungan, ia telah kehilangan kendali atas segalanya.
Kepala Zevan terasa berat, dan saat dia menatap Amanda yang terbaring di sampingnya, perasaan malu dan kebingungannya semakin dalam. Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Mengapa dia bisa begitu jauh kehilangan kendali hingga berakhir dengan gadis itu?
Amanda terbangun perlahan, mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan mata penuh kebingungannya. "Zevan..." suara lembutnya terdengar bingung, seperti dia sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Apa yang terjadi?"
Zevan menatapnya dengan mata yang penuh kecemasan. "Aku... Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ini... bukan yang aku inginkan."
Namun, masalahnya tidak selesai di situ. Semua kekacauan semalam hanya memperburuk keadaan yang sudah sulit. Clara yang telah berselingkuh, dan sekarang Amanda yang terlibat dalam masalah ini. Zevan merasa semakin terperangkap dalam kebohongan, pengkhianatan, dan rasa sakit yang tak terhitung jumlahnya. Semua yang ia anggap benar, semua yang ia bangun, seolah runtuh di hadapannya.
Frustrasi menyelip di hati Zevan. Apa yang seharusnya ia lakukan sekarang? Apa yang bisa ia lakukan setelah semuanya berubah begitu cepat? Namun, satu hal yang pasti-kehidupan rumah tangganya tidak akan pernah sama lagi.