"Setelah semua yang kami berikan padamu?" jerit Ibu dengan suara melengking. "Bella menyelamatkan nyawa Ayahmu! Dia memberikan sebagian dari dirinya! Dan kamu tidak bisa melakukan hal yang sama untuknya?"
Ayah berdiri di sampingnya, wajahnya muram dan dingin. Dia berkata jika aku tidak mau menjadi bagian dari keluarga, aku tidak pantas berada di rumahnya. Aku diusir. Lagi.
Mereka tidak tahu kebenarannya. Mereka tidak tahu bahwa lima tahun lalu, Bella memasukkan obat tidur ke dalam kopiku, membuatku melewatkan jadwal operasi transplantasi untuk Ayah. Dia mengambil alih posisiku, muncul sebagai pahlawan dengan bekas luka palsu, sementara aku terbangun di sebuah losmen murah, dicap sebagai pengecut. Ginjal yang berdetak di dalam tubuh Ayah adalah milikku.
Mereka tidak tahu aku hanya punya satu ginjal tersisa. Dan mereka jelas tidak tahu bahwa penyakit langka sudah menggerogoti tubuhku, memberiku sisa hidup hanya beberapa bulan lagi.
Bima menemukanku kemudian, suaranya terdengar parau.
"Pilih, Alya. Dia, atau kamu."
Ketenangan yang aneh menyelimutiku. Apa lagi yang penting sekarang? Aku menatap pria yang pernah menjanjikanku keabadian dan setuju untuk menandatangani surat kematianku sendiri.
"Baik," kataku. "Akan kulakukan."
Bab 1
Sudut Pandang Alya Kirana:
Pria yang kucintai, pria yang akan kunikahi, memintaku untuk menyelamatkan nyawa saudara perempuanku. Lalu dia memberiku surat untuk mengakhiri hidup kami.
Bima Nugraha tidak menatapku saat dia menyodorkan dokumen itu di atas meja makan kecilku yang terbuat dari kayu mengilap. Rahangnya mengeras, seutas otot berkedut tepat di bawah telinganya. Kelelahan di matanya bukan hanya karena kurang tidur; itu adalah kelelatan jiwa yang mendalam yang telah mengendap selama berminggu-minggu.
"Ini tentang Bella," katanya, suaranya rendah dan kasar, seolah dia menelan kerikil. "Ginjalnya... sudah rusak, Alya. Rusak total."
Aku tidak bergeming. Aku sudah tahu. Bisik-bisik di rumah keluargaku telah menjadi gemuruh yang tidak bisa lagi kuabaikan. Saudara kembarku, Bella, boneka porselen rapuh yang seumur hidup dilindungi oleh keluargaku, akhirnya benar-benar hancur.
"Dokter bilang dia butuh transplantasi. Segera."
Aku menelusuri tepi meja dengan jariku, pandanganku terpaku pada kertas-kertas itu. Kata-kata di bagian atasnya begitu tajam dan hitam: PEMBATALAN PERTUNANGAN.
Dia akhirnya mengangkat wajah, wajahnya yang tampan terukir dengan rasa sakit yang begitu dalam hingga hampir terasa seperti milikku sendiri. "Kami butuh ginjalmu, Alya."
Itu dia. Permintaan yang bukan permintaan. Itu adalah sebuah tuntutan, yang dibungkus dengan kedok keputusasaan. Dia ragu-ragu, tangannya melayang di udara di antara kami sebelum jatuh kembali ke sisinya. Itu adalah isyarat kecil dari sebuah kekalahan.
"Hanya dengan cara ini dia mau menerimanya," lanjutnya, suaranya semakin rendah. "Dia merasa... bersalah. Tentang kita. Dia pikir dia menghancurkan hubungan kita."
Aku hampir tertawa. Suara yang keluar dari tenggorokanku kering dan hampa. Bella, merasa bersalah. Itu hal baru.
"Orang tuamu setuju. Kami semua setuju. Ini yang terbaik." Dia mencoba terdengar tegas, seperti seorang pria yang membuat keputusan sulit tapi perlu. Tapi aku bisa melihat retakan di baju zirahnya. Aku bisa melihat pria yang kucintai tenggelam di bawah beban ekspektasi keluargaku.
"Aku masih mencintaimu, Alya. Kamu harus tahu itu," bisiknya, dan itulah bagian yang benar-benar menghancurkanku. Bukan permintaan untuk organ tubuhku, bahkan bukan surat pembatalan pertunangan. Itu adalah kebohongan. Kebohongan lembut yang dia katakan pada dirinya sendiri, dan padaku, untuk membuat pedang pengkhianatannya menusuk lebih mulus.
"Setelah dia pulih," janjinya, matanya memohon padaku. "Setelah semua ini berakhir, kita bisa memperbaiki ini. Aku janji."
Pandanganku kembali jatuh pada dokumen hukum itu. Sebuah janji dari seorang pria yang memintaku untuk menandatangani masa depan kami. Janji itu tidak ada harganya.
Bella sakit-sakitan sepanjang hidupnya, atau begitulah yang dikatakan kepada kami. Jantung yang lemah, paru-paru yang rapuh, kondisi tubuh yang tidak tahan stres. Dia adalah bunga mungil yang butuh perawatan terus-menerus, sementara aku adalah rumput liar yang kuat yang bisa diabaikan, diinjak-injak, dan diharapkan tumbuh kembali sama kuatnya.
Sekarang, ginjalnya telah gagal. Penyakit ginjal stadium akhir. Kata-kata itu terdengar klinis, jauh, tetapi artinya adalah hukuman mati tanpa seorang pendonor.
Dan menurut Bima, dia punya satu permintaan terakhir sebelum menyerah pada kegelapan.
"Dia ingin menikah denganku, Alya," akunya, kata-kata itu keluar dengan tergesa-gesa karena malu. "Itu... permintaan terakhirnya. Menjadi istriku, walau hanya untuk sehari."
Menjadi istri dari suamiku.
Dia mencoba melembutkannya, membingkainya sebagai pengorbanan yang mulia, tindakan belas kasihan terakhir untuk seorang gadis yang sekarat. "Itu hanya upacara, Al. Tidak berarti apa-apa. Hatiku bersamamu."
Perjuangannya begitu terasa. Dia mengacak-acak rambut gelapnya dengan gerakan panik. Dia sedang terkoyak, dan dalam keputusasaannya, dia telah memilih untuk mengorbankanku untuk menyelamatkan dirinya dari siksaan.
Aku menatap kertas-kertas itu lagi. Namaku, Alya Kirana, diketik rapi di samping garis kosong. Namanya, Bima Nugraha, sudah ditandatangani dengan tulisan tangan yang percaya diri dan kukenal.
Dia memintaku untuk memberikan ginjalku, tunanganku, dan masa depanku kepada saudara perempuanku. Semua dalam satu transaksi bersih. Dan dia melakukannya dengan deklarasi cinta di bibirnya.
Ironi ini begitu pekat, terasa pahit seperti racun di lidahku.