Aku mendengar Baskara menyebutku "istri yang berbakti dan berduka", sambil tertawa betapa mudahnya aku dibodohi. Ibuku sendiri menatap Annisa dengan tatapan penuh cinta yang belum pernah sekalipun ia tunjukkan padaku. Seluruh lima tahun pernikahanku hanyalah sebuah pertunjukan yang dirancang untuk membuatku sibuk sementara mereka menjalani kehidupan nyata mereka secara rahasia.
Dia tidak hanya mengaku, dia memberitahuku bahwa aku tidak lebih dari "solusi yang praktis". Lalu dia mengungkapkan rencana terakhir mereka: mereka sudah mengatur untuk memasukkanku ke rumah sakit jiwa, menggunakan "kesedihan" palsuku sebagai alasannya.
Aku lari. Setelah menyalakan api sebagai pengalih perhatian, aku bersembunyi di selokan di tepi jalan raya, hidupku hancur lebur. Tanpa tempat lain untuk dituju, aku membuat panggilan putus asa kepada satu-satunya orang yang kutahu ditakuti suamiku: saingan terbesarnya.
Bab 1
Kebohongan itu sudah berumur lima tahun, dan kebohongan itu punya nama. Annisa.
Aku berdiri menggigil di taman vila yang terawat sempurna, tersembunyi di balik tirai tebal melati yang rimbun dan wangi. Aromanya, yang biasanya menenangkan, malam ini terasa memuakkan, pekat dengan bau hujan dan tipu daya. Gerimis halus menempel di kulitku, meresap ke dalam gaun tipis yang kukenakan, gaun yang dipilihkan Baskara untuk "akhir pekan yang menenangkan" ini. Akhir pekan untuk membantuku mengatasi peringatan kematian tragis adiknya.
Kecuali Annisa tidak mati. Dia berdiri di teras batu tak lebih dari enam meter jauhnya, bermandikan cahaya keemasan hangat yang tumpah dari pintu kaca. Dia tertawa, suara yang tidak pernah kudengar selama setengah dekade, kepalanya mendongak saat menatap suamiku. Baskaraku. Dia tersenyum padanya, ekspresi lembut dan penuh kasih yang sudah bertahun-tahun tidak kulihat di wajahnya, sambil menimang seorang anak kecil di pinggulnya. Seorang anak laki-laki dengan rambut gelap Baskara dan mata cerah Annisa.
Orang tuaku sendiri juga ada di sana. Ibuku, tangannya bertumpu di lengan Annisa, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tidak pernah bisa kubangkitkan. Ayahku berdiri di samping Baskara, menepuk pundaknya, seorang kepala keluarga yang bangga memimpin keluarga sejatinya.
"Dia makin mirip kamu setiap hari," kata Ibuku, suaranya terdengar jelas di udara malam yang lembap.
"Tapi dagunya keras kepala sepertimu," balas Annisa, suaranya seperti gema hantu dari kehidupan yang kukira sudah terkubur. Dia mengulurkan tangan dan mencubit hidung anak itu.
Pikiranku menolak untuk memprosesnya. Ini mimpi. Mimpi buruk. Annisa meninggal dalam kecelakaan mobil. Kami mengadakan pemakaman. Aku menghabiskan berbulan-bulan menghibur Baskara yang hancur, menopang orang tuaku yang juga berduka. Aku telah membangun hidupku di sekitar ruang kosong yang ditinggalkannya.
"Apa kamu yakin Clara tidak curiga apa-apa?" Suara Ayah terdengar rendah, diwarnai dengan ketidaksabaran yang familier dan meremehkan.
Baskara mendengus, suaranya tajam dan jelek. "Clara itu cuma curiga apa yang aku suruh dia curigai. Dia terlalu sibuk memainkan perannya sebagai istri yang berbakti dan berduka, dia tidak akan menyadari kebenaran bahkan jika itu menggigitnya. Dia masih berpikir akhir pekan ini adalah untuk menghormati kenangan Annisa."
Gelombang mual yang hebat menghantamku, begitu dahsyat hingga aku harus menekan tangan ke mulutku. Dunia terasa miring, tanaman melati seolah meliuk dan membelit di sekelilingku. *Berbakti. Berduka. Istri.* Kata-kata itu terasa seperti racun.
Lalu aku melihatnya. Tergantung di leher Annisa, menangkap cahaya, adalah sebuah liontin perak antik yang unik. Bentuknya seperti burung kenari, diukir dengan rumit, dengan dua mata safir kecil. Liontin nenekku. Ibuku pernah memberitahuku, dengan berlinang air mata, bahwa liontin itu hilang dalam perampokan bertahun-tahun sebelum aku menikah. Pusaka keluarga yang tak ternilai, hilang selamanya. Namun di sanalah benda itu, menempel di kulit wanita yang seharusnya menjadi hantu.
Potongan-potongan teka-teki itu menyatu dengan kecepatan yang memuakkan. Pernikahan palsu. Kebohongan. Seluruh hidupku, sebuah sandiwara panggung yang dibangun dengan cermat untuk membuatku sibuk, untuk mengendalikan warisanku, sementara mereka menjaga Annisa mereka yang sempurna dan berharga tetap aman dan tersembunyi.
Aku bukan seorang istri atau anak perempuan. Aku hanyalah seorang pengganti. Sebuah alat.
Amarah, dingin dan murni, membakar habis keterkejutanku. Aku harus keluar. Sekarang.
Aku mundur perlahan, gerakanku kikuk, kakiku tenggelam di tanah yang lembut dan basah. Sebuah ranting patah di bawah tumitku. Suaranya seperti letusan senjata di malam yang sunyi.
Setiap kepala di teras itu menoleh ke arahku. Senyum Baskara lenyap, digantikan oleh topeng kemarahan yang dingin. "Clara."
Namaku di bibirnya adalah sebuah kutukan. Aku tidak menunggu. Aku berbalik dan lari. Aku melarikan diri melalui taman, duri-duri menyangkut di gaunku, daun-daun basah menampar wajahku. Aku tidak tahu ke mana aku pergi, hanya saja aku harus menjauh dari cahaya hangat keemasan rumah itu dan dari bangkai dingin kehidupanku.
Aku mencapai jalan masuk berkerikil yang panjang tepat saat tangan Baskara mencengkeram lenganku, cengkeramannya sekuat besi. "Lepaskan aku," desahku, berjuang melawannya.
"Hentikan," desisnya, suaranya tanpa kehangatan sedikit pun. Tidak ada kemarahan, tidak ada kepanikan. Hanya sebuah kepastian yang dingin dan penuh kemenangan. "Sudah berakhir, Clara. Kami tahu kamu melihatnya."
"Kalian membohongiku! Kalian semua!" Kata-kata itu keluar dari tenggorokanku, serak dan kasar.
"Kami melakukan apa yang perlu," katanya, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Aroma parfumnya, aroma yang dulu kuhubungkan dengan kenyamanan, kini berbau seperti pembusukan. "Annisa perlu menghilang untuk sementara waktu. Kamu adalah solusi yang praktis."
Dia mulai menyeretku kembali ke arah rumah. Aku menancapkan tumitku, jantungku berdebar kencang di dada. Ini tidak mungkin terjadi.
"Tidak ada gunanya melawan," katanya, suaranya turun menjadi bisikan konspirasi yang membuat darahku seakan membeku. "Surat-suratnya sudah diurus. Dr. Handoko sudah mengamatimu selama berbulan-bulan. 'Kesedihanmu yang mendalam,' 'ketidakstabilanmu.' Semuanya begitu mudah. Kami akan memasukkanmu ke rumah sakit jiwa. Demi kebaikanmu sendiri, tentu saja."
Rumah sakit jiwa. Fasilitas psikiatri. Kata-kata itu menghantamku, mencuri napasku. Ini bukan lagi hanya pelarian dari kebohongan. Ini adalah pelarian dari sangkar yang telah mereka bangun di sekelilingku selama bertahun-tahun. Mereka tidak akan hanya membuangku; mereka akan menghapusku, mengurungku di tempat di mana versiku tentang kebenaran tidak akan lebih dari ocehan seorang wanita gila.
Adrenalin melonjak dalam diriku, sebuah kebutuhan primal yang putus asa untuk bertahan hidup. Aku menginjak keras sepatu kulit mahalnya, dan ketika dia mengerang kesakitan, cengkeramannya mengendur sepersekian detik, aku menyentakkan lenganku hingga bebas. Aku bergegas menuju garasi terpisah, meraba-raba pintu sampingnya. Tidak terkunci.
Di dalam, udara pekat dengan bau bensin dan kayu tua. Mataku melesat ke sekeliling, mendarat di sebuah jeriken bensin merah di sebelah mesin pemotong rumput. Sebuah ide, liar dan nekat, menyala dalam kegelapan pikiranku. Sebuah pengalih perhatian.
Tanganku gemetar saat aku membuka tutupnya dan menyiramkan isinya ke tumpukan kain lap berminyak di sudut. Aku tidak membiarkan diriku berpikir. Aku menemukan sekotak korek api di meja kerja yang berdebu, jari-jariku kikuk membuka kardus tipis itu. Batang korek pertama gagal menyala. Yang kedua berhasil.
Aku melemparkannya ke tumpukan kain lap. Suara api yang menyambar begitu menakutkan sekaligus indah. Asap mulai mengepul, tebal dan tajam. Aku tidak menunggu untuk melihat lebih banyak. Aku lari keluar pintu, membiarkannya terbuka lebar, dan berlari ke dalam kegelapan pekat badai yang kini benar-benar pecah.
Hujan turun deras, menempelkan rambutku ke wajah, membuatku basah kuyup dalam hitungan detik. Di belakangku, aku mendengar teriakan, tangisan panik pertama saat mereka melihat asap. Aku tidak menoleh ke belakang. Aku hanya berlari, paru-paruku terbakar, kakiku yang telanjang tergelincir di tanah berlumpur, sampai vila itu hanya menjadi cahaya jauh yang penuh kebencian di belakangku.
Aku akhirnya pingsan di dekat jalan raya, tersembunyi di selokan, tubuhku gemetar tak terkendali karena kedinginan dan teror. Tasku. Aku masih memegang tas malam kecilku di tangan. Ponselku ada di sana, tapi mereka akan melacaknya. Semua yang kumiliki adalah bagian dari jaring mereka.
Kecuali satu hal. Sebuah kartu nama, terselip di saku samping yang terlupakan. Aku menemukannya di meja Baskara berbulan-bulan yang lalu, sebuah kartu hitam ramping dengan nama timbul berwarna perak. Julian Adiwijaya. Saingan bisnis terbesarnya. Satu-satunya pria yang benar-benar ditakuti Baskara. Aku menyimpannya karena iseng, sebuah tindakan pemberontakan kecil yang bahkan tidak kupahami saat itu.
Dengan jari-jari yang mati rasa dan gemetar, aku mengeluarkan kartu itu dan ponselku. Aku menyalakannya, ibu jariku melayang di atas angka-angka. Ini gila. Dia tidak akan membantuku. Kenapa dia mau? Tapi pilihan apa lagi yang kumiliki? Dikurung selamanya, atau mengambil kesempatan satu dari sejuta?
Aku menekan nomor itu. Berdering sekali. Dua kali.
Sebuah suara menjawab, dalam dan sedingin malam. "Bicara."