Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Pembalasan Pamungkas Mantan Istri
Pembalasan Pamungkas Mantan Istri

Pembalasan Pamungkas Mantan Istri

5.0

Hal terakhir yang diberikan suamiku selama dua puluh tahun, Baskara Aditama, adalah surat bunuh diri. Surat itu bukan untukku. Surat itu untuk Bunga Lestari, adik angkatnya, wanita yang telah menjadi hantu yang menghantui pernikahan kami sejak awal. Dia menembakkan peluru ke kepalanya, dan dengan napas terakhirnya, dia memberikan seluruh kerajaan teknologi kami-hasil kerja kerasku seumur hidup-kepada Bunga dan keluarganya. Selalu saja dia. Dialah alasan anak kami mati, membeku kedinginan di dalam mobil mogok sementara Baskara bergegas menolongnya karena Bunga menciptakan krisis palsu lagi. Seluruh hidupku adalah perang melawannya, perang yang sudah telak aku kalahkan. Aku memejamkan mata, lelah luar biasa, dan ketika aku membukanya lagi, aku sudah menjadi seorang remaja. Aku kembali ke panti asuhan, tepat di hari ketika keluarga kaya Aditama datang untuk memilih seorang anak untuk diasuh. Di seberang ruangan, seorang anak laki-laki dengan mata penuh siksaan yang kukenali sedang menatap lurus ke arahku. Baskara. Dia tampak sama terkejutnya denganku. "Eva," bisiknya tanpa suara, wajahnya pucat pasi. "Maafkan aku. Kali ini aku akan menyelamatkanmu. Aku janji." Sebuah tawa getir nyaris lolos dari bibirku. Terakhir kali dia berjanji akan menyelamatkanku, putra kami berakhir di dalam peti mati kecil.

Konten

Bab 1

Hal terakhir yang diberikan suamiku selama dua puluh tahun, Baskara Aditama, adalah surat bunuh diri.

Surat itu bukan untukku. Surat itu untuk Bunga Lestari, adik angkatnya, wanita yang telah menjadi hantu yang menghantui pernikahan kami sejak awal.

Dia menembakkan peluru ke kepalanya, dan dengan napas terakhirnya, dia memberikan seluruh kerajaan teknologi kami-hasil kerja kerasku seumur hidup-kepada Bunga dan keluarganya.

Selalu saja dia. Dialah alasan anak kami mati, membeku kedinginan di dalam mobil mogok sementara Baskara bergegas menolongnya karena Bunga menciptakan krisis palsu lagi.

Seluruh hidupku adalah perang melawannya, perang yang sudah telak aku kalahkan.

Aku memejamkan mata, lelah luar biasa, dan ketika aku membukanya lagi, aku sudah menjadi seorang remaja. Aku kembali ke panti asuhan, tepat di hari ketika keluarga kaya Aditama datang untuk memilih seorang anak untuk diasuh.

Di seberang ruangan, seorang anak laki-laki dengan mata penuh siksaan yang kukenali sedang menatap lurus ke arahku. Baskara.

Dia tampak sama terkejutnya denganku.

"Eva," bisiknya tanpa suara, wajahnya pucat pasi. "Maafkan aku. Kali ini aku akan menyelamatkanmu. Aku janji."

Sebuah tawa getir nyaris lolos dari bibirku. Terakhir kali dia berjanji akan menyelamatkanku, putra kami berakhir di dalam peti mati kecil.

Bab 1

Hal terakhir yang diberikan suamiku, Baskara Aditama, adalah surat bunuh diri.

Surat itu tidak ditujukan untukku. Surat itu untuk Bunga Lestari, adik angkatnya, wanita yang telah menghantui pernikahan kami selama dua puluh tahun yang penuh penderitaan.

"Bunga," tulisan tangannya yang elegan terbaca, "Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu. Aku meninggalkan segalanya untukmu dan keluargamu. Maafkan aku."

Aku berdiri di kantor yang dingin dan kaku, bau mesiu masih menggantung di udara. Dia telah menembakkan peluru ke kepalanya, dan pikiran terakhirnya adalah tentang wanita lain. Segalanya, kerajaan teknologi kami yang aku adalah arsitek di baliknya, hasil kerja kerasku seumur hidup, kini menjadi milik wanita itu.

Selalu saja dia. Setiap krisis berpusat pada air mata Bunga, kebutuhan Bunga, drama-drama buatan Bunga. Dialah alasan anak kami mati, ditinggalkan membeku di dalam mobil mogok di jalan terpencil karena Baskara harus bergegas ke sisi Bunga setelah wanita itu mengklaim dirinya sedang diancam.

Seluruh hidupku adalah perang melawannya, perang yang baru saja aku kalahkan.

Aku memejamkan mata, gelombang kelelahan yang luar biasa menyapuku. Kesedihan ini terasa seperti beban fisik, meremukkan udara dari paru-paruku. Lalu, rasa sakit yang tajam di dadaku, cahaya yang menyilaukan, dan dunia pun lenyap.

Aku mencium bau antiseptik dan sup murah. Aku membuka mata. Aku berada di atas kasur yang menggumpal di sebuah ruangan yang penuh sesak. Dindingnya berwarna krem yang menyedihkan, catnya mengelupas di sudut-sudut. Jantungku berdebar kencang. Aku tahu tempat ini. Ini Panti Asuhan Kasih Bunda. Tanganku terasa kecil, tubuhku kurus dan asing. Aku menjadi remaja lagi.

Sebuah suara memecah kabut di kepalaku. "Eva, bangun! Keluarga Aditama sudah datang!"

Aku langsung duduk tegak. Hari ini. Ini adalah hari yang sama ketika keluarga kaya Aditama datang untuk memilih anak asuh. Hari di mana hidupku terkait dengan Baskara.

Seorang anak laki-laki di seberang ruangan, dengan rambut gelap yang kukenal dan mata yang penuh siksaan, sedang menatap lurus ke arahku. Baskara. Dia tampak sama terkejutnya denganku.

"Eva," bisiknya tanpa suara, wajahnya pucat pasi. "Maafkan aku. Kali ini aku akan menyelamatkanmu. Aku janji."

Menyelamatkanku? Sebuah tawa getir nyaris lolos dari bibirku. Terakhir kali dia berjanji akan menyelamatkanku, putra kami berakhir di dalam peti mati kecil.

Di kehidupanku yang pertama, aku sangat ingin melarikan diri dari tempat ini. Aku ambisius dan cerdas, dan aku melihat keluarga Aditama sebagai satu-satunya tiket keluarku. Aku telah meneliti mereka selama berminggu-minggu, mempelajari minat mereka, kepribadian mereka, apa yang mereka cari dari seorang anak. Aku telah menyiapkan pidato kecil yang sempurna. Aku mengenakan gaunku yang paling bersih, meskipun masih lusuh. Aku bertekad untuk menjadi pilihan sempurna mereka.

Dan aku hampir berhasil.

Tapi kemudian Baskara muncul, menyeret seorang gadis yang ingusan dan tampak menyedihkan di belakangnya. Bunga Lestari.

"Dia lebih membutuhkan rumah daripada siapa pun," katanya kepada orang tuanya, suaranya penuh dengan rasa kasihan sok pahlawan yang salah kaprah yang selalu dia miliki untuk Bunga. "Anak-anak lain menindasnya."

Bunga langsung menangis tersedu-sedu, bersembunyi di belakang Baskara dan membisikkan kebohongan tentangku. "Eva membuatku takut. Dia bilang aku tidak pantas bahagia."

Baskara, yang dalam kehidupan itu telah bersumpah untuk menjadi pelindungku, langsung memercayainya. Dia menatapku dengan kekecewaan yang begitu dalam. "Eva, bagaimana bisa kamu begitu kejam?"

Satu kalimat itu telah menentukan takdirku. Aku menghabiskan lima tahun lagi yang menyedihkan di panti asuhan sementara Bunga disambut di rumah mewah keluarga Aditama, berbalut sutra dan simpati.

Tapi kali ini, aku tahu lebih baik. Aku bukan gadis ambisius yang mencoba memenangkan kasih sayang mereka. Aku adalah wanita berusia 40 tahun dalam tubuh remaja, dan satu-satunya ambisiku adalah terbebas dari mereka semua.

Ibu Aditama, seorang wanita berwajah ramah dengan mata yang lembut, sudah tersenyum padaku. "Halo, sayang. Kamu pasti Eva. Di berkasmu tertulis kamu adalah peringkat teratas di kelasmu."

"Dia gadis yang luar biasa," kata pengurus panti, suaranya manis sekali seperti sirup.

Baskara berdiri di samping ibunya, matanya memohon padaku. "Bu, Yah, kurasa kita harus memilih Eva."

Aku melihat harapan di matanya, kebutuhan putus asa untuk menebus kesalahan. Dia ingin memperbaiki masa lalu.

Sayang sekali, aku ingin menghapusnya.

Tepat saat Pak Aditama membuka mulut untuk setuju, sebuah tangisan keras bergema dari lorong.

Sesaat kemudian, Bunga masuk dengan terpincang-pincang, bersandar berat pada gadis lain. Pergelangan kakinya dibalut perban kotor, dan air mata segar mengalir di wajahnya. Dia tampak begitu rapuh, begitu hancur.

"Bunga, apa yang terjadi?" Ibu Aditama bergegas ke sisinya, penuh kekhawatiran.

"Aku... aku jatuh," Bunga tergagap, matanya melirik ke arah sekelompok anak laki-laki yang lebih besar di sudut. "Mereka mendorongku. Mereka bilang... mereka bilang anak pungut sepertiku tidak pantas mendapatkan sepatu baru."

Itu adalah penampilan yang sangat hebat. Aku harus mengakuinya. Di kehidupanku yang pertama, aku menggunakan akalku untuk bertahan hidup. Bunga menggunakan air matanya. Dan air matanya selalu lebih efektif.

Wajah Baskara mengeras dengan kemarahan protektif yang familier itu. Tapi kali ini, aku bisa melihat konflik di matanya. Secercah keraguan. Dia tahu Bunga mampu melakukan ini. Tapi pemandangan Bunga, yang tampak begitu tak berdaya, masih membuat otaknya korslet.

Dia menatap dari Bunga ke arahku, rasa bersalahnya berperang dengan rasa kasihan.

Sebelum dia bisa membuat pilihan yang salah lagi, aku melangkah maju.

"Ibu Aditama," kataku, suaraku pelan tapi jelas. "Dia benar. Anak laki-laki di sini sangat kasar. Bunga sangat lembut. Dia sering terluka."

Aku menoleh ke Baskara, ekspresiku penuh empati palsu. "Baskara, kamu harus melindunginya. Dia sangat membutuhkan keluarga sepertimu."

Hati Ibu Aditama luluh. "Oh, kasihan sekali kamu, sayang," katanya sambil mengelus rambut Bunga.

Baskara menatapku, benar-benar bingung. Dia tidak bisa mengerti mengapa aku menyerahkan keluarganya pada musuh bebuyutanku.

Dia membuka mulutnya, sebuah protes bingung terbentuk di bibirnya.

Tapi aku berbicara pada saat yang sama, suaraku selaras sempurna dengannya.

"Ambil Bunga."

"Ambil Bunga," katanya, ucapannya sendiri menggema ucapanku, didorong oleh insting yang tertanam seumur hidup.

Keputusan telah dibuat.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10   Kemarin lusa16:54
img
img
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY