Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Cinta, Kebohongan, dan Anjing yang Mematikan
Cinta, Kebohongan, dan Anjing yang Mematikan

Cinta, Kebohongan, dan Anjing yang Mematikan

5.0

Duniaku hancur berkeping-keping oleh sebuah panggilan telepon panik: ibuku diserang seekor anjing. Aku bergegas ke unit gawat darurat, hanya untuk menemukan beliau dalam kondisi luka parah, sementara tunanganku, Bara, bersikap acuh tak acuh dan kesal. Dia datang dengan setelan mahalnya, nyaris tidak melirik ibuku yang berdarah sebelum mengeluh tentang rapatnya yang terganggu. "Ada ribut-ribut apa, sih? Aku sedang rapat." Lalu dengan mengejutkan, dia membela anjing itu, Brutus, milik teman masa kecilnya, Helena, dengan mengklaim anjing itu "hanya suka bermain" dan ibuku "mungkin membuatnya takut." Dokter berbicara tentang "luka robek yang parah" dan infeksi, tetapi Bara hanya melihatnya sebagai sebuah gangguan. Helena, si pemilik anjing, muncul, berpura-pura khawatir sambil menyeringai penuh kemenangan ke arahku. Bara merangkulnya, menyatakan, "Ini bukan salahmu, Helena. Ini kecelakaan." Dia kemudian mengumumkan akan tetap melanjutkan "perjalanan bisnis triliunan rupiah" ke Singapura, dan menyuruhku mengirim tagihan rumah sakit ke asistennya. Dua hari kemudian, ibuku meninggal karena infeksi. Saat aku mengurus pemakamannya, memilihkan baju untuk peristirahatan terakhirnya, dan menulis pidato duka yang tak sanggup kubacakan, Bara tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati. Lalu, sebuah notifikasi Instagram muncul: foto Bara dan Helena di atas kapal pesiar di Maladewa, dengan segelas sampanye di tangan, dan keterangan: "Menikmati hidup di Maladewa! Liburan spontan memang yang terbaik! #blessed #singapurasiapa?" Dia tidak sedang dalam perjalanan bisnis. Dia sedang berlibur mewah dengan wanita yang anjingnya telah membunuh ibuku. Pengkhianatan itu terasa seperti pukulan telak. Semua janjinya, cintanya, perhatiannya-semua kebohongan. Bersimpuh di pusara ibuku, aku akhirnya mengerti. Pengorbananku, kerja kerasku, cintaku-semuanya sia-sia. Dia telah meninggalkanku di saat tergelapku demi wanita lain. Semuanya sudah berakhir.

Konten

Bab 1

Duniaku hancur berkeping-keping oleh sebuah panggilan telepon panik: ibuku diserang seekor anjing. Aku bergegas ke unit gawat darurat, hanya untuk menemukan beliau dalam kondisi luka parah, sementara tunanganku, Bara, bersikap acuh tak acuh dan kesal.

Dia datang dengan setelan mahalnya, nyaris tidak melirik ibuku yang berdarah sebelum mengeluh tentang rapatnya yang terganggu. "Ada ribut-ribut apa, sih? Aku sedang rapat." Lalu dengan mengejutkan, dia membela anjing itu, Brutus, milik teman masa kecilnya, Helena, dengan mengklaim anjing itu "hanya suka bermain" dan ibuku "mungkin membuatnya takut."

Dokter berbicara tentang "luka robek yang parah" dan infeksi, tetapi Bara hanya melihatnya sebagai sebuah gangguan. Helena, si pemilik anjing, muncul, berpura-pura khawatir sambil menyeringai penuh kemenangan ke arahku. Bara merangkulnya, menyatakan, "Ini bukan salahmu, Helena. Ini kecelakaan." Dia kemudian mengumumkan akan tetap melanjutkan "perjalanan bisnis triliunan rupiah" ke Singapura, dan menyuruhku mengirim tagihan rumah sakit ke asistennya.

Dua hari kemudian, ibuku meninggal karena infeksi. Saat aku mengurus pemakamannya, memilihkan baju untuk peristirahatan terakhirnya, dan menulis pidato duka yang tak sanggup kubacakan, Bara tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati.

Lalu, sebuah notifikasi Instagram muncul: foto Bara dan Helena di atas kapal pesiar di Maladewa, dengan segelas sampanye di tangan, dan keterangan: "Menikmati hidup di Maladewa! Liburan spontan memang yang terbaik! #blessed #singapurasiapa?" Dia tidak sedang dalam perjalanan bisnis. Dia sedang berlibur mewah dengan wanita yang anjingnya telah membunuh ibuku.

Pengkhianatan itu terasa seperti pukulan telak. Semua janjinya, cintanya, perhatiannya-semua kebohongan. Bersimpuh di pusara ibuku, aku akhirnya mengerti. Pengorbananku, kerja kerasku, cintaku-semuanya sia-sia. Dia telah meninggalkanku di saat tergelapku demi wanita lain. Semuanya sudah berakhir.

Bab 1

Panggilan telepon itu merobek keheningan di ruang kerjaku. Itu dari seorang tetangga, suaranya panik dan melengking.

"Jasmine, ini ibumu! Kamu harus cepat datang! Seekor anjing... menyerangnya!"

Duniaku seakan jungkir balik. Pena di tanganku jatuh, bunyinya menggema di tengah keheningan yang tiba-tiba. Aku menggumamkan sesuatu, entah ucapan terima kasih atau penegasan, aku tidak ingat. Aku hanya menyambar kunci dan berlari.

Aku menemukannya di unit gawat darurat. Lengannya dibalut perban putih tebal, tapi darah sudah merembes keluar, menodai kain itu dengan warna merah yang mengerikan. Wajahnya pucat, matanya terbelalak karena syok dan rasa sakit.

"Ibu," bisikku, suaraku pecah.

Beliau mencoba tersenyum, tapi itu lebih mirip sebuah ringisan. "Tidak apa-apa, Jasmine. Ibu baik-baik saja."

Dokter memberitahuku lukanya dalam. Mereka khawatir akan terjadi infeksi.

Saat itulah, tunanganku, Bara Nusantara, tiba. Dia masuk, setelan mahalnya tidak kusut, rambutnya tertata sempurna. Dia menatap ibuku, lalu menatapku, dan dahinya sedikit berkerut.

"Ada ribut-ribut apa, sih? Aku sedang rapat."

Nadanya ringan, nyaris bosan. Itu mengiris sarafku yang sudah tegang.

"Seekor anjing menyerangnya, Bara. Itu anjingnya Helena."

Helena Santoso. Teman masa kecilnya. Wanita yang selalu menatapku seolah aku ini kotoran yang menempel di sepatunya.

Ekspresi Bara melembut, tapi bukan karena khawatir pada ibuku. Itu adalah kelegaan.

"Oh, Brutus? Dia cuma suka bermain. Ibumu mungkin membuatnya takut."

Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Suka bermain? Dokter tadi menggunakan kata-kata 'luka robek yang parah'.

"Dia anjing yang baik," lanjut Bara, menepuk bahuku. "Helena tidak akan pernah membiarkannya menyakiti siapa pun dengan sengaja. Lagipula, ibumu seharusnya tidak mencoba mengelus anjing asing."

Amarah yang dingin dan tajam menjalari diriku. Aku memandang bergantian wajah pucat ibuku dan wajah acuh tak acuh Bara.

"Ibu tidak mencoba mengelusnya. Anjing itu tiba-tiba menerkam."

Helena memilih saat itu untuk muncul, matanya terbelalak dengan kekhawatiran palsu. Dia bergegas ke sisi Bara, mengabaikanku sepenuhnya.

"Bara, apa dia baik-baik saja? Aku merasa sangat bersalah. Brutus belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Dia biasanya manis sekali."

Dia memberiku seringai singkat penuh kemenangan saat Bara tidak melihat. Tatapan itu seolah berkata, *Lihat? Dia akan selalu memilihku.*

Bara merangkulnya. "Ini bukan salahmu, Helena. Ini kecelakaan."

Dia kemudian berbalik lagi padaku, suaranya terdengar seperti urusan bisnis. "Begini, besok aku ada perjalanan bisnis penting ke Singapura. Aku tidak bisa membatalkannya. Pastikan rumah sakit memberinya perawatan terbaik. Kirim tagihannya ke asistenku."

Aku merasakan ketenangan aneh menyelimutiku. Jenis ketenangan yang datang sebelum badai.

"Kamu tetap akan pergi?" tanyaku, suaraku datar.

"Tentu saja. Ini proyek triliunan rupiah, Jasmine. Kamu tahu betapa pentingnya ini."

Dia tidak melihat sorot mataku. Dia tidak melihat retakan-retakan kecil di hatiku yang mulai membelah lebar.

"Baiklah, Bara," kataku lembut. "Sebaiknya kamu pergi."

Dia tersenyum, lega karena aku tidak membuat keributan. "Ini baru gadisku. Aku tahu kamu akan mengerti."

Dia memberiku tepukan merendahkan lagi di bahu. "Aku akan meneleponmu begitu mendarat."

Aku melihatnya dan Helena berjalan pergi, lengannya masih melingkari bahu Helena saat wanita itu menyeka matanya yang kering. Aku tidak mengatakan apa yang ada di pikiranku. Aku tidak mengatakan, *Tidak usah repot-repot.*

Dua hari kemudian, kondisi ibuku memburuk. Infeksinya telah menyebar. Demamnya melonjak. Para dokter melakukan semua yang mereka bisa, tetapi beliau perlahan-lahan pergi.

Beliau meninggal malam itu.

Dunia menjadi sunyi. Bunyi mesin-mesin berhenti. Satu-satunya suara adalah napasku sendiri yang tersengal-sengal.

Aku mencoba menelepon Bara. Panggilan pertama langsung masuk ke pesan suara. Aku mencoba lagi. Dan lagi. Tidak ada jawaban. Ponselnya mati. Dia pasti sedang di pesawat, kataku pada diri sendiri. Dia akan menelepon begitu mendarat. Dia sudah berjanji.

Beberapa hari berikutnya adalah kabut aktivitas yang mati rasa. Aku mengurus pemakaman. Aku memilih peti mati. Aku menulis pidato duka yang tak sanggup kubacakan. Ibuku sangat antusias menantikan pernikahan kami. Beliau sudah membeli gaunnya, gaun lavender yang indah yang katanya menonjolkan warna matanya. Sekarang, aku yang memilihkan pakaian untuk peristirahatan terakhirnya.

Teman-teman dan keluargaku sangat marah.

"Di mana dia, Jasmine? Di mana si brengsek Bara itu?" sembur sepupuku, wajahnya memerah karena amarah.

Aku terus membuat alasan untuknya. "Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Dia tidak tahu. Dia akan sangat terpukul begitu tahu."

Aku berbohong pada mereka. Aku berbohong pada diriku sendiri.

Pemakaman itu kecil dan sunyi, seperti yang diinginkan ibuku. Aku berdiri di samping pusaranya, angin dingin menerpa rambutku ke wajah. Aku merasa hampa, terkuras habis.

Setelah semua orang pergi, aku tetap di sana, menatap gundukan tanah yang baru. Ponselku bergetar di saku. Notifikasi dari Instagram. Seorang teman menandai aku dalam sebuah postingan.

Jemariku gemetar saat membuka aplikasi itu.

Fotonya cerah dan penuh sinar matahari. Sebuah kapal pesiar, lautan biru kehijauan, dan dua wajah tersenyum. Bara dan Helena. Lengannya melingkari Helena, dan wanita itu tertawa, memegang segelas sampanye. Keterangannya berbunyi: "Menikmati hidup di Maladewa! Liburan spontan memang yang terbaik! #blessed #singapurasiapa?"

Foto itu diunggah lima jam yang lalu. Saat aku menguburkan ibuku, dia sedang berlibur mewah dengan wanita yang anjingnya telah membunuh ibuku.

Gelombang mual menyapuku. Aku membungkuk, terengah-engah, perutku bergejolak. Pengkhianatan itu adalah sesuatu yang fisik, racun yang menyebar di pembuluh darahku.

Itu bukan perjalanan bisnis. Semuanya bohong. Perhatiannya, cintanya, janjinya-semua kebohongan.

Aku berlutut di tanah yang dingin, lututku menekan tanah. Layar ponselku kabur oleh air mata. Aku menatap nama ibuku di nisan sederhana itu.

"Maafkan aku, Bu," bisikku, suaraku serak. "Maafkan aku karena membiarkannya menyakitimu."

Aku tinggal di sana untuk waktu yang lama, hawa dingin meresap ke tulang-tulangku. Ketika aku akhirnya berdiri, kakiku mati rasa dan kaku.

Aku melihat foto itu untuk terakhir kalinya, pada wajahnya yang tersenyum dan riang.

"Dia tidak pantas, Bu," kataku, suaraku jernih dan mantap. "Dia tidak sepadan denganmu. Dia tidak sepadan denganku."

Aku membuat janji pada ibuku saat itu, sebuah sumpah dalam hati. Semuanya sudah berakhir.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 12   Kemarin lusa10:40
img
img
Bab 1
30/07/2025
Bab 2
30/07/2025
Bab 3
30/07/2025
Bab 4
30/07/2025
Bab 5
30/07/2025
Bab 6
30/07/2025
Bab 7
30/07/2025
Bab 8
30/07/2025
Bab 9
30/07/2025
Bab 10
30/07/2025
Bab 11
30/07/2025
Bab 12
30/07/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY