Semua dimulai saat usianya enam belas tahun. Perusahaan konstruksi ayahnya di ambang kebangkrutan, dan ibunya baru saja didiagnosis menderita kanker langka. Biaya pengobatannya luar biasa mahal, biaya yang tak lagi sanggup ditanggung keluarga Wijaya.
Ayahnya, seorang pria lemah dan egois, melihat peluang dalam tragedi mereka. Dia tahu keluarga Adhitama, sebuah dinasti yang dibangun di atas kerajaan teknologi, sedang mencari seorang pendamping untuk pewaris bungsu mereka, Davian.
Davian saat itu berusia tiga belas tahun, seorang anak laki-laki tampan namun tempramental yang baru saja kehilangan ibunya. Dia sering berulah, dan keluarganya menginginkan seseorang untuk menenangkannya. Seseorang yang cerdas, sabar, dan dewasa untuk usianya.
Ayahnya menjualnya. Dia membingkainya sebagai pengorbanan untuk keluarga, untuk nyawa ibunya. Dia menggunakan penyakit istrinya untuk memeras Elara secara emosional, dan Elara, seorang gadis enam belas tahun yang ketakutan, setuju. Keluarga Adhitama melunasi utang ayahnya dan menanggung seluruh biaya pengobatan ibunya. Sebagai gantinya, Elara menjadi bayangan Davian.
Dia adalah pendampingnya, gurunya, penjaganya. Seiring mereka tumbuh dewasa, batas-batas itu mengabur. Dia menjadi sekretaris pribadinya, mengelola kehidupannya yang kacau dan perannya di perusahaan keluarga. Lalu, suatu malam, didorong oleh alkohol dan patah hati, Davian menariknya ke tempat tidurnya. Dia pun menjadi kekasihnya.
Itu hanyalah bagian lain dari pekerjaan.
Dia cerdas, tangguh, dan pragmatis. Dia menjalankan tugasnya dengan sempurna, menjadi sosok yang tak tergantikan baginya. Bagi dunia luar, dia adalah wanita setia yang telah merebut hati pewaris kerajaan teknologi itu.
Mereka salah.
Elara tidak mencintai Davian Adhitama. Dia melihat Davian apa adanya: seorang bocah manja dan posesif yang sangat bergantung padanya. Davian menganggapnya remeh, percaya bahwa kehadiran Elara yang tak tergoyahkan lahir dari cinta, bukan kontrak.
Davian terobsesi dengan orang lain.
Kania Maheswari. Cinta masa kecilnya. Sosok yang tak pernah bisa ia lupakan. Selama bertahun-tahun, Davian selalu membicarakannya, tentang kemurniannya, kelembutannya, tentang cinta sempurna yang mereka miliki sebelum Kania pindah.
Sekarang, Kania akan kembali.
Elara menemukan email konfirmasi penerbangan di kotak masuk Davian. Kania Maheswari. Tiba besok.
Malam itu, udara di penthouse Davian terasa penuh dengan energi yang panik. Pakaian berserakan di lantai, dan botol-botol kosong mengotori meja kopi. Davian bergerak seperti angin puyuh, mondar-mandir, menarik barang-barang dari lemarinya, lalu melemparkannya begitu saja.
Dia bersenandung, suara sumbang yang ceria namun menggores saraf Elara.
Dia berhenti, menoleh pada Elara dengan senyum lebar kekanakan yang tidak mencapai matanya. Dia meraih Elara, menariknya ke dalam ciuman yang kasar dan posesif. Tangannya ada di mana-mana, menjambak rambutnya, meluncur di punggungnya. Itu adalah ciuman kepemilikan, bukan kasih sayang. Elara menahannya, sama seperti dia menahan segalanya selama dua belas tahun terakhir.
Dia menarik diri, napasnya yang panas terasa di pipi Elara.
"Dia akan kembali, El," bisiknya, suaranya bergetar karena kegembiraan yang belum pernah Elara dengar selama bertahun-tahun. "Kania. Dia akhirnya kembali."
Elara tidak merasakan apa-apa. Hanya sebuah klik terakhir yang sunyi di benaknya. Inilah akhirnya. Akhir dari masa hukumannya.
Davian melihat ekspresi tenang di wajah Elara dan salah mengartikannya sebagai penerimaan. Dia berseri-seri, kelegaannya begitu terasa.
"Aku tahu kau akan mengerti," katanya sambil mengelus rambut Elara. "Kau selalu menjadi yang paling pengertian."
Kata-kata itu dimaksudkan sebagai pujian. Bagi Elara, itu adalah jeruji penjaranya.
"Aku akan menikahinya, El. Aku sudah mencintainya sejak kami masih kecil."
Akhirnya dia mengatakannya. Kata-kata yang telah menjadi kebenaran tak terucapkan di antara mereka selama lebih dari satu dekade.
Ekspresi Elara tidak berubah. Dia menatap mata Davian dalam cahaya remang-remang.
"Aku tahu."
Jawabannya yang tenang tampaknya menyenangkan Davian. Dia melihatnya sebagai bukti pengabdian Elara, kesediaannya untuk menyingkir demi kebahagiaannya.
"Tentu saja aku akan menjagamu," katanya, nadanya berubah menjadi formal seperti urusan bisnis. "Aku akan memberimu sebuah rumah. Sebuah mobil. Beberapa miliar. Cukup untuk kau hidup nyaman seumur hidupmu."
Itu adalah paket pesangon. Sebuah parasut emas untuk dua belas tahun hidupnya.
"Oke," kata Elara.
Davian mengerutkan kening, kilatan sesuatu yang tak terbaca di matanya. Dia sepertinya menginginkan reaksi yang berbeda. Mungkin air mata. Pertengkaran. Sesuatu untuk membuktikan bahwa Elara peduli.
"Tapi kau akan tetap menjadi sekretarisku, kan?" tanyanya, tangannya mengencang di lengan Elara. "Aku membutuhkanmu. Kau tahu aku tidak bisa berfungsi tanpamu."
Elara menatap tangan Davian di lengannya, lalu kembali ke wajahnya. Dia hendak mengatakan tidak, bahwa kontrak mereka sudah berakhir, bahwa dia akhirnya, syukurlah, bebas.
Tapi ponsel Davian berdering, menghancurkan momen itu.
Layar menyala dengan sebuah nama: Kania.
Seluruh sikap Davian berubah. Sifat posesif yang dia tunjukkan pada Elara lenyap, digantikan oleh senyum lembut dan penuh semangat. Dia melepaskan Elara seolah-olah Elara adalah bara panas.
"Kania," jawabnya, suaranya seperti belaian lembut. "Kau sudah di bandara?... Tidak, tentu saja aku tidak sibuk. Aku sedang dalam perjalanan."
Dia menutup telepon dan menyambar kunci mobilnya, bahkan tidak melirik Elara sedikit pun.
"Bereskan ini, ya?" teriaknya dari balik bahu saat dia bergegas keluar pintu. "Aku akan pulang larut."
Pintu terbanting menutup, meninggalkan Elara dalam keheningan yang tiba-tiba dan memekakkan telinga.
Dia berdiri tak bergerak untuk waktu yang lama. Kemudian, dengan efisiensi metodis yang telah mendefinisikan hidupnya, dia mulai merapikan penthouse itu. Dia memunguti pakaian Davian yang berserakan, mengumpulkan botol-botol kosong, dan membersihkan permukaan yang lengket. Itu adalah rutinitas yang akrab dan tanpa pikiran.
Ketika tempat itu sudah bersih, dia pergi ke kamar tidur. Dia membuka sisi lemarinya dan mengeluarkan sebuah tas ransel kecil. Isinya adalah semua yang benar-benar miliknya di tempat ini: beberapa potong pakaian, sebuah buku favoritnya yang sudah usang, dan sebuah foto pudar ibunya.
Ibunya telah meninggal dua bulan lalu. Kematiannya adalah peristiwa yang sunyi dan menyedihkan, tetapi bagi Elara, itu juga merupakan sebuah kebebasan. Rantai utama yang mengikatnya pada Davian telah putus.
Ponselnya bergetar. Itu ayahnya.
"Elara! Davian menelepon. Dia bilang dia memberimu sebuah rumah dan lima puluh miliar rupiah! Ya Tuhan, hidup kita terjamin! Bisnis adikmu akhirnya bisa berkembang!"
Suaranya girang, dipenuhi keserakahan yang membuat perut Elara mual.
Suara Elara dingin, tanpa emosi.
"Uang itu tidak ada hubungannya denganmu."
"Apa maksudmu?" ayahnya tergagap. "Tentu saja ada! Itu untuk keluarga! Untuk pengorbananmu!"
"Pengorbananku sudah berakhir," katanya, suaranya sedingin es. "Kesepakatannya adalah untuk biaya pengobatan Ibu. Ibu sudah tiada. Kontraknya berakhir."
"Elara, jangan bodoh!" pekiknya, suaranya menjadi melengking. "Kau tidak bisa meninggalkannya! Aku melarangnya! Jangan lupa siapa yang membayar ranjang rumah sakit ibumu!"
Itu adalah upaya terakhirnya. Tusukan rasa bersalah terakhir yang menyedihkan. Tapi itu tidak lagi berhasil.
"Ibu sudah meninggal, Ayah. Ancamanmu mati bersamanya," kata Elara dengan tenang. "Aku bebas."
Dia tidak menunggu jawaban ayahnya. Dia menutup telepon dan memblokir nomornya. Kemudian dia memblokir nomor adiknya. Dia mengeluarkan kartu SIM dari ponselnya dan mematahkannya menjadi dua, menjatuhkan potongannya ke tempat sampah.
Semuanya sudah berakhir.
Dia teringat kembali pada hari itu, dua belas tahun yang lalu. Ayahnya, dengan wajah bertopeng kesedihan palsu, memberitahunya bahwa itu adalah satu-satunya cara. Ibunya, yang sudah lemah, menangis di tempat tidurnya. Dan Elara, enam belas tahun, menyetujui hukuman seumur hidup untuk menyelamatkan mereka.
Keluarga Adhitama sangat berhati-hati. Mereka mengatur agar Elara "secara tidak sengaja" bertemu Davian di sebuah acara amal. Dia telah dilatih tentang apa yang Davian suka, tidak suka, dan pemicu emosionalnya. Dia memainkan perannya dengan sempurna.
Davian adalah seorang anak laki-laki yang hancur dan marah. Dia langsung bergantung pada Elara. Elara adalah ketenangan dalam badainya. Dia membutuhkan Elara untuk segalanya: untuk membangunkannya, memilih pakaiannya, mengingatkannya akan janji-temunya, untuk menenangkannya ketika kesedihannya atas ibunya atau kerinduannya pada Kania menjadi terlalu berat.
"Kania bahkan tidak akan melirikku sekarang," Davian akan menangis padanya di tahun-tahun awal, setelah keluarga Kania pindah ke luar negeri. "Dia sempurna, El. Dia adalah segalanya."
Elara akan mendengarkan, seorang teman curhat bayaran, dan mengatakan semua hal yang benar. Dia melihat kegilaan Davian apa adanya: fantasi seorang anak laki-laki, obsesi pada sebuah kenangan.
Malam ketika Kania putus dengan pacar SMA-nya, Davian mabuk berat. Dia terhuyung-huyung masuk ke kamar Elara, matanya liar dengan rasa sakit yang bukan untuk Elara. Dia menabrak Elara, setengah terisak, setengah menuntut, dan hubungan mereka telah melewati batas terakhir yang tak dapat ditarik kembali.
Keesokan paginya, Davian bangun dengan ekspresi ngeri, bukan pada apa yang telah dia lakukan pada Elara, tetapi pada kelemahannya sendiri.
"Bantu aku, El," pintanya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku membutuhkanmu."
Dan begitulah Elara tinggal. Selama dua belas tahun, dia adalah batu karangnya, sekretarisnya, kekasihnya. Semua orang mengira dia adalah wanita paling beruntung di dunia.
Dia tahu dia hanyalah seorang tahanan yang dibayar mahal. Sebuah pekerjaan. Dan itu adalah pekerjaan paling melelahkan dan menghancurkan jiwa yang bisa dia bayangkan.
Kematian ibunya, meskipun memilukan, adalah kunci yang tak terduga. Itu adalah izin terakhir yang sunyi yang dia butuhkan. Seolah-olah ibunya meninggalkannya satu-satunya hal yang tidak pernah dia miliki: kebebasan.
Sehari setelah pemakaman, Elara berjalan ke markas besar Adhitama Group. Dia pergi ke bagian SDM dan menyerahkan surat pengunduran dirinya secara resmi.
Rekan kerjanya, seorang wanita bernama Sarah, terkejut.
"Kau mau berhenti? Elara, kau tidak bisa. Davian akan hancur tanpamu."
"Orang lain akan belajar," jawab Elara dengan tenang.
"Tapi... dia harus menyetujuinya. Dia tidak akan pernah membiarkanmu pergi."
Elara hanya menginstruksikannya untuk mengikuti prosedur. Surat pengunduran diri itu, bersama dengan setumpuk dokumen rutin lainnya, dikirim ke tablet Davian untuk persetujuan elektronik.
Malam itu, Davian berada di sebuah pesta mewah merayakan kepulangan Kania yang akan segera tiba. Dikelilingi oleh teman-teman, tertawa dan minum, dia dengan tidak sabar menggeser-geser dokumen, mengetuk 'Setuju' pada masing-masing dokumen tanpa melihatnya lagi.
Dia telah menyetujui kehancurannya sendiri dan bahkan tidak menyadarinya.