Keesokan paginya, di hari ulang tahunku, Karin muncul membawa kue, senyumnya semanis racun. Setelah satu gigitan, tenggorokanku mulai menyempit. Kacang. Dia tahu aku alergi parah terhadap kacang.
Saat aku terengah-engah mencari udara, naluri pertama Bima bukanlah menolongku, melainkan membelanya. Dia berdiri di antara kami, wajahnya menegang karena amarah. "Kamu itu punya masalah apa, sih, sama dia?" tuntutnya, buta pada kenyataan bahwa istrinya sedang tercekik di depannya.
Aku terhuyung-huyung, mencoba meraih EpiPen-ku, tapi dia mencengkeram lenganku, menarikku mundur dengan kasar. "Kamu akan minta maaf pada Karin sekarang juga!"
Dengan sisa kekuatanku, aku menampar wajahnya.
"Aku hamil," desisku. "Dan aku tidak bisa bernapas."
Bab 1
Malam pernikahanku seharusnya sempurna, tapi Bima mabuk berat. Dia nyaris tidak bisa berdiri, bicaranya tidak jelas saat teman-teman kami membimbingnya masuk ke dalam suite hotel. Pintu berbunyi klik tertutup, meninggalkan kami dalam keheningan yang terasa terlalu bising.
Aku menatapnya, yang terkulai di tepi ranjang king-size kami, dan gelombang perasaan tidak berdaya menyelimutiku. Ini bukan pria yang baru saja kunikahi. Ini orang asing. Hatiku sakit untuknya, untuk malam sempurna yang perlahan sirna.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Karin, sahabatku selama dua puluh tahun. *Dia mungkin minum terlalu banyak, Lana. Beri dia air madu dan biarkan dia tidur. Besok pagi juga sudah baikan.*
Aku merasakan rona merah merayap di leherku. Karin selalu tahu apa yang harus dilakukan. Pesannya, yang begitu praktis, juga menyimpan sedikit harapan tentang malam ini, dan aku merasa ada secercah asa bahwa segalanya mungkin masih akan baik-baik saja.
Aku melakukan apa yang dia katakan. Aku memesan air madu dari layanan kamar dan dengan lembut membujuk Bima untuk meminumnya. Dia penurut, seperti anak kecil, melakukan apa pun yang kuminta tanpa perlawanan.
Perlahan, energi gilanya menghilang, dan dia mulai tenang, napasnya teratur saat dia berbaring di atas bantal. Akhirnya dia diam.
Aku mengambil ponselku lagi, ingin membalas pesan Karin, untuk berterima kasih karena telah menjadi penenang dalam badai hatiku, seperti yang selalu dia lakukan.
Tiba-tiba, lengan yang kuat melingkari tubuhku dari belakang, menarikku ke dada yang hangat. Bima belum tidur. Napasnya terasa panas di leherku.
"Aku mencintaimu," bisiknya, suaranya berat dan serak. Itu bukan bisikan penuh cinta dari seorang suami baru. Kedengarannya seperti pengakuan yang direnggut dari jiwanya.
"Aku sangat, sangat mencintaimu, Karin."
Nama itu menggantung di udara, seperti racun. Dia tidak mengatakan Lana. Dia menyebut nama sahabatku.
Kemejanya terbuka karena mabuk. Di sana, di sisi kiri dadanya, tepat di atas jantungnya, ada sebuah tato yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Itu adalah satu huruf 'K' yang elegan.
Pikiranku kosong. Dunia seakan miring, suara-suara memudar menjadi dengungan samar di telingaku. Pria yang memelukku, ruangan ini, gaun putih yang tergantung di pintu-semuanya terasa seperti film yang kutonton dari kejauhan.
K. Karin. Huruf 'K' itu untuk Karin.
Semuanya menjadi jelas. Alasan dia mabuk sampai tidak bisa berfungsi. Alasan dia menatap melewatiku di resepsi, matanya mencari orang lain. Dia tidak merayakan pernikahan kami. Dia meratapinya.
Aku berdiri di sana, membeku dalam pelukannya, untuk waktu yang terasa seperti selamanya. Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bernapas.
Perlahan, perasaan kembali ke anggota tubuhku, rasa dingin yang mengerikan meresap ke tulang-tulangku.
Ponselku bergetar lagi di meja nakas.
Aku melepaskan diri darinya, gerakanku kaku dan seperti robot. Dia tidak menyadarinya, sudah terlelap dalam tidurnya yang mabuk.
Aku menatap layar yang menyala.
Pesan itu dari Karin.