Lysandro Evander Wicaksana, pria muda dengan segudang prestasi dan karisma yang tak terbantahkan, memegangi ponselnya. Ada pesan dari Callista yang sudah ia lihat berulang kali, namun tak kunjung dia buka. Isi pesan itu tak pernah berubah, meski sudah berhari-hari berlalu. Dan setiap kali ia membaca pesan itu, perasaan dalam dirinya semakin runcing, semakin tak terkendali.
"Aku hamil, Lys. Ini anakmu."
Dua kalimat sederhana itu, yang seharusnya tidak memberi dampak apa-apa, telah menelusup dalam pikirannya seperti racun yang perlahan merusak segala yang pernah ia percayai. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana bisa sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil, yang selalu menjadi tempat perlindungannya, kini menjadi bagian dari masalah terbesar dalam hidupnya?
Lysandro mendesah berat. Pikirannya kembali terbang ke malam itu-malam yang seharusnya hanya menjadi pelarian sesaat dari tekanan hidup. Callista, sahabatnya, tampak rapuh, cemas, dan putus asa. Mata besar Callista yang biasanya penuh ketegasan kini terlihat kosong, penuh keraguan, seolah sedang mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya. Dia butuh kenyamanan, dia butuh seseorang untuk menggenggam tangannya, dan Lysandro-sebagai sahabat, sebagai pria yang telah mengenalnya lebih dari siapa pun-merasa itu adalah tanggung jawabnya. Tapi entah bagaimana, malam itu berakhir dengan mereka terjebak dalam situasi yang tidak bisa mereka kendalikan.
Setelah kejadian itu, perasaan Lysandro bercampur aduk. Ada rasa bersalah yang menggerogoti, tetapi ada pula keinginan untuk melarikan diri dari konsekuensi yang harus ia tanggung. Kini, dia dihadapkan pada kenyataan yang tidak bisa dipungkiri: Callista hamil. Dan itu anaknya.
Satu-satunya alasan Lysandro bisa tenang saat itu adalah karena dia masih memiliki Elowen, kekasihnya yang selalu mendampinginya dalam setiap langkah besar hidupnya. Elowen yang sempurna, Elowen yang tak pernah mempertanyakan keputusannya, Elowen yang akan segera menjadi istrinya. Dia tak bisa membiarkan semua ini mengacaukan rencana besar hidupnya, bukan? Dia harus menjaga semua yang telah ia bangun.
Namun, saat Callista menolak untuk menggugurkan kandungannya, Lysandro terperangkap dalam dilema yang semakin menyesakkan. Callista berkeras mempertahankan anak itu, dan di saat yang sama, ia juga berniat meninggalkan hidup Lysandro. "Aku akan pergi, Lys. Aku tidak ingin mengganggu hidupmu," kata Callista dalam sebuah pertemuan yang mereka adakan di sebuah kafe sepi, wajahnya penuh keteguhan yang bahkan tidak bisa dipatahkan oleh kata-kata apapun.
Tetapi sesuatu dalam dirinya-sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa bersalah-mendorong Lysandro untuk berubah. Dia tidak bisa membiarkan Callista pergi begitu saja. Dia tidak bisa membiarkan sahabat yang telah tumbuh bersama dengannya, yang telah berbagi begitu banyak kenangan, kini hanya pergi tanpa ada tanggung jawab darinya. Tidak, dia tidak bisa.
Lysandro tahu, untuk menebus semuanya, satu-satunya cara adalah menikahi Callista. Mungkin ini keputusan yang salah, tetapi tak ada pilihan lain. Namun, ada satu syarat: pernikahan ini harus tetap menjadi rahasia. Elowen tidak boleh tahu, dan dunia luar tidak boleh tahu tentang bayi yang akan lahir ini. Itu adalah harga yang harus dibayar.
Lysandro menghubungi Callista, dan dalam percakapan yang penuh ketegangan itu, dia menyampaikan tawarannya. "Aku akan menikahimu, Callista. Tapi hanya jika ini tetap menjadi rahasia. Elowen tidak boleh tahu. Kita hanya akan melanjutkan hidup seperti biasa. Kita akan melakukannya demi bayi ini."
Callista terdiam cukup lama sebelum akhirnya suara lembutnya terdengar. "Kamu yakin? Ini tidak akan mudah, Lys. Semua ini bukan hanya tentang kita berdua. Ini tentang hidup yang sedang tumbuh di dalam diriku."
"Aku tahu," jawab Lysandro dengan suara berat. "Tapi ini yang terbaik untuk semua orang."
Pernikahan mereka yang diam-diam direncanakan itu adalah langkah pertama menuju sebuah kehidupan yang lebih rumit dari yang bisa mereka bayangkan. Mereka memutuskan untuk menikah tanpa kebahagiaan, hanya berdasarkan kewajiban, dan dengan beban yang semakin hari semakin terasa berat di hati masing-masing. Tidak ada pelukan, tidak ada ciuman selamat datang, hanya ada tatapan kosong yang menggambarkan perasaan yang tak tersampaikan.
Callista tahu apa yang ia hadapi. Menikahi pria yang telah lama dianggapnya sahabat bukanlah hal yang mudah. Apalagi ketika dia tahu bahwa Lysandro masih memiliki Elowen dalam hidupnya-perempuan yang seolah menjadi segala-galanya dalam dunia Lysandro, yang selalu mendampinginya, yang selalu ada dalam setiap perencanaan masa depannya. Tetapi, Callista juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Ini adalah tanggung jawab yang tak bisa ia hindari, dan ia harus menghadapinya.
Di hari pernikahan mereka yang sederhana dan penuh rahasia itu, Lysandro berdiri di altar, mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti pria dengan segudang rahasia. Callista, di sisi lain, mengenakan gaun putih sederhana yang justru terasa begitu membelenggu. Ketika mereka saling memandang, tidak ada senyum yang tersungging di wajah mereka, hanya ada keraguan yang tak terucap.
Setelah menikah, kehidupan mereka berubah dalam diam. Mereka tinggal di rumah yang berbeda, berusaha untuk saling menghindar di setiap kesempatan, tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang mengikat mereka lebih kuat dari sekadar ikatan pernikahan. Setiap kali Lysandro melihat Callista, ada rasa bersalah yang tak bisa dia lepaskan. Setiap kali Callista melihat Lysandro, ada rasa cemas dan ketakutan akan masa depan yang belum pasti.
Dan ketika kehidupan mereka berlanjut, mereka tahu bahwa ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Ini baru saja dimulai.